Andai Dipaksakan Tiga Periode

Sisi lain, terdapat sejumlah kebijakan Jokowi yang relatively, tidak bikin anak-bangsa ini happy. Banyak skenario pembenturan, karena perbedaan keyakinan ataupun afiliasi politik. Sehingga panorama kriminalisasi, persekusi dan praktik diskriminasi sering dipertontonkan. Semua ini menambah ketidakkohesifan hubungan antarwarga negara. Format politik terkesan kuat dibangun dalam bingkai devide et empera, atau politik belah-bambu. Hal ini jelaslah kian mengaburkan spirit kebersatuan yang digariskan Pancasila (sila ketiga).

Catatan minus kinerja pemerintahan Jokowi akan semakin menampak jika kita urai lebih jauh sejumlah data kemiskinan (saat ini mencapai 27,55 orang), penurunan indeks pembangunan manusia (IPM) yang kini pada posisi 71,94 dan indeks demokrasi kita, menurut catatan The Economist Intelligent Unit (EIU) Indonesia berskor 6,48. Terkategori skor rendah. Dan skor ini diakibatkan brutalisme penindakan aparat keamanan terhadap rakyat yang mengekspresikan perbedaan pendapat. Sementara, skor tertinggi 9,81, diraih Norwegia.

Akhirnya, kita bisa mencatat secara dini, bahwa pemerintahan saat ini gagal mewujudkan janji politiknya. Karena itu, andaikan perpanjangan masa jabatan tiga periode dipaksakan, tekad ini hanya akan menggerakkan berbagai elemen berseberangan secara ekspresif. Berujung pada kondisi negeri semakin tenggelam dalam ranah konflik horisontal, bahkan vertikal.

Dalam tatarain elitis, barisan seperti dari PDIP akan menyingsingkan lengan perlawanan. Boleh jadi, berdarah-darah. Meski landasannya pragmatis, yakni pertimbangan kepentingan mengantarkan putri mahkotanya (Puan Maharani sebagai next generation bagi keluarga trah Soekarno), tapi sikap politik PDIP ini akan bersatu dengan kelompok lainnya, meski selama ini berseberangan. Titik temu kepentingan, sekali lagi meski beda kepentingan politiknya, akan menjadi kekuatan strategis saat menghadapi gerakan sistimatis yang memaksakan kehendak perpanjangan masa jabatan tiga periode bagi sang presiden.

Sebagai keluarga besar Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menilai bahwa, pemaksaan masa jabatan presiden tiga periode sangat serius implikasinya. Yaitu, perpanjangan masa jabatan yang digemakan sebagai upaya memaksimalkan capaian pembangunan justru berujung pada perang saudara. Negeri ini – di depan mata – bisa jadi akan berpuing-puing. Rakyat pun dibikin kian sengsara. Sudah cukup kesengsaraan itu.

Karena itu, sebaiknya tak perlu membuka peluang Pasal 37 UUD NRI 1945 sebagai pintu masuk amandemen Pasal 7 yang bertujuan sempit: perpanjangan masa jabatan presiden. Jika dipaksaksan, dibuka gerakan politik yang sangat pragmatis itu, haruslah muncul kemauan politik orang-orang di parlemen yang heroik. Atas nama nasionalisme dan negeri ini tak boleh tergadaikan, atau negeri ini harus tetap berdaulat, maka seluruh anggota MPR nyatakan tegas: stop amandemen Pasal 7 konstitusi kita.

Karenanya, tidaklah berlebihan ketika PANDAI dan seluruh elemen bangsa ini yang mencintai negeri ini menitip pesan politik kepada seluruh anggota dan pimpinan MPR saat ini, “Jangan kemasukan angin duduk yang bisa bikin stroke. Bisa fatal total akibatnya. Demi eksistensi sebuah negara dan bangsa ini. Inilah legascy indah politik MPR RI yang akan dikenang sepanjang sejarah Indonesia”.

Oleh : Farhat Abbas
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)

Laman sebelumnya 1 2 3

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker