Trending Topik

Fahri Bachmid: Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu Bercorak Ultra Vires, Potensial Ciptakan Kekacauan Ketatanegaraan

Abadikini.com, JAKARTA – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Gugatan perdata kepada KPU yang diketok pada Kamis (2/3/2023) itu dilayangkan Partai Prima pada 8 Desember 2022 dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.

PN Jakpus pun memerintahkan KPU RI mengulang tahapan Pemilu dari awal hingga mengakibatkan penundaan Pemilu. Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H. merespons serta menyoroti putusan tersebut.

Menurut Fahri Bachmid, secara hukum putusan hakim dalam perkara No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst berwatak dan bersifat “ultra vires” atau dengan kata lain “beyond the” power” sehingga konsekwensi yuridisnya dari status putusan yang demikian ini tergolong “null and void” atau bersifat “van rechtswege nietig atau null end void”. Sehingga tidak dapat dieksekusi, hal ini menjadi penting untuk melindungi kesisteman kerangka hukum Pemilu.

Berdasarkan desain konstitusional Pemilu yang berlaku saat ini, yang mana berdasarkan bangunan hukum penyelesaian sengketa Pemilu sesuai UU No. 7/2017 tentang Pemilu, telah mengatur dan membagi frame penegakan hukum menjadi dua jenis yaitu pelanggaran dan sengketa.

Pelanggaran di dalam UU Pemilu terbagi menjadi tiga jenis yaitu pelanggaran administratif, pelanggaran kode etik dan pelanggaran pidana. Sedangkan untuk sengketa terbagi menjadi dua yaitu sengketa proses dan sengketa hasil.

“Secara teknis sesungguhnya UU Pemilu telah mengkonstruksikan saluran hukum penyelesaian jika terdapat permasalahan berupa “dispute” baik pelanggaran maupun sengketa, secara spesifik UU Pemilu memberikan otoritas yang berbeda-beda sesuai dengan kompetensinya dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepada Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Negeri (PN), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkmah Konstitusi (MK) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP),” kata Fahri dalam keterangan, Jumat (3/3/2023).

Fahri Bachmid berpendapat bahwa penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 467 ayat (1) yang mengatur (1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu kabupaten atau kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU provinsi, dan keputusan KPU kabupaten atau kota.

Selanjutnya ketentuan Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu mengatur (l) sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota, atau partai politik calon peserta Pemilu. Atau bakal pasangan calon dengan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten atau kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU kabupaten atau kota.

Sementara, ketentuan ayat (2) mengatur sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sengketa yang timbul antara KPU dan partai politik calon peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU tentang penetapan partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.

Fahri menambahkan, dengan demikian, karakter dari perkara yang diputus oleh PN Jakpus ini sesungguhnya adalah masuk pada ranah perkara sengketa, yang tentunya merupakan yurisdiksi atau kompetensi absolut dari PTUN, bukan PN Jakpus.

“Sehingga hemat saya, putusan ini dapat dikualifisir sebagai “never existed” oleh karena hakim mengokupasi kewenagan kekuasaan lembaga peradilan lain,” jelas ketua Mahkamah Partai Bulan Bintang itu.

Fahri Bachmid menilai, putusan pengadilan ini jika diterapkan, maka konsekwensinya sangat serius, yaitu potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan, yang mana kekuasaan pemerintahan, baik presiden maupun lembaga legislatif akan kehilangan legitimasinya. Sebab Pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional.

Misalnya, presiden akan berahir masa jabatannya pada 20 oktober 2024, dan tidak ada pelantikan presiden yang baru berdasarkan mandat rakyat melalui suatu pemilihan umum yang legitimate, sebab UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar jika Pemilu tidak dapat dilanksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda Pemilu yang telah ditetapkan.

“Ini akan menjadi suatu keadaan kebuntuan konstitusional, ini sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal, itu salah satu impact yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini,” tegasnya.

Fahri Bachmid berpendapat, idelanya putusan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam sengketa perdata oleh pengadilan negeri tidak boleh berdimensi terhadap siklus serta agenda ketatanegaraan, sebab sifat dari putusan perdata hanyalah mengikat para pihak dalam rezim sengketa dengan karakter “contentiosa”.

“Artinya putusan PMH itu tidak bersifat “ergo omnes” yang mengikat pada lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusional yang umumnya melaksanakan kewenangan publik, apalagi berkaitan dengan pelaksanaan agenda ketatanegaraan terkait sirkulasi kepemimpinan nasional yang tentunya berlandaskan pada hukum publik,” terangnya.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker