Sikap Asing dan Polemik Setelah Abu Bakar Ba’asyir Bebas

Abadikini.com, JAKARTA – Dengan mengenakan setelan baju kokoh lengan panjang berwarna dan celana panjang selutut juga berwarna putih lengkap dengan songkok putih ciri khasnya, Ustaz Abu Bakar Ba’asyir menyantap makan siang, pada Jumat (18/1). Kakek berumur 80 tahun itu mengambil posisi di ujung meja panjang berukuran sekitar tiga meter. Di sisi kanannya, duduk Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) sekaligus advokat, Yusril Ihza Mahendra yang didampingi Yusron Ihza Mehendra serta sejumlah tokoh.

Di wajahnya yang keriput termakan usia, serta janggutnya yang memutih tampak raut gembira Ustaz Abu Bakar Ba’asyir. Sebabnya, baru saja dia mengetahai kalau dirinya bakal menghirup udara segar meninggalkan Lembaga Permasyarakat (LP) Gunung Sindur, Kabupaten Bogor yang sudah dihuninya sejak April 2016.

Sesekali narapidana terorisme itu melemparkan senyum kepada awak media. Sayangnya, awak media hanya diperkenankan menengok sembari mengabadikan gambar Ustaz Abu Bakar Ba’asyir tidak lebih dari tiga menit. Kendati demikian, dia menyempatkan untuk memberikan pernyataan sepatah dua patah terkait kebebasannya.

Ustaz Abu Bakar Ba’asyir mengucapkan rasa syukur ke hadirat Allah atas pembebasannya ini dan berterima kasih kepada semua pihak yang telah mengambil inisiatif pembebasan dirinya. Kepada juru rawat yang memeriksa kakinya yang sakit, Ba’asyir mengatakan, “Pak Yusril ini saya kenal sejak lama. Beliau ini orang berani, sehingga banyak yang memusuhinya. Tetapi saya tahu, beliau menempuh jalan yang benar,” kata Ba’asyir dengan tegas.

Abu Bakar Ba’asyir telah menjalani masa hukuman selama sembilan tahun dari total pidana 15 tahun atas kasus terorisme yang dijatuhkan kepadanya. Vonis 15 tahun penjara dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2011.

Ba’asyir sebenarnya memiliki kesempatan pembebasan bersyarat pada Desember 2018, namun ia menolak syarat-syarat pembebasan bersyarat. Kini, ia berstatus bebas murni atas kebijakan Presiden Joko Widodo.

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) yang juga Penasehat Hukum Jokowi Ma’ruf Amin kunjungi Ustadz Abubakar Baasyir di LP Teroris Gunung Sindur, Bogor, Jumat (18/1/2019)

Penasihat hukum Presiden Joko Widodo, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan dasar hukum pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Dia mengatakan, ketentuan tentang syarat-syarat pembebasan bersyarat itu diatur dalam peraturan menteri, bukan peraturan pemerintah maupun undang-undang.

Menurutnya, peraturan menteri adalah aturan kebijakan yang dibuat oleh menteri. “Nah aturan kebijakan itu di bidang eksekutif. Eksekutif tertinggi itu ada di tangan Presiden. Presiden bisa mengambil kebijakan sendiri, mengenyampingkan aturan kebijakan yang dibuat oleh menteri,” kata Yusril, Sabtu (19/1).

Dalam pembebasan bersyarat terhadap Baasyir ini, lanjut Yusril, ada persyaratan yaitu setia terhadap Pancasila. Namun Yusril mengakui, Baasyir tidak mau menandatangani persyaratan tersebut.

“Beliau mengatakan, ‘Saya hanya taat kepada Allah dan setia kepada Islam, enggak bisa sama yang lain’,” katanya meniru ucapan Ba’asyir.

Lantas, Yusril melapor kepada Presiden Jokowi yang kemudian pada akhirnya menghormati pandangan Baasyir yang tidak bisa berubah itu. “Yang kita pahami adalah, orang yang taat pada Islam itu ya taat sama Pancasila,” ungkap ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.

Presiden Jokowi, lanjut Yusril, kemudian mengatakan untuk mempermudah syarat pembebasan terhadap Baasyir. Dalam konteks ini, Yusril mengakui bahwa tidak ada grasi yang dikeluarkan Presiden untuk membebaskan Baasyir, dan tidak ada pula permintaan keringanan hukuman dari pihak Baasyir.

Dikutip dari Republika.co.id, Yusril menerangkan, pembebasan bersyarat dalam perbuatan pidana umum, cukup dilakukan oleh kepala lembaga pemasyarakatan. Berbeda dengan pembebasan bersyarat dalam konteks pidana khusus, seperti terorisme, yang harus dilakukan oleh direktur jenderal pemasyarakatan (dirjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM.

“Tapi dirjen PAS itu sebenarnya tidak dapat memberikan bebas bersyarat dalam kasus terorisme kalau yang bersangkutan tidak menandatangnai syarat kesetiaan kepada Pancasila. Karena itu, masalah ini diambil-alih oleh Presiden, hanya Presiden yang berwenang memutuskan itu dan mengambil sebuah kebijakan,” katanya.

Yusril juga mengakui menyarankan Presiden Jokowi untuk mengambil kebijakan itu. “Dan Presiden sudah mengambil kebijakan. Jadi syarat-syaratnya itu memang dimudahkan,” ungkap dia.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai pembebasan Abu Bakar Baasyir bisa mengacaukan sistem meski menggunakan alasan kemanusiaan. Sebab, Baasyir menolak menandatangani surat pernyataan tidak mengulangi tindak pidana sehingga membatalkan hak pembebasan bersyarat atas dirinya.

Fickar menjelaskan, ada beberapa persyaratan administratif agar narapidana memperoleh hak-haknya. Tetapi persyaratan administratif ini tidak boleh menegasikan hak hukum narapidana sebagaimana hak pada umumnya yang bisa digunakan bisa tidak. Misalnya, Basuki Tjahaja Purnama yang tidak menggunakan hak kebebasan bersyaratnya di kasus penistaan agama.

Persyaratan pembebasan bersyarat yaitu telah 2/3 menjalani hukuman, berkelakuan baik selama pidana, telah mengikuti program pembinaan. “Semua itu saya kira sudah dipenuhi tapi dinegasikan karena tidak mau menandatangani surat pernyataan tadi,” kata dia, Jumat (18/1).

Fickar berpendapat, persyaratan administratif tidak bisa mengalahkan hak hukum. Dalam kondisi demikian, pembebasan terhadap Baasyir tidak punya landasan. Jika tidak ada landasannya dan pembebasan tersebut tetap dilakukan, maka akan mengacaukan sistem.

“Presiden dapat dianggap mengangkangi konstitusi. Presiden harus membuat landasan hukum, apakah Perppu, Perpres atau Peraturan Menkumham sebagai dasar tindakannya, agar tidak menimbulkan kesan semaunya demi tujuan tertentu, karena itu harus dibuat dulu aturannya,” ungkap dia.

Fickar juga memaparkan, ada beberapa kewenangan Presiden sebagai pimpinan kekuasaan eksekutif yang melintasi kekuasaan kehakiman yang diberikan berdasarkan Konstitusi UU Dasar 1945, yaitu grasi, abolisi dan amnesti. Menurut Fickar, Presiden bisa memerintahkan jajarannya untuk ‘membebaskan’ narapidana berdasarkan aturan yang mengatur hak-hak narapidana. Hak tersebut yakni remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga dan pembebasan bersyarat.

“Jika mengacu pada konstitusi dan konsekuensi berlakunya asas legalitas, maka Presiden bisa menggunakan grasi atau pengampunan yang salah satu pertimbangannya kemanusiaan, tetapi harus ada permohonan dari ABB (Ba’asyir),” ujar dia.

Sementara itu, dari Australia dilaporkan, keluarga dan teman korban bom Bali pada 2002 marah dengan pembebasan tanpa syarat yang Presiden Jokowi kepada Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Bom Bali menewaskan pada 202 jiwa dan 88 di antaranya warga negara Australia.

“Tertegun bahwa ia akan dibebaskan, benar-benar berita yang menghancurkan sebagaimana sepenuhnya ia akan menjalani hidupnya sementara orang lain menderita melihatnya keluar dari penjara,” kata Jan Laczynski, yang kehilangan lima orang temannya dalam Bom Bali, kepada The Sydney Morning Herald, Jumat (18/1).

The Sydney Morning Herald menulis, Joko Widodo membebaskan Ba’asyir untuk menarik suara Muslim konservatif dalam pemilihan presiden yang akan digelar pada 17 April 2019 mendatang. Mereka juga menulis kemungkinan besar keputusan ini akan diprotes keras oleh sekutu-sekutu Indonesia terutama Australia yang kehilangan banyak nyawa dalam kejahatan Ba’asyir.

Sementara,  ABC News menulis, pada awal tahun ini calon wakil presiden (cawapres) KH Maaruf Amin mendesak Ba’asyir dibebaskan karena usianya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Pada saat itu, tulis ABC News, Australia menentang dengan keras pembebasan tanpa syarat Ba’asyir.

Pada bulan Maret 2018, Mantan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menggambarkan Ba’asyir sebagai ‘otak’ dibalik serangan Bom Bali. Dalam pernyataannya, Bishop mengatakan, Australia mengharapkan keadilan terus dilanjutkan sejauh yang diizinkan hukum Indonesia.

“Abu Bakar Ba’asyir seharusnya tidak pernah diizinkan untuk menghasut orang lain melakukan serangan terhadap warga sipil yang tidak bersalah di masa depan,” kata pernyataan Bishob tersebut.

Sementara, pengamat terorisme, Harits Abu Ulya menilai, pembebasan Abu Bakar Ba’asyir akan membawa dampak besar bagi Pemerintah Indonesia. Terutama, kecaman hingga serangan dari negara-negara luar yang tidak sependapat dengan pembebasan napi terorisme bom Bali pada 2002 itu.

“Efek pembebasan Abu Bakar Ba’asyir waspadalah akan ada permainan intelijen asing,” kata Harits, Sabtu (19/1).

Harits menilai, kabar pembebasan murni Ba’asyir oleh pemerintah Indonesia mendapatkan respons cepat dari negara Australia. Serta sangat mungkin menurutnya, pemerintah Australia akan mengakomodir reaksi publik dengan mengambil langkah-langkah melalui saluran diplomatiknya untuk menekan pemerintah Indonesia.

“Sikap Australia pada rencana pembebasan ABB (Ba’asyir) di awal 2018 saja menolak, dan saat ini juga tidak akan berbeda jauh,” ungkapnya.

Bahkan menurut Harits, sangat mungkin bagi Australia untuk kemudian menggalang dukungan bersama negara-negara mitranya terutama Amerika Serikat. Tujuannya, untuk melakukan operasi terbuka maupun operasi tertutup melakukan tekanan kepada Pemerintah Indonesia.

“Dalam konteks ini Pemerintah Indonesia dihadapkan tantangan sebagai negara berdaulat tidak boleh tunduk dan membeo apa saja yang dikehendaki negara asing,” kata dia.

Harits juga menganggap langkah pemerintah dalam mengambil keputusan membebaskan Baasyir secara murni tanpa sarat tidak hanya  dikaji pada aspek legal hukum yang berlaku di Indonesia. Namun, juga sudah melalui kajian mendalam menyangkut aspek keamanan ke depannya.

“Mengingat beliau adalah sosok sentral dalam pusaran isu terorisme di kawasan Pasifik,” ungkap Harits.

Paling tidak, lanjut Harits, Pemerintah Indonesia melalui alat negara, semua unsur intelijen dan kepolisian akan bekerja memberi garansi menganulir kekawatiran publik bahwa tidak ada dampak terganggunya keamanan atau ancaman serius aksi terorisme dengan bebasnya Ba’asyir. Serta juga telah menjamin akan membuat ABB terputus dari semua upaya yang menyeret-nyeret dan menjebak Baasyir pada rencana terkait terorisme.

Oleh karena itu, terang Harits, dalam konstalasi seperti sekarang, justru yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan operasi-operasi ilegal intelijen asing yang bekerja melalui jejaring mereka di Indonesia. Intelijen asing bisa saja dengan bebasnya ABB dijadikan sebagai triger munculnya aksi-aksi terorisme by design intelijen asing.

“Targetnya memberikan pesan kepada publik untuk mendiskriditkan pemerintah Indonesia bahwa keputusan pembebasan Ba’asyir adalah salah atau target yang lebih besar lainnya,” kata dia.

Karena itu, Harits berharap tokoh-tokoh masyarakat khususnya umat Islam untuk dapat bersikap bijak. Karena menurutnya melalui polemik perdebatan soal bebas murninya Ba’asyir ini bisa menjadi pintu masuk bagi intelijen asing untuk bermain dan mengadu domba bangsa.

“Jangan sampai tanpa sadar menjadi proxy dari proyek asing yang dengan mudah mengacak-acak Indonesia melalui taktik pecah belah dan adu domba antar anak bangsa. Intelijen asing punya kekuatan untuk design lahirnya kontraksi sosial politik dalam skala luas di NKRI. Ini early warninguntuk Indonesia berdaulat,” kata dia.

Editor
M Saleh
Sumber Berita
Republika

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker