Polarisasi di Pemilu 2024 Dinilai Masih Ada

Abadikini.com, JAKARTA – Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menilai polarisasi pada Pemilu 2024 menurun drastis dibanding pemilu-pemilu sebelumnya.

“Meski sudah menurun drastis atau berkurang sangat besar, potensi polarisasi pada Pemilu 2024 itu masih tetap ada dan perlu diantisipasi,” kata Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes saat dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) dengan tema “Dewasa Berdemokrasi pada Pemilu 2024”, Senin (29/1/2024).

Menurutnya, berkurangnya potensi polarisasi tersebut disebabkan sejumlah faktor. Salah satunya tidak ikutnya petahana di Pilpres 2024. Artinya, ketiga pasangan calon akan menjadi presiden baru periode 2024-2029. Jadi Pemilu 2024 kali ini, menurut dia, relatif lebih tenang karena menghadapi situasi yang baru dan menantang.

“Karena tidak ada paslon incumbent. Kemudian menantang karena kompetisinya relatif dinamis, karena ada tiga paslon,” ucapnya.

Tidak hanya itu, polarisasi itu menurun lantaran model kampanye mengalami pergeseran dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, termasuk Pilkada 2017, model kampanye berbasis media sosial berperan tinggi dan sangat memengaruhi orang-orang untuk menentukan dan memilih kandidat.

Pada Pemilu 2024, situasinya berbeda. Kalau saat ini, menurut Arya, masyarakat sudah jenuh dan mulai sadar verifikasi informasi tidak pernah bisa didapat secara utuh di media sosial.

“Verifikasi informasi dari medsos itu terbatas, sehingga sekarang beralih ke televisi. Di dua survei terakhir kami, televisi jadi rujukan sumber utama. Karena di televisi, proses pemeriksaan data dan lain-lain, lebih terverifikasi,” jelas dia.

Meskipun turun drastis, tetapi bukan berarti potensi polarisasi tidak ada sama sekali di Pemilu 2024. Diakui, polarisasi dalam pemilu menjadi hal yang lumrah, selama polarisasinya tidak diafiliasikan dalam pandangan keagamaan.

“Dalam pemilu, polarisasi itu tidak terelakkan, yang baik sekarang itu berdasarkan keagamaan cenderung turun drastis. Jadi situasinya jauh lebih baik,” ucapnya.

Selain polarisasi, Arya juga menyoroti masalah hoaks yang beredar jelang pemilu. Menurutnya, hoaks yang beredar pada pemilu saat ini tak semasif seperti pemilu-pemilu sebelumya. Menurutnya, hoaks saat ini cenderung tidak bertahan lama karena literasi masyarakat yang sudah cukup luas.

“Situasi penetrasi dan medsos mengalami pertumbuhan dibanding pemilu sebelumnya. Digital divide mulai mengecil, di kota maupun di desa sama-sama bisa mengakses internet. Dari hasil studi mendekati 70 persen sudah akses internet. Sebelumnya hanya 50 persen,” jelasnya.

Walaupun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hoaks telah menurun, tetapi dia menekankan agar semua pihak tidak boleh menganggap remeh hoaks. Menurutnya, hoaks yang paling mengerikan dan harus diantisipasi adalah hoaks yang menyasar pada penyelenggara dan hasil pemilu lantaran dapat mengganggu legitimasi hasil pemilu.

“Kita harus lakukan mitigasi dan pencegahan secara serius. Jika dibiarkan ini akan menyasar dan berdampak pada legitimasi hasil pemilu,” pungkasnya.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker