HIPOKRISI (Kemunafikan) PKS

Oleh:

Bambang Prayitno

Sesungguhnya, dalam pertarungan elektoral 2019 di Indonesia ini, ada partai-partai yang punya kesempatan untuk naik mudah melewati ambang batas parlemen. Selain modal sosial dan politik yang sudah dimiliki dan raihan suara pada lima tahun yang lalu sebagai basis pengorganisasian pemilih, mereka juga sangat diuntungkan oleh tren politik yang sekarang terjadi di dunia global dan mulai menjalar ke Asia.

Ronald F. Inglehart dari University of Michigan dan Pippa Norris dari Harvard Kennedy School pada 2016 menulis sebuah paper menarik yang berjudul “Trump, Brexit, and the Rise of Populism: Economic Have-Nots and Cultural Backlash”. Paper ini adalah kajian tentang fenomena populisme di Amerika dan Eropa. Dalam paper tersebut, mereka menyimpulkan bahwa populisme akan menjadi tren dunia yang disebabkan oleh dua arus; kesenjangan ekonomi dan pertentangan kultural.

Populisme sendiri, bisa digerakkan oleh partai, politisi atau isu yang dibungkus sedemikian rupa sehingga menjadi narasi umum rakyat kebanyakan. Dalam bentuknya yang lain, populisme juga bisa dibentuk oleh identitas kewargaan, seperti agama dan ras. Misalnya, Hindi, Melayu dan Islam. India, Filipina dan Malaysia adalah tiga negara Asia yang perubahannya di waktu terakhir digerakkan oleh isu dan gerakan populis; anti asing, korupsi, nasionalisme dan persatuan, kedaulatan pribumi, dan keadilan ekonomi.

Indonesia juga sedang diterpa angin populisme. Vedi Hadiz, seorang peneliti sosial dan Professor of Asian Studies, University of Melbourne, pada 2016 menulis dalam buku “Islamic Populism in Indonesia and the Middle East”, yang menceritakan bahwa fenomena populisme yang berkembang di Indonesia sekarang ini adalah populisme model baru yang ia sebut ‘populisme Islam’. Dalam praksisnya, populisme Islam bisa didefinisikan secara mudah sebagai narasi yang menjalar di kalangan rakyat bawah, kaum terpelajar kota, tokoh elit dan ulama Islam dan organisasi keislaman, yang narasi itu hadir sebagai perasaan bersama.

Berdasar pada gejala di Indonesia, narasi populis itu berupa ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan hukum dan kezaliman penguasa pada kelompok Islam. Padahal mereka adalah kelompok mayoritas. Semua perasaan itu beririsan dengan hidup dan kepentingan kelompok Islam di Indonesia. Bila dikaitkan dengan pertarungan elektoral sebagai tahapan lanjutnya, maka yang diuntungkan oleh isu dan perasaan bersama ini tentu partai politik dengan identitas yang mendekati keinginan dan aspirasi kelompok tersebut. Dalam hal ini, partai-partai Islam dan partai yang memiliki irisan aspiratif dengan kelompok Islam.

Diantara partai-partai Islam yang ada di Indonesia, yang mendapatkan ‘durian runtuh’ dari angin populisme Islam ini, adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bahkan, mungkin jika ia tak melakukan apapun pada angin yang sedang berhembus di Indonesia sekarang ini.

Karena, pertama, PKS adalah salah satu partai yang memiliki jangkauan dan hubungan erat pada kelompok-kelompok terpelajar Islam. Kedua, dalam koalisi membangun isu populis, PKS berada di lingkaran kelompok-kelompok kanan yang menjadi penggerak dari gerakan populisme Islam; seperti HTI, FPI dan sebagainya. Ketiga, hanya PKS satu-satunya partai Islam yang tampilan simboliknya seragam dan identik dengan kelompok-kelompok Islam yang terlibat dalam gerakan.

Mungkin kurang tepat kata-kata Jan-Werner Muller dalam “What Is Populism?”, tapi setidaknya bisa menggambarkan bagaimana sikap dan arah suara rakyat dalam populisme itu berlabuh dalam ‘electoral competition’;

“Populists, by contrast, will persist with their representative claim no matter what; because their claim is of moral and symbolic- not an empirical- nature, it cannot be disproven.”

Ditengah keberuntungan ini, kita nampaknya perlu melihat sisi lain dari partai yang mendapatkan “blessing” di tengah arus populisme Islam yang membesar. Apa yang kita sebut sebagai hipokrisi. Atau Kemunafikan. Dalam hal ini, kemunafikan politik.

Hipokrisi adalah penyakit mental. Muncul dalam catatan para ilmuwan politik dan filsuf dunia. Ia hinggap dalam trajektori sejarah politik di banyak tempat. Hipokrisi pada dasarnya adalah; “berpura-pura menjadi apa yang bukan atau mempercayai apa yang tidak dilakukan seseorang: perilaku yang bertentangan dengan apa yang diklaim atau dipercayai oleh seseorang” (Merriam-Webster).

Sementara pengertian lainnya, menurut filsuf Inggris era modern David Runciman, dalam “Politik Kemunafikan: Topeng Kekuasaan, dari Hobbes ke Orwell dan Beyond”, hipokrisi adalah; “klaim terhadap konsistensi yang tidak dapat dipertahankan, klaim terhadap kesetiaan yang tidak dimiliki, klaim terhadap identitas yang tidak dipegang seseorang”.

Dalam pengertian sederhana, hipokrisi dalam politik adalah kontrasnya perbedaan ‘latar depan’ dan ‘latar belakang atau dalam’ dari penampilan seorang politisi atau sebuah partai politik. Penyajian latar depan dan latar belakang yang begitu berbeda sengaja dilakukan. Penggunaan topeng yang secara sadar dikenakan ini untuk “membodohi publik” dan mendapatkan keuntungan politik. Dalam hal ini adalah kenaikan suara elektoral.

Hipokrisi menjadi istilah nista yang harus diperhatikan dalam peristiwa politik. Ia adalah fenomena ikutan yang menjangkiti ruang politik yang tanpa kontrol. Meski sulit diraba bentuk awalnya, hipokrisi selalu muncul dalam masa-masa kampanye. Banyak filsuf yang memikirkan serius bagaimana hipokrisi bisa muncul. Para ahli politik dan filsuf berada pada titik simpul; hipokrisi itu akan selalu muncul dalam pergulatan politik, dan memiliki dampak yang negatif pada masa depan dan peradaban.

Lalu, apa bentuk hipokrisi atau kemunafikan politik yang -mungkin-  sedang dipraktikkan PKS? Berdasarkan pengertian yang sebenarnya, menurut saya ada beberapa hipokrisi yang mulai nampak dalam wajah PKS, dan ini sangat penting untuk kita kupas.

Pertama, PKS menyerukan persatuan umat. Narasi ‘persatuan umat’ adalah narasi populis yang seksi. Ia bisa disepadankan dengan nasionalisme. Seperti Modi yang katakan korupsi bisa menggerus nasionalisme India. Begitu juga seruan persatuan yang didengungkan oleh PKS. Berkali-kali. Contohnya, pada 11 Juli 2017, Salim Segaf Ketua Majelis Syuro PKS katakan; ‘Indonesia adalah mayoritas umat Islam, sehingga kepemimpinan nasional bisa dipegang oleh umat Islam hanya dengan persatuan umat, tidak ada lagi perbedaan antarumat yang dikedepankan”.

Garisbawahi kalimat ‘kepemimpinan nasional dipegang dengan persatuan’ dan kalimat ‘tidak ada lagi perbedaan antarumat’. Sesungguhnya, narasi ini kontras dan bertolakbelakang dengan situasi di dalam PKS sendiri. Jangankan menjadi simpul pemersatu umat dalam skala luas, pimpinan PKS adalah orang-orang yang diakui oleh banyak kader di Indonesia sebagai penyebab perpecahan internal PKS dan pembelahan di seluruh wilayah karens “tangan besi kekuasaan” yang dikenakannya. PKS di setiap wilayah dibelah dua dengan komposisi rata-rata sama, oleh Pimpinan PKS sekarang dengan isu loyalitas dan ketaatan.

Kedua, PKS berjanji akan melindungi ulama dan simbol agama. Melalui launching resmi pada 13 Januari 2019, janji kampanye ini dituangkan dalam bentuk draft legal RUU. Presiden PKS Sohibul Iman mengatakan RUU itu diniatkan untuk menjaga kehormatan, keluhuran, dan kemuliaan martabat ulama, tokoh agama, serta simbol agama-agama di Indonesia. Dia mengatakan dengan UU ini, keutuhan dan keharmonisan kehidupan antar-umat beragama dapat terus terjaga.

Perhatikan kalimat ‘kehormatan, keluhuran, dan kemuliaan martabat ulama’. Ini juga isu populist ditengah keresahan ulama dan umat Islam atas banyaknya perlakuan sewenang-wenang penegak hukum yang jauh dari keadilan pada umat. Isu ini diharapkan bisa menggiring para kyai dan penceramah kampung untuk mengkampanyekan PKS. Ribuan penceramah dan kyai bisa berkampanye sukarela dengan isu ini.

Ada dua hal yang perlu dibuka kepada publik. Pertama, RUU ini tentu saja berusaha mendrive pikiran publik dan Pemilih dari ceruk muslim yang besar. Tapi realitasnya, UU yang mengatur kehormatan seseorang, darimana pun latar belakangnya, sesungguhnya sudah ada didalam KUHP dan UU ITE untuk urusan dengan media dan media sosial. Apa artinya, ini hanya sekedar slogan dan “bualan” kampanye semata.

Kedua, isu ini sesungguhnya kontras dengan situasi di dalam PKS. Ratusan penceramah agama dan kyai di struktur partai yang berbeda dengan pimpinan PKS tidak diajak kerjasama dengan penuh toleransi. Tapi justru dirotasi dengan cara-cara yang jauh dari “menjaga kehormatan dan kemuliaan martabat”. Tidak saja pimpinan PKS melakukan rotasi semata, tapi juga ia dengan tentakel kekuasaannya, menistakan banyak Kyai dan penceramah yang selama ini bernaung di yayasan milik kader PKS, dengan mengganti tiba-tiba, bahkan “membuangnya” dari tempat mengabdi.

Narasi ketiga yang disampaikan PKS adalah mengiringi dan memenangkan Prabowo, sebagai bentuk pembelaan partai pada aspirasi umat. Prabowo aalah calon pemimpin yang ditunjuk oleh rakyat ditengah gelombang populisme. Sehingga Prabowo dianggap sebagai wajah dari perasaan bersama umat sekarang. Dan PKS melihat itu sebagai kesempatan. Tidak ada yang salah dengan itu.

Tapi, memecat struktur PKS di puluhan wilayah yang sedang serius berjuang memenangkan Prabowo. Mengamputasi kewenangan menggerakkan kader untuk memenangkan Prabowo. Dan mengancam berkali-kali Prabowo bahwa PKS akan mematikan mesin partainya, adalah bentuk “pengkhianatan” kepada arus yang sekarang sedang berjalan. Tapi itulah yang dilakukan PKS di enam bulan terakhir.

Hanya ada dua pilihan bagi partai yang berwatak hipokrit yang sedang memanfaatkan gelombang umat dan angin populisme untuk kepentingan elektoral semata. Pertama, mengajak suara umat untuk mengalihkan suara ke partai alternatif lain yang juga bisa menjadi penampung aspirasi, atau mendesak PKS berubah; dengan mengganti pimpinan yang tidak sesuai dengan kehendak publik atau memperbaiki ‘latar dalam dan belakang’ partai.

PKS harus memperbaiki dirinya. Tidak saja karena dia diuntungkan oleh gelombang populisme Islam, dimana ia menjadi salah satu alternatif pilihan umat, tanpa perlu ‘bekerja keras’. Tapi ini juga bentuk tanggungjawab atas kepercayaan publik yang sudah menitipkan suara kepada PKS. Harus segera sadar. Sebelum rakyat benar-benar marah karena antara janji dan tampilan PKS ternyata hanya retorika belaka dan berbeda dengan situasi asli di dalam atau belakang rumah PKS sendiri.

Jangan sampai ada kejadian, saat para pimpinan PKS sekarang berada di satu tempat terbuka untuk ceramah tentang bagaimana menghormati dan menjunjung tinggi ulama serta bagaimana meneguhkan persatuan umat, atau bagaimana umat memenangkan kontestasi kepemimpinan nasional, tiba-tiba ada orang yang sudah kadung eneg, lewat dan teriak; “anda gemblung! “.

Editor
Muhammad Saleh

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker