Andai Dipaksakan Tiga Periode

Namun demikian, sebagai kemungkinan kedua, andai seluruh pimpinan parpol dan jajaran DPD RI menolak, maka gerakannya beralih ke parlemen (ruang MPR RI). Jika masing-masing arena MPR RI digarap serius dengan money politics dengan masing-masing anggota terguyur juga beberapa triliun rupiah, maka seluruh anggota MPR yang berjumlah 583 orang (minus 128 anggota dari F-PDIP), maka total dana yang tak berseri itu tak akanlebih dari seribu triliun rupiah.

Angka ini, bagi barisan pro perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi, terutama dari unsur eksternal (negeri Tirai Bambu) dan internal Indonesia (Sembilan Naga), dinilai terlalu kecil.

Pertimbangannya, mempertahankan Jokowi sama artinya mempertahankan bahkan memperluas kepentingan ekonomi strategis di negeri ini. Tidak hanya geoekonomi, tapi juga geopolitik yang sangat menguntungkan. Dan itu jauh lebih besar feed-backnya dibanding angka seribu trilyun lebih itu. Karena itu, gagasan perpanjangan masa jebatan tiga periode yang arahnya spesial untuk Jokowi bukanlah dagelan politik atau siapan jempol. Meski Jokowi menolak, tapi body lengguagenya tetap bisa dibaca. Publik pun tahu persis gaya gerak tubuh Jokowi itu.

Yang perlu kita catat serius, bagaimana dampak pemaksaan perpanjangan masa jabatan presiden, meski hanya menambah satu kali periode? Berkaca pada catatan sejarah masa Orde Baru, titik decline pemerintahan saat itu jelas: akibat beberapa periode masa jabatannya. Zaman Orde Baru, ada rasio politik pembangunan yang relatif melegitimasi perpanjangan masa jabatan Pak Harto. Yaitu, rencana pembangunan lima tahunan (REPELITA).

Tapi, sejarah mencatat, kekusaan yang berlama-lama cenderung korup. Mengutip pemikiran politik Lord Acton, “… Absolutely power tends to corrupt”. Kekuasaan yang berlama-lama yang menjadikan kekuasaannya absolut, tak akan bisa hindari tindakan koruptif. Bisa diterjemahkan korupsi secara material (ekonomi). Bisa juga diterjemahkan mengkorup hak-hak politik warga negara lainnya. Kekuasaan yang berlama-lama jelas merampas hak politik orang lain, minimal, memasung hak politik para anak-bangsa yang punya kemampuan memimpin negeri ini.

Catatan historis bicara. Kekuasaan yang korup itu akhirnya bukan hanya jatuh, tapi merusak berbagai sistem kehidupan bernegara, termasuk budaya. Lalu, apakah catatan empirik masa Orde Baru itu harus terulang? Ular pun tak akan bisa menggigit pada lubang yang sama. Maka, negeri ini tak selayaknya terjadi kembali peristiwa pahit itu. Karena itu, gagasan atau keinginan memperpanjang kekuasaan tiga periode perlu dicounter dengan memori catatan perjalanan masa Orde Baru yang berakhir tragis bagi sang pemimpin, di samping bagi anak-bangsa.

Mengacu pada catatan empirik itu pula, maka suara kontrarian tidak bisa menerima gagasan liar yang menghendaki perpanjangan masa jabatan presiden saat ini. Dalam kalkulasi jangka pendek, perpanjangan kekuasaan Presiden Joko Widodo hanya akan mengantarkan kondisi negara lebih hancur.

Tatanan ekonomi bukan melejit sampai 7% seperti yang dijanjikan saat kampanye, di samping 65 janji lainnya yang tidak terpenuhi. Fakta bicara, pertumbuhan ekonomi semasa pemerintahannya, sejak 2014, masing-masing tercatat: 4,79% (2015), melambat dari setahun sebelumnya, yakni 5,02%. Pertumbuhan pada 2016 mencapai 5,02% (2016), pada 2017 naik sedikit: menjadi 5,07%. Pada 2018 sebesar 5,17%. Dan akhir kekuasaan Jokowi (2019), pertumbuhan ekonominya turun: menjadi 5,02%.

Dan setahun pertama dari periode kedua pemerintahan Jokowi, yakni 2020, terjun bebas: pertumbuhan 2,19. Bisa dipahami kontraksi pertumbuhan ini. Proyeksinya 2021, mengutip catatan ekonom Rizal Ramli, tingkat pertumbuhannya hanya kisaran 2% dari setahun lalu. Berarti, pertumbuhan ekonominya dalam posisi -0,19%. Tapi, dengan PPKM Darurat, dan jika terjadi lebih lama lagi, maka pertumbuhan semakin negatif.

Capaian pertumbuhan ekonomi tersebut, menurut rilis Bank Dunia per 1 Juli lalu, menjadikan Indonesia turun peringkatnya: dari negara menengah atas menjadi menengah bawah. Secara spesifik, Bank Dunia mencatat bahwa penurunan tingkat itu juga didasarkan tingkat GNP perkapita yang turun, dari AS$ 4.050 (2019), menjadi AS$ 3.870. Menimbulkan pertanyaan mendasar, bagaimana mungkin, dengan capaian ekonomi yang terkategori rendah bisa meningkatkan distribusi kesejahteraan?

Di sisi lain, ketidakmampuan capaian pertubuhan ekonomi, akibat ambisi pembangunan fisik, posisi utang luar negeri (ULN) terus meningkat. Per Februari 2021 sudah mencapai US$ 422,6 miliar atau sekitar Rp 6.169,96 triliun. Akibat PPKM Darurat dan jika harus utang lagi, maka posisi ULN berpotensi menembus angka di atas Rp 7.000 triliun. Trennya meningkat. Sejalan dengan pandemi covid-19 dan kini diberlakukan PPKM Darurat, ULN Indonesia berpotensi menaik lagi cukup signifikan.

Potensi kenaikan ULN sejalan dengan konsekeunsi pemenuhan kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari untuk 115.242.970 jiwa bagi enam provinsi se Jawa-Bali sebagaimana yang diwajiban UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan, Pasal 7. Andai masing-masing dialokasikan anggaran Rp 100 per jiwa dikalikan 18 hari efektif PPKM Darurat, maka terhitung angka Rp 204,7 triliun. Ketika berkaca pada catatan pemberlakuan PSBB yang diperpanjang beberapa kali, maka PPKM Darurat ini pun berpotensi masa perpanjangan bisa lima kali.

Jika itu terjadi, maka kewajiban negara untuk mangalokasikan anggaran Rp 1.023 triliun. Asumsi perpanjangan masa PPKM tak lepas dari inkosistensi kebijakan. Se-Jawa-Bali berlaku ketat. Sementara, dalam masa bersamaan, terjadi arus datang tenaga kerja asing (TKA) China yang berpotensi menerbarkan covid-19 yang sudah berkembang variannya. Mutasinya melalui udara.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker