Partai Politik dan Kaderisasi

JIKA ditilik secara saksama, tak ada parpol di Indonesia saat ini yang bisa murni disebut partai kader. Kalau tidak menjadi partai massa, pilihan pragmatis lainnya menjadi partai catch-all.

Keduanya sama-sama berorientasi pada pendulangan suara pemilih sebanyak-banyaknya secara instan demi memenangi kekuasaan. Dua Pemilu terakhir, 2014 dan 2019, menegaskan hal ini.

Tentu saja, secara internal semua partai berbicara dan melaksanakan berbagai program yang diniatkan sebagai kaderisasi. Hanya, pada umumnya, tujuan kaderisasi tak lebih jauh dari berbagai upaya mendulang suara sebanyak-banyaknya. Kaderisasi lebih pada sasaran rekrutmen politik.

Kaderisasi yang betul-betul dimaksudkan sebagai suatu proses pendidikan politik yang sistematis dengan tujuan jangka panjang relatif sangat jarang. Dari berita media massa, kita tahu pada umumnya bentuk program kaderisasi lebih banyak berupa seminar, lokakarya, atau kegiatan kepartaian jangka pendek lainnya.

Risiko partai massa atau catch-all ialah fenomena keanggotaan yang mengambang (floating) dalam jumlah yang tinggi. Para pemilik suara dalam pemilu tak akan berat hati berpindah pilihan, dari satu partai ke partai lain. Mereka tidak memiliki identitas kepartaian yang melekat, yang ditandai dengan loyalitas dan militansi.

Keberhasilan sebuah parpol meraih suara lantaran sangat tergantung pada insentif ekstrinsik terhadap pemilih. Secara sederhana, dalam beberapa kali pemilu terakhir, terutama 2014 dan 2019, salah satu bentuk insentif yang paling populer sekaligus merusak akal sehat kita serta kesehatan berpolitik ialah uang dan sejenisnya.

Di samping insentif ekstrinsik yang bersifat materialistis ini tentu saja terdapat insentif-insentif programatik. Kita bisa sebut platform partai atau kandidat, janji-janji program atau gagasan-gagasan yang berorientasi kemaslahatan publik. Dalam masa kampanye pemilu, sebagai contoh, hal-hal ini biasanya dijajakan dalam rapat umum dan bentuk-bentuk sosialisasi lainnya.

Insentif lain yang juga sangat menentukan ialah faktor ketokohan dan incumbency. Dalam pengalaman Partai NasDem, ketika keterikatan pemilih dengan partai lemah, keterpilihan para kandidat dalam pemilihan legislatif ataupun eksekutif amat bergantung pada modal personal dan sosial mereka.

Tokoh-tokoh karismatik yang memiliki jaringan atau mesin politik yang efektif akan menjadi kandidat yang paling mungkin terpilih atau menjadi patron politik yang potensial dalam pemenangan pemilu.

Walaupun sangat decisive, demi sebuah perpolitikan yang sehat, insentif-insentif ekstrinsik ini semestinya tetap diposisikan sebagai insentif dan tidak sampai menjadi faktor penentu kemenangan selama-lamanya. Artinya, parpol yang ingin keluar dari pusaran massa mengambang harus menerapkan strategi lain yang lebih sistematis, terukur, dan bisa jadi lebih murah.

Pendidikan politik yang efektif

Secara psikologis, kebalikan dari insentif ekstrinsik ialah insentif atau motivasi intrinsik. Secara teoritis, insentif ini berupa dorongan atau kehendak untuk bersikap dan bertindak dari dalam diri sendiri atau batiniah. Di sini ada kehendak atau pilihan bebas sebagai lawan dari ‘paksaan’ dari faktor luar diri atau insentif ekstrinsik.

Dalam khazanah politik, salah satu cara membangun motivasi intrinsik dalam berpartai ialah kaderisasi atau pendidikan politik yang efektif. Kaderisasi di sini juga tidak semata-mata terbatas pada arti regenerasi. Melampaui aspek usia atau jenjang struktural, kaderisasi bertujuan utama untuk memfasilitasi bertumbuhnya loyalitas dan militansi anggota partai.

Berpikir secara formalistik, kita bisa menyebut gagasan-gagasan, seperti sekolah kader, akademi partai, kaderisasi berjenjang, pendidikan politik kader, dan sebagainya. Demikian juga seperti yang dilakukan beberapa parpol di Indonesia saat ini, terdapat berbagai bentuk pendidikan kader yang bersifat terpusat.

Berdasarkan pengalaman Partai NasDem, terutama setelah pendirian Akademi Bela Negara (ABN) sejak 2017, kaderisasi atau pendidikan kader secara formal dan terpusat cukup efektif. Saat ini terdapat ratusan kader muda alumni pendidikan kader formal yang membantu menggerakkan mesin partai di 34 provinsi dan 514 kabupaten di seluruh Indonesia.

Hanya, penyelenggaraan pendidikan semacam ini hanyalah satu terobosan, musiman, dan tentu saja berbiaya mahal. Bagi Partai NasDem sendiri, jika hendak melakukan kaderisasi yang lebih masif, sistematis, dan terukur, diperlukan alternatif dalam bentuk lain.

Dalam khazanah perpolitikan RI, sebenarnya terdapat beberapa contoh kaderisasi swadaya yang pernah dilakukan beberapa parpol maupun organisasi pergerakan, baik sebelum maupun sesudah periode kemerdekaan.

Dengan segala keterbatasan materil, partai maupun organisasi itu mampu membangun lini masa yang setia dan militan. Pertama-tama, partai-partai yang pernah berhasil melakukan kaderisasi memiliki ideologi yang jelas dan kuat.

Partai-partai yang berhaluan nasionalis-sosialis atau bahkan komunis mengusung dan memperjuangkan gagasan-gagasan yang dibangun berdasarkan situasi materil masyarakat Indonesia. Kita bisa melihat pada apa yang dilakukan PKI, Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Sementara itu, partai-partai yang berhaluan agamis memanfaatkan simbol-simbol keagamaan yang melekat pada kesadaran individual dan kolektif masyarakat. Meskipun lebih dianggap sebagai partai atau pergerakan berbasis massa, Sarekat Islam (SI) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggunakan pendekatan ideologis keagamaan.

Di era 1920-1960-an, PKI, contoh partai yang berhasil melakukan kaderisasi dengan memaksimalkan basis ideologis. Menjadikan ‘perjuangan kelas’ sebagai simbol pergerakan merebut kekuasaan sebagai tujuan politik.

Tugas utama partai, tulis Bung Hatta, ialah mendidik rakyat. Dalam Daulat Rakjat, 20 September 1932, beliau menulis “dengan agitasi mudah membangkitkan kegembiraan orang banyak, tetapi tidak membentuk pikiran orang.” Dalam sejarah kita baca, para anggotanya sangat militan dan dalam perjalanan sejarah bangsa mereka menjadi tokoh-tokoh nasional maupun lokal yang hebat.

Kedua, seiring pemanfaatan ideologi untuk membangun militansi, partai yang berhasil melakukan kaderisasi ialah yang berhasil memaksimalkan pembangunan jaringan. Dalam bahasa lebih klinis, kita mengenal istilah ‘membangun sel-sel’, ungkapan populer yang digunakan PKI. Persis seperti prinsip pembelahan sel dalam biologi, kader-kader militan partai mengembangbiakkan sel demi sel dengan tetap memelihara kadar militansi setiap sel.

Saat ini, yang dimulai sejak era reformasi, PKS, yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK), ialah partai berbasis ideologi agama yang pada dasarnya juga menggunakan sistem sel.

Hanya, partai ini menggunakan istilah atau sebutan-sebutan khas Islamis, seperti tarbiah (pendidikan), liqa (bertemu, berkumpul), dan seterusnya. Dalam perjalanan politiknya, di tengah berbagai tantangan yang menghadang–setidaknya dalam rentang Pemilu 2009, 2014, dan 2019–PKS berhasil bertahan melampaui ambang batas parlemen.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan lagi bahwa bagi partai yang ingin bertahan dalam peta politik RI, kaderisasi mutlak. Akan tetapi, di tengah zaman yang terus berubah ini, sistem kaderisasi partai yang simbolistik, seremonial, dan mahal tidak akan efektif.

Demikian juga, jika belajar dari sejarah, kaderisasi mestilah berakar pada idea dan logos serta platform yang jelas dan menyentuh hajat hidup orang banyak. Jika tidak, Pemilu 2024 akan menjadi saksi sejarah kegagalan partai-partai lama dan menguatnya partai-partai baru.

Oleh: IGK Manila Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker