Polemik Perpu Cipta Kerja

Oleh Bahrul Ulum., S.H., M.H., CM., CPLCE

Abadikini.com – Pemerintah Indonesia akhirnya menerbitkan Peraturan  Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)  Nomor 2 Tahun 2022  tentang Cipta Kerja, langkah Pemerintah menerbitkan Perpu Cipta Kerja ini telah menimbulkan polemik dan  beragam pendapat tentang keabsahan terbitnya Perpu CIpta Kerja.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah   melakukan uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja  dan pada 25 November 2021 MK menjatuhkan putusan perkara Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Dalam putusannya MK  memberikan  putusan menyatakan “ pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan’. Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini,”  Dalam putusan yang berjumlah 448 halaman tersebut, MK  memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan, apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

Apabila diperhatikan dari tenggang waktu sejak tanggal 25 November 2021  putusan MK dibacakan terhadap UU Cipta Kerja  yang memerintahkan agar dilakukannya perbaikan sampai dengan lahirnya Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada tanggal 30 Desember 2022, memang tenggang waktu tersebut belum lewat waktu 2 (dua) tahun sebagaimana perintah di dalam Putusan  MK,  namun  hal ini menimbulkan pertanyaan pada rakyat Indonesia, apakah Pemerintah tidak siap untuk memperbaiki UU Cipta Kerja sebagaimana putusan yang telah diperintahkan oleh MK, atau memang dilahirkan sebuah Perpu  untuk kemudian diajukan kepada  DPR RI  untuk mendapatkan persetujuan menjadi undang-undang.

Namun yang menarik adalah apakah Perpu yang diterbitkan tersebut  melanggar Konstitusi dan menabrak peraturan perundang-undangan, atau sebagai bentuk pembangkangan terhadap Putusan MK yang telah memerintahkan agar dilakukannya perbaikan terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau bahkan Pemerintah sama sekali tidak siap untuk melakukan perbaikan  UU Cipta Kerja sebagaimana perintah dalam putusan MK.

UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan  Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 7  ayat  (1) huruf c  memang telah mengatur bahwa  Perpu termasuk kedalam  hirakhi peraturan perundang-undangan, dan materi yang diatur di dalam  Perpu adalah sama dan merupakan materi undang-undang. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa  sebagaimana   yang telah diartikan di dalam ketentuan Pasal 1 angka 4  UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan  Peraturan Perundang-Undangan, Perpu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Perpu sebagai produk  perundang-undangan  juga telah di atur di dalam hukum tertinggi Negara  Republik Indonesia  UUD 1945,  Pasal 22 ayat  (1) UUD 1945  Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Pertanyaan kemudian bagi Rakyat Indonesia, apakah Negara dalam keadaan genting dan berbahaya sehingga Pemerintah perlu menerbitkan Perpu untuk mengatasi kegentingan tersebut dengan menerbitkan  Perpu Cipta Kerja.

Dari awal pembentukan, UU Cipta Kerja telah menimbulkan polemik dan kegaduhan politik dan hukum di tanah air, demontrasi dari berbagai pihak yang menentang lahirnya UU Cipta Kerja menandakan bahwa Negara ini dalam keadaan yang tidak sehat, namun Pemerintah tetap menerbitkan UU Cipta Kerja yang pada  akhirnya masyarakat sipil kemudian mengajukan Uji Formil kepada MK, alhasil, MK mengabulkan permohonan uji formil tersebut dan memerintahkan agar UU Cipta kerja diperbaiki dalam waktu 2 (dua) tahun.

Saat ini UU Cipta Kerja  kembali menimbulkan polemik, bahkan dapat dikatakan lahirnya Perpu  telah melanggar Konstitusi, Tafsir tentang kegentingan yang memaksa tersebut telah ditafsirkan sepihak oleh Pemerintah sehingga  pemerintah  dapat  menerbitkan Perpu atas adanya keadaan kegentingan yang memaksa yang ditafsirkannya sendiri.  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pemerintah memiliki tafsir sendiri untuk menentukan “Hal Ikhwal Kegentingan yang Memaksa”. Namun walaupun  Presiden memiliki kewenangan untuk menafsirkan suatu keadaan  berupa hal ihwal kegentingan yang memaksa Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor : 138/PUU-VII/2009 dalam pertimbangan hukumnya pada halaman 19 angka 3.10 telah membuat pertimbangan hukum tentang parameter hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai berikut : “Menimbang bahwa dengan demikian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila (1) Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, (2) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;  (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UndangUndang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Berdasarkan putusan MK tersebut diatas, maka sebenarnya parameter untuk melahirkan sebuah Perpu dengan  menentukan suatu keadaan  yang sifatnya “kegentingan yang memaksa” telah ditentukan oleh MK. Sebagai garda terdepan  dalam melindungi Konstitusi dan menjaga Demokrasi seharusnya putusan MK tersebut harus menjadi pedoman bagi Pemerintah dalam  menentukan  keadaan  kegentingan sesuai dengan yang telah diamanahkan oleh Konstitusi. Walaubagaimanapun Perpu telah diterbitkan, sadar ataupun tidak, jika publik berkesimpulan Perpu tersebut melanggar konstitusi maka Perpu tersebut juga perlu di uji.

Legislative Review dan Judicial Review

Perpu yang telah diterbitkan harus diajukan kepada DPR untuk disetujui dan dinyatakan sah menjadi undang-undang.  Pasal 52 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan  Perundang-Undangan menegaskan  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikutnya. Selanjutnya Pasal 52 ayat (3) menyatakan DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undan”. Dapat dimaknai bahwa setelah ditetapkan oleh Presiden masa berlaku Perpu adalah terbatas satu tahun, dan kemudian harus diajukan untuk mendapat persetujuan DPR menjadi Undang-Undang. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 22 ayat 2 dan 3 UUD 1945 yang menyatakan “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut dan  Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.”.

Pertanyaan kemudian apakah  rakyat  percaya dengan parlemen/DPR dan akan menolak pemberlakuan dari Perpu Cipta Kerja, mau tidak mau konstitusi sudah mengatur demikian dan Pemerintah secara hukum harus  mengajukannya kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Harapannya  DPR  harus peka terhadap polemik dan persoalan Perpu Cipta Kerja, karena pada dasarnya sesuai dengan putusan MK , UU Cipta Kerja tetap berlaku dan hanya diperintahkan untuk diperbaiki dalam jangka waktu  2 (dua) tahun. Disisi yang lain tidak ada salahnya menguji  Perpu tersebut kepada MK, MK sebagai garda terdepan penjaga konstitusi (The Guardian of Constitution)  harus menjaga sistem hukum  tetap tunduk dan bekerja sesuai dengan konstitusi, walaupun mandat MK menguji undang-undang yang bertentangan dengan  UUD 1945, namun karena materi muatan dari Perpu adalah sama dengan Undang-Undang dan tafsir “Hal Ikhwal Kegentingan yang memaksa”  sebagai syarat absolut pembentukan  Perpu harus diuji di MK. Semoga MK  menyatakan berwenang memeriksanya dan memutuskan seadi-adilnya sesuai dengan  UUD 1945, Semoga.

Oleh Bahrul Ulum., SH., MH., CM., CPLCE,.
Ketua Bappilu DPW Partai Bulan Bintang Aceh. Ketua DPW Asosasi Pengacara Syariah Indonesia.
Sekretaris Pimpinan Wilayah Syarikat Islam Aceh.Advokat dan Konsultan Hukum

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker