Urgensi Mahkamah Mahasiswa dalam Mewujudkan Pemilihan Umum Mahasiwa Raya Paripurna

Pemilihan umum mahasiwa raya (selanjutnya disebut Pemira) merupakan salah satu sarana demokratisasi di Universitas Negeri Surabaya (selanjutnya disebut UNESA) tercinta.

Sebagai sarana demokratisasi, pemira menjadi ajang terselenggaranya suatu mekanisme demokrasi yang mengedepankan adanya kedaulatan rakyat.

Esensi dari kedaulatan rakyat tidak hanya dimaknai sebatas “dari, oleh, dan untuk rakyat”. Tetapi harus dimaknai secara komprehensif sehingga demokrasi tidak menjadi “bola liar” yang hanya menjadi permainan bagi segelintir elit rakyat yang justru menarasikan dirinya sebagai wakil rakyat.

Dalam tulisan ini, penulis mengemukakan sebuah tesis di mana dalam pelaksanaan sebuah demokrasi harus berpijak pada tiga hal pokok yaitu: nilai demokrasi, partisipasi demokrasi, dan kemanfaatan demokrasi.

Nilai demokrasi menekankan akan terjaminnya nilai, norma dan asas-asas demokrasi sehingga jika diibaratkan oleh sebuah lokomotif kereta api, nilai demokrasi menjadi rel tempat lokomotif kereta itu berjalan.

Pengejawentahan nilai demokrasi itu dapat diwujudkan dengan penerapan, pengawasan, dan penegakan atas asas-asas demokrasi yang dalam hal ini dikaitkan dengan asas-asas dalam pemilihan umum/pemilu. Dalam landasan konstitusional Indonesia yaitu UUD NRI 1945, ditegaskan bahwa asas-asas pemilu terdiri dari: asas langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil (yang selanjutnya disingkat luber jurdil).

Sehingga, dalam pemilihan umum, pasti ada sebuah badan/institusi yang bertindak sebagai pelaksana, pengawas, maupun penegak dari asas tersebut. Jika di pemilu nasional kita dapat melihat KPU, BAWASLU, DKPP, bahkan hingga Mahkamah Konstitusi, maka di kampus UNESA kita tercinta ini tidak lebihnya adalah sama.

Mungkin hanya beberapa saja yang berbeda karena alasan finansial, teknis, dan mungkin dengan alasan bahwa kampus hanya “miniatur” bangsa untuk latihan berdemokrasi, sehingga jika ada yang tidak sama 100% dapat dimaklumi.

Argumentasi seperti ini dapat dibenarkan, namun bagaimana jika esensi miniatur bangsa justru dikebiri karena penyaluran mekansime demokrasi di UNESA masih belum memiliki lembaga pengadilan mahasiswa?

Hal ini lah sejatinya yang merupakan titik tekan dari tulisan ini. Melanjutkan dari tulisan di atas, bahwa nilai demokrasi seharusnya menjadi orientasi utama dalam diselenggarakannya pemira.

Oleh sebab itu, diharapkan para organ/institusi/mahasiswa yang terkait dengan pemira bersama-sama ikut menjunjung tinggi nilai demokrasi itu dalam kerangka asas luber dan jurdil.Selain nilai, eksistensi demokrasi juga bisa dilihat dari partisipasi masyarakat dalam melaksanakan demokrasi.

Dalam pemira UNESA, tentunya partisipasi mahasiswa bisa menjadi tolok ukur apakah suatu demokrasi di UNESA sudah mendapat legitimasi publik apa belum. Hal inilah yang menjadi tugas utama KPU dan instansi penyelenggara pemira di UNESA.

Selanjutnya yang perlu dikuatkan adalah aspek kemanfaatan demokrasi.Kemanfaatan demokrasi maksudnya bahwa demokrasi haruslah dilihat dalam perspektif tepat guna dan berdaya guna.

Sehingga, di satu sisi demokrasi dapat meningkatkan partisipasi namun juga tidak mengorbankan aspek lainnya terutama aspek ekonomis.Sehingga, dapat disimpulkan bahwa demokrasi yang baik dapat terlaksana apabila nilai, partisipasi, dan kemanfaatan dalam demokrasi dapat terlaksana secara optimal.

Jika berkaca pada pemira UNESA 2019, maka sejatinya dari tiga komponen demokrasi yang telah penulis sajikan, bahwa yang sampai sekarang yang belum terpenuhi adalah aspek nilai demokrasi.

Hal ini dapat dilihat misalnya, jika partisipasi demokrasi bisa difasilitasi oleh KPU baik prodi, jurusan, fakultas, maupun universitas.

Meski KPU juga harus meningkatkan sosialisasi dan publikasi supaya banyak mahasiswa yang berpartisipasi dalam pemira.

Selain itu, dalam aspek kemanfaatan, pemira di UNESA juga berjalan cukup baik.Berkaca dari tahun lalu, beberapa jurusan bahkan fakultas telah mencoba e-voting. Dengan adanya e-voting sejatinya sebagai bentuk untuk mengikuti gagasan kebaruan dan perkembangan teknologi, selain itu juga upaya untuk lebih ramah lingkungan karena dapat meminimalisasi adanya kertas dalam pemira.

Namun, seperti yang penulis sampaikan sebelumnya, aspek nilai demokrasi dalam pemira belum terlaksana dengan baik di pemira UNESA.

Hal ini dapat dibuktikan karena meski dalam pemira UNESA ada BAWASLU maupun PANWASLU, namun hanya mampu menjangkau kecurangan pemira dalam hal kecurangan teknis dan administratif.

Hal ini akan menjadi pertanyaan apabila terdapat kecurangan pemira dalam dimensi yang lain, misalnya saja kecurangan etik, kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), serta kecurangan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi cyber atau perangkat teknologi informasi karena beberapa fakultas di UNESA telah menggunakan e-voting.

Beberapa potensi kecurangan tersebut berdampak pada tereduksinya nilai-nilai demokrasi dalam pemira UNESA. Hal ini dikarenakan ada beberapa kecurangan akan “lolos” karena kekosongan aturan ataupun kekosongan institusi yang menangani, misalnya saja Paslon A menyatakan bahwa B yang dulunya merupakan Kahima dari jurusan “X” diduga melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan massif.

Hal ini, meski pun Paslon A dapat membuktikan bahwa B terbukti melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan massif bisa jadi pihak terkait menolak gugatan tersebut dengan alasan tidak ada aturan dan tidak ada institusi yang menangani hal tersebut.

Hal ini penulis gambarkan sebagai fenomena “the paralyzed of democracy”. Hal ini juga membuat demokrasi berjalan tidak seiringan dengan konsep negara hukum, karena dalam hukum tiap kecurangan, pelanggaran, bahkan kejahatan harus diselidiki, disidik, dibuktikan, dan diadili dalam sidang di pengadilan, inilah yang kemudian disebut sebagai due process of law.

Selain itu, dengan adanya pengadilan mahasiswa dapat mempermudah terimplementasinya sebuah asas hukum yang menyatakan “actori in cumbit probatio” yang artinya bahwa siapa yang menggugat maka ia wajib untuk membuktikan.

Hal ini sangat penting karena di beberapa kampus adanya pemira justru membuat mahasiswa berbuat frontal bahkan tak jarang “politik baku hantam” menjadi the final resort ketika salah satu paslon merasa dicurangi.

Hal ini setidak-tidaknya dapat diminimalisasi dengan adanya pengadilan mahasiswa (dalam hal ini Mahkamah Mahasiswa) karena pihak yang merasa tercurangi dapat mengumpulkan sebanyak-banyaknya bukti serta dapat berdebat dengan pihak penyelenggara atau pihak paslon yang menang pemira.

Dengan demikian, maka ketika ada kecurangan dalam pemira tidak perlu lagi ada baku hantam, namun cukup berdebat secara logis, komprehensif, dan sistematis di Mahkamah Mahasiswa.

Berdebat di Mahkamah Mahasiswa tentunya lebih elegan dan eksotis sebagai insan akademis daripada adu pukul layaknya mahasiswa yang tidak tahu tata krama.

Berdasarkan argumentasi di atas, maka penulis tertarik menawarkan sebuah gagasan bernama Mahkamah Mahasiswa yang orientasinya bukan hanya sebagai penyelesaian sengketa di pemira, namun lebih sebagai the guardian of the student constitution UNESA 2015.

Hal ini dikarenakan UNESA sebagai miniatur bangsa haruslah melihat aspek kebangsaan secara komprehensif. Di Indonesia, semangat ketatanegaraan pasca reformasi berubah dari supremasi parlemen (dalam hal ini MPR) menjadi supremasi konstitusi dengan check and balances antar lembaga negara.

Dengan demikian, adanya supremasi konstitusi menyiratkan adanya implementasi dari Trias Politica nya Montesquieu dengan memisahkan lembaga negara menjadi tiga bagian yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.Dengan demikian, dibentuknya Mahkamah Mahasiswa sangat relevan dengan Trias Politica nya Montesquieu yang mengilhami semangat konstitusi pasca amandemen ke empat.Namun, yang terjadi di UNESA dalam konstitusi REMA 2015 adalah bahwa MPM justru mendapat fungsi yudisial.

Hal ini, menurut hemat penulis adalah sebuah hal yang kurang baik dalam aspek ketatanegaraan. Penulis berpijak dari apa yang disampaikan oleh Blackstone dalam C.F. Strong bahwa “The right of making and enforcing the law is vested in the same man or one and same body of men, there can be no public liberty”.

Dengan demikian, digabungkannya fungsi legislasi dan yudisial dalam satu lembaga/wadah yaitu MPM justru mengebiri hakikat dari demokrasi itu sendiri.Karena demokrasi dan kekuasaan sangat sering atau bahkan berpotensi untuk disalahgunakan.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Lord Acton bahwa “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Sehingga yang dapat dijadikan pedoman adalah apa yang disampaikan oleh Jimly Asshidiqie bahwa “Moral kekuasaan tidak boleh hanya diserahkan pada niat, ataupun sifat-sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. Betapapun baiknya seseorang,  yang  namanya  kekuasaan  tetaplah harus diatur dan dibatasi, sehingga kebaikan orang tidak larut ditelan oleh hukum besi kekuasaan itu”.

Dari argumentasi ini, maka urgensi adanya Mahkamah Mahasiswa sangat tepat demi proporsionalitas kekuasaan yang seimbang antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Mahkamah Mahasiswa sejatinya juga bukan gagasan yang baru karena di beberapa kampus, khususnya kampus di Jabodetabek sejatinya sudah ada formulasi adanya Mahkamah Mahasiswa.

Hal ini supaya kualitas demokrasi dan fungsi kampus sebagai miniatur bangsa dapat berjalan secara optimal.

Secara teknis penulis menyarankan bahwa Mahkamah Mahasiswa yang nanti di bentuk di UNESA setidak-tidaknya memiliki kewenangan sebagai berikut:

  1. Menguji peraturan di bawah konstitusi REMA UNESA 2015 dengan konstitusi REMA UNESA 2015. Hal ini dimungkinkan peraturan di bawah konstitusi REMA 2015 termasuk peraturan DPM, BEM, BEM-F, HMP/HMJ/HIMA bertentangan dengan konstitusi REMA UNESA 2015.
  2. Memutus sengketa kewenangan organisasi mahasiswa UNESA.
  3. Memutus perselisihan etik dan hasil pemira UNESA (perselisihan etik dimaksudkan supaya pelanggaran etik yang dimungkinkan akan dilakukan oleh KPU/PANWAS/BAWASLU dilaporkan ke Mahkamah Mahasiswa karena tidak ada DKPP di pemira jadi diintegralkan ke Mahkamah Mahasiswa).
  4. Memutus secara formal amandemen konstitusi mahasiswa UNESA.

Dengan kewenangan setidak-tidaknya seperti yang disebutkan di atas, Mahkamah Mahasiswa dapat menjadi upaya untuk meneguhkan constitutional democracy dan democratischerechtsstaat di lingkungan kampus.Dalam penerapannya, bisa menggunakan 3, 5, 7, atau 9 hakim sesuai kebutuhan.Namun untuk awal lebih baik digunakan 3 hakim saja.

Supaya Mahkamah Mahasiswa tidak menjadi lembaga yang superbody maka Mahkamah Mahasiswa dapat diwasi oleh Dewan Etik Mahkamah Mahasiswa apabila dalam putusannya diduga ada yang menciderai nilai-nilai independen dan imparsialitas lembaga peradilan.

Oleh karena itu, Dewan Etik Mahkamah Mahasiswa diangkat oleh BEM F dan DPM masing-masing fakultas serta BEM U dan MPM sehingga bisa merepresentasikan mahasiswa UNESA. Sedangkan untuk Mahkamah Mahasiswa untuk jabatan hakimnya hanya diperuntukkan mahasiswa Hukum UNESA.

Hal ini bukanlah diskriminatif karena logika putusan hakim yang bertendensi hukum jelas memiliki logika berbeda dengan yang lain, jadi khusus untuk hakimnya “hanya” berasal dari Hukum UNESA tentunya dengan seleksi dan fit and proper yang sangat ketat.

Bahkan perlu melibatkan tim dosen untuk mengecek pemahaman ketatanegaraan dari calon Mahkamah Mahasiswa. Akan tetapi, untuk jabatan panitera, adminsitrasi peradilan dll, bisa dari mahassiwa non-hukum.

Meski dari hukum UNESA jabatan hakim Mahkamah Mahasiswa tidak sembarangan bisa diikuti oleh Mahasiswa hukum, harus mahasiswa hukum yang kredibel serta memiliki pandangan hukum yang progresif.

Pandangan hukum progresif dalam Mahkamah Mahasiswa menyiratkan supaya hakim Mahkamah Mahasiswa tidak hanya menjadi Mahkamah Kalkulator dalam pemira, atau hanya menjadi Mahkamah Pasal-Pasal.

Hakim Mahkamah Mahasiswa harus mau melakukan rule breaking apabila suatu aturan di bawah konstitusi mahasiswa justru bertentangan dengan konstitusi mahasiswa. Selain itu, dalam perselisihan hasil pemira Mahkamah Mahasiswa harus menjadi the last resort bagi constitutionally election.

Sehingga tidak terpaku pada angka-angka, namun mengutamakan logika keadilan yang mendasari angka-angka.Dengan demikian, diharapkan Mahkamah Mahasiswa dapat menjadi salah satu organisasi mahasiswa yang mampu mewujudkan pemira paripurna tentunya sebagai the guardian of the student constitution serta berpijak pada hukum progresif sebagai sarana untuk mewujudkan pemuliaan keadilan substantif.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Mahatma Gandhi bahwa, “There is a higher court than courts of justice and that is the court of conscience. It supersedes all other courts”. Semoga hal ini lah yang mendasari berdiri dan bekerjanya Mahkamah Mahasiswa di kampus kita tercinta ini. Semoga..

 

Oleh : Dicky Eko Prasetio & Fradhana Putra Disantara – Mahasiswa “Tjipian” Hukum Universitas Negeri Surabaya 2017

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker