Yusril: Dewas KPK Terlambat Tangani Pelanggaran Etik Firli Bahuri

Oleh Yusril Ihza Mahendra

Abadikini.com – Menanggapi Putusan Majelis Etik Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang menjatuhkan pelanggaran etik berat kepada Ketua KPK Non Aktif Firli Bahuri, pakar hukum tata negara dan filsafat hukum Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Putusan Dewas itu terlambat sehingga tidak relevan lagi dengan proses hukum yang sudah berjalan dan permohonan berhenti Firli yang telah dilayangkan  kepada Presiden.

Fakta menunjukkan Firli  telah diproses hukum oleh Polda Metro Jaya dan  dinyatakan sebagai tersangka tipikor menerima gratifikasi dan melakukan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo. Sebagai konsekuensi penetapan tersangka, sesuai ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan (3)UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, Presiden telah memberhentikan sementara Firli dari jabatannya. Dalam perkembangan selanjutnya, atas pertimbangan pribadi termasuk menjaga kewibawaan lembaga KPK, Firli telah menyampaikan surat pengunduran diri kepada Presiden. Surat pengunduran diri itu kini sedang diproses oleh Sekretariat Negara.

Di tengah proses hukum dan pengunduran diri Firli itu, Majelis Etik Dewas KPK yang dipimpin Tumpak H Panggabean bersidang untuk melakukan pemeriksaan etik terhadap Firli berdasarkan peraturan-peraturan etik yang ditetapkan oleh Dewas sendiri. Putusannya, Firli terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Sanksinyapun sanksi berat pula, yakni memerintahkan Firli mengundurkan diri dari jabatannya. Itulah sanksi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a atau Pasal 4 ayat (1) huruf j dan Pasal 8 ayat e Peraturan Dewas KPK No. 3 Tahun 2021.

Dari ketentuan-ketentuan di atas, tidak ada kewenangan Majelis Etik Dewas KPK untuk “memecat” Firli sebagaimana diberitakan beberapa media. Eksekusi atas putusan tersebut harus dilakukan Firli untuk mengajukan pengunduran diri kepada Presiden. Eksekusi putusan itu dilakukan oleh Firli. Presiden bukanlah eksekutor Putusan Dewas  sebagaimana dikesankan Tumpak kepada pers.  Presiden hanya menindaklanjuti permintaan pengunduran diri Firli sebagai eksekusi atas putusan Majelis Etik Dewas KPK.

Masalahnya sekarang adalah, Presiden telah memberhentikan sementara Firli dari jabatannya atas perintah undang-undang. Firli juga telah menyampaikan permohonan pegunduran diri secara pribadi kepada Presiden. Pilihan untuk mengundurkan diri  atau tidak dari suatu jabatan adalah pilihan bebas  yang dimiliki setiap orang dan merupakan hak konstitusional (constitutional right) yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (2) UUD 45 kepada setiap orang, yang tidak dapat dihalang-halangi oleh siapapun, kecuali  undang-undang membatasinya. Lantas, dimanakah posisi Peraturan Kode Etik Dewas KPK jika dilihat dari sudut filsafat hukum dan teori ilmu hukum?

Peraturan Kode Etik yang dibuat oleh Dewas KPK itu adalah sebuah “code of conduct” yakni norma etik berkaitan dengan pedoman prilaku seseorang dalam posisi atau jabatan tertentu. Norma prilaku seperti itu lahir atas derivasi yang diberikan oleh undang-udang, dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 37B ayat (1) huruf c UU No. 30 Tahun 2002 sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2019 tengang KPK. Dengan demikian, kedudukan kode etik dan pedoman prilaku yang diatur dalam Peraturan Kode Etik Dewas KPK itu tidaklah lebih tinggi kedudukannya dari UU apalagi UUD.

Kedudukan kode etik itu tidak sama dengan kedudukan “norma etik” sebagai norma dasar dalam prilaku manusia yang keberadaannya berada di atas norma hukum. Norma etik “tidak dilahirkan oleh pemikiran manusia” seperti dikatakan Immanuel Kant, filsuf Jerman abad 18, melainkan keberadaanya inhearent dengan kesadaran hati nurani (conscience) manusia, sehingga keberadaan norma etik itu menurut Kant adalah “du sollst und du sollst nicht”, yakni sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi keberadaannya.

Sementara norma Kode Etik Dewas KPK, Kode Etik Advokat, keberadaannya justru karena diperintahkan oleh undang-undang. Karena itu, norma dalam kode etik Dewas KPK itu tidak mungkin menghentikan langkah Presiden memberhentikan sementara Firli dari jabatannya yang didasarkan pada norma undang-undang. Begitu pula, norma Kode itu tidak dapat mengabaikan hak Firli untuk dengan bebas menyampaikan penunduran diri kepada Presiden, mengingat hak itu dijamin oleh UUD 1945.

Sesuatu yang sangat penting untuk disadari oleh Majelis Etik Dewas KPK ialah, dilihat dari sudut teori ilmu hukum, pelanggaran norma hukum akan secara otomatis melanggar norma kode etik. Namun suatu pelanggaran norma kode etik belum tentu merupakan pelanggaran norma hukum. Bahwa Firli sebagai Ketua KPK bertemu dengan Syahrul Yasin Limpo yang sedang diperiksa KPK bisa merupakan pelanggaran norma kode etik, tetapi belum tentu merupakan sebuah pelanggaran norma hukum. Terjadi pelanggaran hukum atau tidak, tergantung dari apa pembicaraan dan/atau kesepakatan dari kedua pihak yang bertemu itu.

Karena itu pada hemat saya, jika langkah hukum terhadap Firli telah dilakukan oleh Polda Metro Jaya, maka Majelis Etik Dewas KPK seharusnya tidak perlu lagi “unjuk gigi” melakukan pemeriksaan pelanggaran etik terhadap Firli. Langkah itu secara profesional,  bahkan secara etik, sudah terlambat untuk dikakukan.

Majelis Etik Dewas KPK yang diketuai Tumpak H Panggabean juga mengetahui jika pelanggaran etik berat terbukti dilakukan Firli, maka sanksi paling berat yang dapat dijatuhkan adalah permintaan kepada Firli untuk mengundurkan diri. Padahal, para anggota Majelis Etik Dewas KPK itu semua sudah tahu bahwa Firli sudah mengajukan permohonan pengunduran diri kepada Presiden. Keputusan Majelis Etik Dewas KPK pada hemat tidak menghasilkan apa-apa kecuali menambah kegaduhan politik menjelang pelaksanaan Pemilu 2024.

Tumpak mengatakan telah menyampaikan Putusan Majelis Etik Dewas KPK itu kepada Presiden “yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian terhadap Firli Bahuri” (Antara, 27 Desember 2023). Tumpak menempatkan seolah-olah Presiden adalah eksekutor Putusan Majelis Etik Dewas KPK. Padahal, kewenangan Dewas adalah menjatuhkan sanksi meminta Firli untuk mengundurkan diri kepada Presiden. Arogansi kekuasaan seperti ini adalah problema etik yang justru dilakukan oleh Ketua Majelis Etik Dewas KPK.

Karena keadaannya sudah bertambah ruwet seperti di atas, maka saran saya kepada Sekretariat Negara dalam memproses pemberhentian Firli adalah tetap merujuk kepada permohonan Firli sebelum adanya Putusan Majelis Etik Dewas KPK. Untuk menghormati Keputusan Majelis Etik yang muncul belakangan, maka dalam konsideran Keppres dapat dicantumkan Putusan Majelis Kode Etik Dewas KPK itu sebagai sesuatu yang juga turut dipertimbangkan oleh Presiden dalam
mengambil keputusan tersebut.

Tokyo 28 Desember 2023

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker