Mengenal Lebih Dekat Peraih Gelar Pahlawan Nasional, Lafran Pane

SETELAH bertahun-tahun Ikhtiar Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan KAHMI dalam mengawal pengajuan Sang Pendiri Organisasi Kemahasiswaan Tertua dan Terbesar diindonesia untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional, Prof. Lafran Pane Pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) akhirnya membuahkan hasil

Setelah menerima kunjungan sejumlah Fungsionaris Pengurus MN KAHMI yang dipimpin oleh Prof. Mahfud MD, Dewan Pakar MN KAHMI Prof. La Ode Masihu Kamaluddin dan Penasihat MN KAHMI Dr. Akbar Tanjung di Istana Merdeka pada hari Jumat, 3 November 2017, Presiden Joko Widodo menegaskan akan memberikan gelar Pahlawan Nasional Kepada Lafran Pane. Keputusan tersebut berdasarkan Keppres No.115/TK/2017. Penganugerahan gelar tersebut akan diberikan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada hari Kamis, 9 November 2017 mendatang, sehari menjelang perayaan Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November.

Meskipun ia tidak menginginkan untuk diangkat sebagai pahlawan hingga akhirnya. Namun pemerintah dan warga HMI menganggap ini perlu, untuk membalas pengabdiannya dengan mendorongnya menjadi pahlawan nasional. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Indonesia bisa utuh hingga sekarang, karena semangat keindonesiaan dan keislaman yang dirintisnya 72 tahun yang lalu tetap tumbuh dan hidup.

Hal itu terungkap pada konsepsi pemikiran Lafran Pane dalam buku berjudul ‘Biografi Lafran Pane’ yang ditulis Hariqo Wibawa Satria, salah seorang kader terbaik HMI yang pernah menjabat Ketua Komunitas Peduli ASEAN dan Peneliti, Prof. Lafran Pane, pendiri HMI. Dituliskan dalam buku itu, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, muncul polarisasi politik. Hampir semua partai politik (parpol) menyusun kekuatan dan strategis untuk menghadapi Pemilu yang direncanakan tahun 1946.

Saat itu bangsa ini tengah menghadapi dua tantangan dan ancaman. Yaitu ancaman nyata agresi militer pemerintah kolonial Belanda bersama sekutu (NICA) dan rendahnya pemahaman keislaman di kalangan mahasiswa Islam.

Melihat kondisi itu, Lafran Pane mampu melembagakan buah pikirannya dengan membentuk sebuah wadah bernama HMI di Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947. Dengan tujuan mempertahankan, mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam.

Dalam buku itu, Lafran Pane lebih mengedepankan kepentingan nasional ketimbang kepentingan kelompok dan pribadi. Tidak hanya itu, Lafran Pane dalam mendirikan HMI, juga mengajarkan toleransi antar sesama aliran dalam Islam dan kepada umat lain, untuk satu Indonesia.

Hingga hal tersebutlah yang menjadi pertimbangan utama Presiden Joko Widodo untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Prof. Lafran Pane.

Lafran Pane (lahir di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, 5 Februari 1922 – meninggal di Yogyakarta, 24 Januari 1991 pada umur 68 tahun) dikenal sebagai salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 5 Februari 1947. Perihal perannya dalam HMI, Kongres XI HMI tahun 1974 di Bogor menetapkan Lafran Pane sebagai pemrakarsanya berdirinya HMI dan disebut sebagai pendiri HMI. Selain dirinya, ada beberapa nama lain yang disebut sebagai pendiri HMI, antara lain: Kartono Zarkasy (Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Siti Zainah (Palembang), Maisaroh Hilal (cucu pendiri Muhammadiyah KH.Ahmad Dahlan, Singapura), Soewali (Jember), Yusdi Gozali (Semarang, juga pendiri PII), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (Surakarta), Marwan (Bengkulu), Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (Malang), Bidron Hadi (Kauman-Yogyakarta), Sulkarnaen (Bengkulu), dan Mansyur. Lafran Pane sendiri menolak untuk dikatakan sebagai satu-satunya pendiri HMI.

Biografi Singkat Lafran Pane 
Lafran Pane lahir di Padang Sidempuan, 5 Februari 1922. Menurut berbagai tulisan sebelumnya, disebutkan bahwa Lafran Pane lahir pada 12 April 1923 diKampung Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, sebuah kecamatan yang terletak dikaki Gunung Sibual buali, 38 kilometer ke arah utara dari “Kota Salak” Padang Sidempuan, ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Wafat pada tanggal 24 Januari 1991, orang akhirnya tahu, setelah kematiannya, Lafran ternyata lahir 5 Februari 1922, bukan 12 April 1922 seperti yang kerap ia gunakan dalam catatan resmi.

Silsilah Keluarga 
Lafran Pane adalah anak keenam keluarga Sutan Pangurabaan Pane dari istrinya yang pertama, Lafran adalah bungsu dari enam bersaudara, yaitu: Nyonya Tarib, Sanusi Pane, Armijn Pane, Nyonya Bahari Siregar, Nyonya Hanifiah, Lafran Pane, dan selain saudara kandung, ia juga memiliki dua orang saudara tiri dari perkawinan kedua ayahnya, yakni: Nila Kusuma Pane dan Krisna Murti Pane. Ayah Lafran Pane adalah seorang guru sekaligus seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Keluarga Lafran Pane merupakan keluarga sastrawan dan seniman yang kebanyakan menulis novel, seperti kedua kakak kandungnya yaitu Sanusi Pane dan Armijn Pane yang juga merupakan sastrawan dan seniman. Sutan Pangurabaan Pane termasuk salah seorang pendiri Muhammadiya di Sipirok pada 1921. Sedangkan Kakek Lafran Pane adalah seorang ulama Syekh Badurrahman Pane, maka pendidikan keagamaannya didapat sebelum memasuki bangku sekolah.

Riwayat Pendidikan
Pendidikan sekolah Lafran Pane dimulai dari Pesantren Muhammadiyah Sipirok (kini dilanjutkan oleh Pesantren K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Setia dekat Desa Parsorminan Sipirok. Dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah Lafran Pane ini mengalami perpindahan sekolah yang sering kali dilakukan, hingga pada akhirnya Lafran Pane meneruskan sekolah di kelas 7 di HIS Muhammadiyah, menyambung hingga ke Taman Dewasa Raya Jakarta sampai pecah Perang Dunia II, pada saat itu ibukota pindah ke Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang semula di Jakarta juga ikut pindah ke Yogyakarta. 

Wawasan dan intelektual Lafran berkembang saat proses perkuliahan yang membawa pengaruh pada diri Lafran Pane yang ditandai dengan semakin banyaknya buku-buku Islam yang ia baca. Sebelum tamat dari STI, Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada April 1948 Universitas Gajah Mada (UGM) yang kemudian di Negerikan pada tahun 1949. Tercatat dlam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran Pane termasuk salah satu mahasiswa yang pertama kali lulus mencapai gelar sarjana,yaitu tanggal 26 Januari 1953. Dengan sendirinya, Drs. Lafran Pane menjadi salah satu sarjana ilmu politik pertama di Indonesia, selanjutnya Lafran Pane lebih tertarik di lapangan pendidikan dan keluar dari Kementerian Luar Negeri dan masuk kembali ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Riwayat Pekerjaan 
1. Direktur Kursus B I dan B II Negeri Yogyakarta yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan & Kebudayaan belakangan menjadi Fakultas Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Gajah Mada (UGM). Kemudian, Fakultas Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Gajah Mada UGM dengan Institut Pendidikan Guru (IPG) dilebur menjadi Institut Keguruan & Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta, kini Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
2. Dosen Fakultas Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Yogyakarta. 
3. Dosen Fakultas Sosial dan politik Universitas Gajah Mada (UGM), dosen Universitas Islam Indonesia (UII), dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
4. Dosen Akademi Tabligh Muhammadiyah (ATM), kemudian menjadi FIAD Muhammadiyah, kini Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta(UMY).
5. Pernah menjadi dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogykarta (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN)), hingga terjadi peristiwa 10 Oktober 1963. Sepuluh tahun kemudian, atas permintaan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mulai tahun 1973 Prof. Drs. Lafran Pane mulai kembali mengajar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai Guru Besar Ilmu Tata Negara.
6. Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia, sejak tanggal 1 Desember 1966, Lafran Pane dianggat menjadi guru besar (profesor) dalam mata kuliah Ilmu Tata Negara.

Hasil-Hasil Pemikiran Prof. Lafran Pane
– Mengenai Islam dan Indonesia
Lafran Pane mengatakan bahwa agama Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, baik lingkup keluarga hingga lingkup masyarakat dan negara. Berkaitan dengan itu, ia meyakini bahwa Islam berisi peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan untuk segala aspek kehidupan. Islam dianggapnya sebagai satu kebudayaan yang sempurna, yang tidak merupakan ciptaan masyarakat, sebab merupakan kebudayaan yang diturunkan Tuhan langsung kepada masyarakat Arab, serta berlaku universal. Meskipun demikian, adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda masyarkatnya, yang tergantung pada faktor-faktor alam, kebiasaan dan lain-lain, maka kebudayaan Islam hendaknya dapat diselaraskan dengan masing-masing masyarakat itu. 

Dalam masyarakat, segala sesuatu saling mempengaruhi, manusia mempengaruhi manusia lain, masyarakat dipengaruhi oleh manusia dan sebaliknya. Begitu pula hasil masyarakat dipengaruhi oleh manusia dan sebaliknya. Begitu pula hasil kebudayaan yang satu mempengaruhi yang lain dan selanjutnya mempengaruhi masyarakat yang lain. Menurut Lafran Pane, setelah kemerdekaan, dampak kolonialisme Belandatidak serta-merta lenyap, khususnya dari mereka yang semata-mata menerima pengajaran di lembaga-lembaga kolonial. Contoh pengaruh tersebut adalah pandangan yang menganggap bangsa Barat dalam segala hal lebih dari penduduk lokal. Lafran Pane meyakini bahwa jika ajaran Islam dipraktikkan oleh rakyat Indonesia dalam segala lapangan hidup dengan sebaik-baiknya, Belanda tidak mungkin bisa menjajah dan mengekploitasi bangsa Indonesia dalam kurun waktu yang sangat lama. Pejajahan dimungkinkan karena Belanda mengetahui lemahnya pendidikan Islam pada mayoritas masyarakat Indonesia. Islam mengajarkan bahwa semua manusia itu setara dan perbudakan amat ditentang.

Pendirian HMI 
Lafran mendirikan HMI sebagai aktualisasi dari pandangannya tentang Islam dan Indonesia. HMI dilahirkan sebagai suatu reaksi terhadap situasi saat itu, namun juga berakar pada aspirasi umat Islam yang dikandung selama berabad-abad lamanya. Dengan mendirikan HMI, Islam mendapat peran yang lebih tinggi di antara mahasiswa, yakni bahwa Islam bukanlah sekumpulan kaum yang mempertahankan tradisi dan pengetahuan tradisional. Selain itu, dengan adanya HMI ide persatuan umat Islam yang mengikis fanatisme kelompok semakin meningkat.

Pemikiran Pembaharuan Islam 
Menurut Lafran Pane, Tugas umat Islam adalah mengajak umat manusia kepada kebaikan dan juga menciptakan masyarakat adil makmur baik secara material dan spiritual. Dengan adanya gagasan pembaharuan pemikiran keislaman, diharapkan kesenjangan dan kejumudan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dapat dilakukan dan dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam. Kebekuan pemikiran Islam saat itu telah membawa pada arti agama yang kaku dan sempit, tidak lebih dari agama yang hanya melakukan peribadatan. Al-Qur’an hanya dijadikan sebatas bahan bacaan. Agama Islam tidak menempatkan sebagai agama yang universal. Gagasan pembaharuan pemikiran Islam ini pun hendaknya dapat menyadarkan umat Islam yang terlena dengan kebesaran dan kejayaan masa lalu. Demikian memahami pemikiran Lafran Pane yang tidak lepas dari lingkungannya, yaitu negara Indonesia yang berpendudukan mayoritas beragama Islam, dengan segala realitas dan totalitasnya. Pemikiran Lafran Pane tidak bisa dipahami tanpa meletakkannya dalam suatu proses sejarahatau tradisi panjang yang melingkupinya. 

Dari pemikiran itu dampaknya adalah berdirinya HMI, pada tanggal 5 Februari 1947 Lafran menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI karena ia adalah orang yang mengagagas HMI, akan tetapi Lafran mundur dari ketua umum PB HMI pada 22 Agustus 1947 dan pindah menjadi wakil ketua umum. Artinya ia hanya menjabat sebagai ketua Umum selama tujuh bulan dan kemudian posisinya diberikan kepada seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada bernama Mohammad Syafa’at Mintaredja. Strategi ini dilakukan agar HMI tidak terkesan milik mahasiswa STI, selain juga memperluas dakwah HMI di kampus umum serta memperkuat posisi HMI dalam dunia kemahasiswaan.

Karya-karya Lafran Pane
Data-data tentang Lafran Pane tidak banyak berubah sejak 1947. Karya tulisnya pun terbatas. berikut ini merupakan judul karya-karya Lafran Pane dengan bentuk artikel bebasnya :

1. Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia
2. Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
3. Kedudukan Dekret Presiden 
4. Kedudukan Presiden
5. Kedudukan Luar Biasa Presiden 
6. Kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
7. Tujuan Negara
8. Kembali ke Undang-undang Dasar 1945
9. Memurnikan Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945
10. Memurnikan Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945
11. Perubahan Konstitusional 
12. Menggugat Eksistensi HMI

Untuk itu sebagai kader HMI, penulis menghanturkan ucapan terimakasih kepada Presiden Joko Widodo dan masyarakat Indonesia Pada Umumnya yang telah turut memberikan support begitu besar atas semangat keluarga besar HMI dalam mendorong pemberian gelar pendiri HMI, Prof. Lafran Pane.


Muhamad Ikram Pelesa

Formatur HMI Cabang Kendari 2016/2017; Ketua Komisariat STIKES Mandala Waluya Periode 2014/2015; Formatur HMI Cabang Kendari 2016/2017

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker