Cak Nur dan Kegilaannya Pada Buku

Membedah Nurcholish Madjid tak akan pernah ada habisnya. Sosok kelahiran Jombang, Jum’at 17 Maret 1939 ini, ibarat buku yang terbuka. Bebas dibaca dan ditafsirkan oleh siapa saja. Dari yang pro sampai yang kontra, pernah mengupas sosok satu ini.
Gagasan pembaharuannya membuat dunia pemikiran Islam tanah air menjadi bergejolak. Pemikiran Cak Nur, begitu ia akrab disapa, kerap disalahpahami oleh sebagian pihak. Tak tanggung-tanggung, para pengeritik Cak Nur berasal dari kelompok sayap kiri Islam dan kelompok sayap kanan Islam.
Ahmad Gaus AF dalam kata pembukanya pada Api Islam Nurcholish Madjid : Jalan Hidup Seorang Visioner mengatakan, para pengeritik Cak Nur dari sayap kiri Islam ini diisi oleh barisan anak muda NU. Sebenarnya, mereka bisa menangkap ide-ide Cak Nur sejak edisi pertama hingga terakhir. Di tangan mereka, Cak Nur muncul seperti gambar hidup, bukan potret yang mati.
Sayangnya, kata Ahmad Gaus AF, argumen-argumen kelompok ini dipenuhi dengan tendensi dan kecurigaan yang berlebihan. Cak Nur oleh kelompok ini dituding sebagai advokat ideologi modernisme dan dianggap akan mengancam basis pengetahuan dan praksis politik kelompok tradisionalis.
Sedangkan bagi kelompok sayap kanan Islam, Cak Nur dituduh sebagai agen zionis dan orientalis yang bisa mengancam keberadaan mereka. Kedua kelompok ini, baik sayap kiri dan kanan Islam, sama-sama menciptakan halusinasi tentang sosok Cak Nur yang membahayakan. Lalu dari manakah sebenarnya modal intelektual Cak Nur didapat?
Bila melihat kepada rekam jejak hidup Cak Nur, intelektual dan kecerdasan yang dimilikinya didapat dan semakin berkembang pesat saat ia nyantri di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Di sanalah Cak Nur mulai menapaki dunia pemikiran Islam lewat karya-karya klasik ulama’Islam.
Di pesantren ini, Cak Nur juga mulai mempelajari bahasa Arab dan Inggris. Bahkan bahasa Prancis dipelajarinya secara private pada Muhammad Syarif, salah seorang guru bahasa yang mengajar di Gontor. Kamus-kamus bahasa asing kemudian menjadi buku bacaannya saat ada di Pondok Pesantren Modern ini. Kelak, upaya keras Cak Nur untuk belajar bahasa asing ini berbuah manis karena ia mampu merujuk pemikiran Islam klasik dan pemikiran Barat kontemporer langsung dari tangan yang pertama.
Kemampuan berbahasa asing yang dimiliki Cak Nur, tak hanya digunakannya sebatas untuk bisa berkomunikasi dengan orang asing seperti yang dilakukan oleh mahasiswa kebanyakan saat ini. Melainkan digunakannya untuk membaca karya-karya cendikiawan dan intelektual Islam dan Barat. Dan, kegemarannya membaca buku itu tumbuh pesat saat ia nyantri di Gontor.
“Kebiasaan saya membaca buku berkembang pesat di Gontor. Perpustakaan Gontor waktu itu belum terbuka untuk umum atau belum dengan gampang diakses oleh para santri. Yang bisa diakses, tapi juga tidak secara langsung, adalah perpustakaan pribadi Kyai Zarkasyi. Caranya, kita tidak belajar dikelas, tetapi diundang ke rumahnya.
Biasanya hanya untuk para santri kelas lima dan enam. Para santri diberi tugas untuk membaca buku-buku tertentu, sebagian besar kitab-kitab dalam bahasa Arab, dan mereka diminta untuk menceritakan isinya pada pertemuan berikutnya,”tulis Cak Nur dalam Demi Islam Demi Indonesia (hlm.40)
Metode yang digunakan oleh Kyai Zarkasyi dalam mendidik santrinya untuk membaca dan mencintai kitab (buku) sangatlah menarik. Para santri diberi tugas membaca kitab, setelah kitab tersebut selesai dibaca, santri yang diberi tugas tadi wajib mempresentasikan hasil bacaannya terhadap kitab tersebut di depan sang kyai.
Di Gontor pula Cak Nur sempat membaca buku-buku karangan orang-orang Barat. Misalnya karya Arnold Toynbee, Civilization on Trial, dan psikologi Pribadi karangan Fritz Kunkle. Kemampuannya berbahasa asing digunakannya untuk mengirim surat ke kedutaan-kedutaan besar asing di Jakarta dalam rangka untuk mendapat kiriman buku-buku dari mereka. Usaha Cak Nur ini berbuah manis. Ia mendapat beberapa kiriman buku berbahasa Inggris dari kedutaan-kedutaan asing itu.
“Saya mendapat banyak buku berbahasa Inggris, seperti Hero with the Thousand Thesis dan Mysticism: East and West. Yang terakhir itu saya terima dari UNESCO,”tulis Cak Nur.
Membincangkan Cak Nur, tak bisa tanpa mengaitkannya dengan buku-buku yang dibacanya. Jika pembaca sempat menyigi karya-karya Cak Nur, tampak jelas betapa luas pengetahuan yang dimilikinya. Selalu saja dalam setiap tulisan Cak Nur tercantum rujukan alias catatan kaki dari mana sumber informasi itu dia peroleh. Baik dari karya klasik para ulama’ Islam atau pun dari pemikir Barat klasik dan kontemporer. Membaca karya-karya Cak Nur sama dengan mengunjungi festival pemikiran para filosof dan cendikiawan. Sangat mencerahkan.
Pemikiran pembaharuan Islam yang dipancangkan Cak Nur, tidaklah mungkin bisa berdiri tegak, kokoh, dan memiliki pengikut hingga saat ini, bila tanpa ditopang oleh bacaan-bacaan yang luas. Terkait ini, tentu kita harus melongok terlebih dulu pada koleksi buku yang dimiliki oleh Cak Nur.
Dalam Harian Kompas, 3 November 1985, saat di wawancara oleh Sudirman Tebba, Budiarto Danujaya, dan H. Azkarmin Zaini, Cak Nur menyebut jumlah koleksi buku yang dimilikinya sekitar empat sampai lima ribu buku dengan jenis buku terbanyak adalah ilmu-ilmu sosial dan keislaman.
Tentu muncul pertanyaan di benak kita, dengan buku sebanyak itu, butuh waktu berapa lama bagi Cak Nur membaca buku dalam sehari dan bagaimana caranya?
“Sekitar dua atau tiga jam. Itu juga sambil menulis. Sekarang ini, buku kan ada indeksnya. Jadi kalau kita kuasai persoalan secara garis besar, nanti detailnya cukup kita konsultasikan dengan indeksnya saja. Saya kira begitu cara membaca buku sekarang. Kalau satu persatu, susah sekali. Jadi, lebih tematik saja,”tutur Cak Nur.
Kegilaan Cak Nur dalam belajar dan membaca buku, dibenarkan oleh aktivis HMI Cabang Yogya, Ahmad Wahib. Dalam Pergolakan Pemikiran Islam, Wahib tak hanya mengatakan Cak Nur sebagai sosok yang gila pada buku dan bacaan, melainkan juga sangat terbuka dengan pemikiran dan gagasan yang berasal dari luar dirinya.
“Nurcholish Madjid adalah orang yang senang belajar dan membaca. Buku adalah pacarnya yang pertama. Walau dia sudah merasa benar, tapi karena kesediannya untuk senantiasa belajar, memaksanya lama-lama untuk mempersoalkan kembali apa yang telah diyakininya,”tulis Wahib dalam catatan hariannya itu (hal. 160-161).
Kesenangan dan hobi membaca Cak Nur ini tentu memiliki landasan teologis dalam kitab suci Al-Qur’an, terutama pada Surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Kata Iqra’ adalah perintah untuk membaca. Pada wahyu pertama inilah etos Islam harusnya tertanam dalam diri setiap umat Islam. Dengan aktivitas dan tradisi membaca dan meneliti, umat Islam sempat mencapai kejayaannya di abad pertengahan. Tanpa tradisi membaca, umat Islam di seluruh dunia sekarang ini mengalami kemunduran yang entah sampai kapan akan bangkit kembali.
Padahal, menurut Cak Nur, membaca adalah kegiatan manusia yang paling produktif, sebab dengan membaca orang dapat melakukan penjelajahan dengan bebas ke mana-mana ke daerah-daerah (ilmu pengetahuan yang belum dikenal.
“Membaca adalah kegiatan memahami apa yang tertulis. Dan apa yang tertulis itu, yaitu kitab-kitab atau buku-buku serta dokumen-dokumen lainnya, adalah simpanan ilmu pengetahuan dan akumulasi pengalaman umat manusia sepanjang sejarahnya. Melalui kitab dan buku itulah ilmu diwariskan dan dikembangkan dari generasi ke generasi.
Karena itu dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah adalah “Yang mengajari manusia dengan pena, mengajari sesuatu yang tidak diketahuinya”. Sebab, semua bahan bacaan adalah hasil penulisan dengan pena sebagai instrumen utama. Bahan bacaan yang kini dibuat dengan, misalnya komputer pun asalnya dari pena. Karena Allah mengajari manusia dengan pena, maka tanpa membaca manusia tidak akan banyak belajar”tulis Cak Nur dalam Kaki Langit Peradaban Islam (hal.36). Bila sudah demikian adanya, masih tidak mau membaca?
Muhammad Shofa As-Syadzili
Penulis adalah Kerani Arsip HISTORIA HMI
Historiahmi.id