Pancasila Sebagai Filsafat Ilmu Pengetahuan

Pancasila sebagai Falsafah dalam kehidupan bernegara telah final, dalam arti cukup lima sila saja, seperti rumusan yang telah termaktub dalam Mukaddimah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD-NRI) tahun 1945. Tidak perlu ditambah atau di kurangi. Namun sebagai weltanchaung, Pancasila terbuka untuk senantiasa di interpretasi, agar Pancasila tidak menjadi “dogma suci” yang keberadaannya justru menjadi penghambat kemajuan.

Menempatkan Pancasila sebagai “dogma suci” secara internal mengandung contradictio interminus, karena Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam pengertiannya yang paling niscaya hanya menempatkan Allah swt, Tuhan Yang Maha Esa sebagai satu-satunya dzat yang bersifat tunggal, tetap, absolute, yang berbeda dengan makhluk-Nya, sehingga DIA-lah satu-satunya wujud yang mesti di sucikan. Dia adalah asal dan tujuan dari gerak perjalanan semesta alam, tujuan dari perjalanan manusia. Dia-lah awal dan akhir, Dia-lah yang dhahir dan bathin. Dia meliputi segala apa yang ada dilangit maupun di Bumi serta apa yang ada diantara keduanya.

Sebab itulah UUD-NRI menjadikan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Yang oleh para founding fathers sila Ketuhanan Yang Maha Esa disebut pula sebagai Tauhid.

Tauhid dan Ilmu Pengetahuan.

Ketuhanan Yang Maha Esa, atau tauhid telah ditemukan sebagai konklusi berpikir oleh Ibrahim alaihissalam, yang dikenal sebagai Bapak pencetus agama-agama Semitik, sekitar 4000 tahun yang lampau. Pencarian tentang kebenaran oleh Ibrahim alaihissalam, dilakukannya dengan mengamati benda-benda alam, disertai dengan perenungan yang mendalam akan sifat, watak dan karakter dari benda-benda yang diamatinya. Suatu metode yang digunakan oleh para sainstis, maupun para filosof dalam pencarian kebenaran.

Pandangan monotheistik Ibrahim diatas, diteruskan oleh para Nabi, para ahli hikmah, para ilmuwan (yang tentu saja pada masa itu masih sangat terbatas jumlahnya). Keturunan Ibrahim dari Ishak ke Yakub menorehkan prestasi dalam membangun peradaban manusia menggunakan ajaran Tauhid, hingga ke era Nabi Isa alaihissalam. Demikian pula keturunan Ibrahim dari putranya Ismail alaihissalam, juga menorehkan prestasi bagi perkembangan peradaban manusia, hingga era Nabi Muhammad SAW.

Bagaimana Tauhid menjadi memberi pengaruh bagi kemajuan ilmu pengetahuan dalam memajukan peradaban. Tulisan ini mencoba mengurai pertanyaan fundamental tersebut, sekalipun tentu dalam kerangka pikir yang “sederhana” dan memerlukan uraian yang panjang, lebih detil, lebih mendalam, untuk mendekati kesempurnaan konsepsional.

Catatan ini, sebab itu dimaksudkan hanya sebagai pemantik berpikir saja. Dan kepada para pembaca dipersilahkan untuk memberikan pemaknaannya masing-masing.

Kontruksi berpikir saintifics ala Tauhid di mulai dengan penemuan Ibrahim alaihissalam, tentang adanya dzat yang bersifat tunggal, yang menciptakan dan mengatur segala ciptaan. Ide dasar ini dikonstruksi sebagai paradigma sains, sekitar 6 Abad SM, oleh Phytagoras. Pyhtagoras mengajarkan suatu paham yang disebutnya sebagai agama Orphis, yang rukun pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, atau Tauhid. Phytagoras mengajarkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa itu bahwa hanya Dia lah satu-satunya dzat yang berisfat tetap-tidak mengalami perubahan.

Kesimpulan demikian membawa kesimpulan bahwa segala sesuatu selain Dzat Yang Tunggal itu mengalami perubahan. Perubahan terjadi dapat karena sesuatu itu bertambah, berkurang, atau terbagi. Maka lahirlah ilmu berhitung atau Matematika ditangan Phytagoras, yang kita tahu inilah dasar utama dari sains, ilmu berhitung. Pandangan Tauhid dari Phytagoras ini juga dikembangkan oleh Parmenides. Parmenides mengatakan bahwa dzat yang tunggal itulah substansi utama, dan selainnya berasal dari substansi utama tersebut, sehingga ia bukanlah substansi. Substansi menurut Parmenides tidak mengalami perubahan, ia bersifat tetap. Pengamatan terhadap alam guna mengetahui unsur utama dari struktur alam semesta merupakan fokus pencarian para pemikir Yunani Pra-Sokrates.

Observasi ini telah membawa pada penemuan unsur utama yang membangun struktur alam semesta, di mana Thales menemukan bahwa unsur utama itu adalah air, Heraklitus menyebut unsur utama adalah api, Anaximenes menyebut unsur utama adalah udara, lalu Empodokles menawarkan kompromi dengan mengatakan ada empat unsur utama yakni; api, udara, air dan tanah. Semua pemikir ini bersepakat bahwa keempat unsur utama ini mengalami perubahan. Tentu saja demikian kesimpulannya sebab telah ada suatu keyakinan bahwa satu-satunya dzat yang tidak mengalami perubahan hanya Dzat Tunggal.

Dengan demikian tegaklah tentang realitas yang mengalami perubahan, ditegakkan diatas pengetahuan tentang adanya dzat utama, yang bersifat tunggal, absolute dan tidak mengalami perubahan. Pandangan seperti ini bertahan hingga hari ini, dari kalangan ilmuwan yang memiliki keyakinan iman, kepada Dzat Yang Maha Tunggal, Tuhan Yang Maha Esa. Dan inilah bangunan ilmu pengetahuan yang sejati. Teori-teori ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Tauhid, tidak ada yang mampu bertahan. Teori-teori seperti itu, akan digugurkan oleh teori-teori yang sejalan dengan ajaran Tauhid.

Al-Quran mengatakan kebenaran itu berasal dari Tuhanmu, maka janganlah kalian ragu. Memberi isyarat bahwa teori-teori pengetahuan yang benar, pasti akan membawa seorang ilmuan sampai kepada hukum ketidakberhinggaan, atau keabadian.

Ketidakberhinggaan membawa pencarian manusia melalui sains kepada ketiadaan, dalam arti membawa para ilmuan menemukan akhir dari pencariannya, berupa keadaan yang tidak bisa dijelaskan lagi, tidak bisa diverifikasi lagi. Hal ini telah ditemukan kaum atomis seperti Liukippus dan Demokritus di era pra-sokrates, dan dikembangkan lagi oleh para ilmuwan dibidang fisika kuantum.

Demikianlah Ketuhanan Yang Maha Esa, sesungguhnya adalah basis utama dari kerangka pikir sains. Dan selanjutnya menjadi falsafah dalam kehidupan masyarakat. Penentangan terhadap Tauhid, tiada lain karena ditumbuhkannya kerangka sains yang tidak sesuai realitas.

Sains akan terus tumbuh dan berkembang sesuai sifat-sifat Allah swt. Teori-teori sains yang bertentangan dengan sifat-sifat Allah, akan gugur di kalahkan oleh teori baru yang sesuai dengan sifat-sifat Allah.

Sebab itu, ungkapan “Bismillahi” (Dengan nama Allah) bukan sekedar ucapan tanpa makna. Tapi itu adalah epistemologi sains yang sesungguhnya. Bacalah, dengan Nama Allah. Hanya dengan itulah manusia dapat terus menemukan temuan-temuan baru dibidang sains, yang akan mendorong peningkatan kualitas kemanusiaan, sehingga menciptakan peradaban yang berkemanusiaan, berkeadilan dan berkeadaban.

Atau Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemanusiaan, keadilan dan keadaban itulah syarat utama terwujudnya persatuan dalam membangun etika global bagi suatu peradaban masa depan yang lebih baik. Kecerdasan spritual akan melahirkan hikmah kebijaksaan yang dikelola melalui prinsip-prinsip demokrasi yang berketuhanan Yang Maha Esa. Itulah jalan yang lurus. Jalan bagi upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Bangsa Indonesia khususnya, dan peradaban dunia pada umumnya.

Hentikan upaya menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang bersifat dogmatis. Sebaliknya, jadikan Pancasila itu sebagai falsafah ilmu pengetahuan, sebab melalui itulah Pancasila dapat menjadi Falsafah bernegara.

Hasanuddin

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker