Trending Topik

Ini Kronologi Sengketa Lahan Berdarah, Perang Antar Suku Hingga Ada Korban Tewas di Flotim

Enam orang korban konflik berdarah di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) dimakamkan, Jumat (6/3/2020

Abadikini.com, FLOTIM – Sengketa tanah di kebun Wulen Wata, Pantai Bani, Desa Baobage, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), berbuntut panjang.

Saling klaim lahan itu memicu perang tanding antar suku, pada Kamis (5/3/2020). Akibatnya 6 warga meninggal dunia.

Korban meninggal dunia yakni Wilem Kewasa Ola (80) dari Desa Tobitika dan Yosep Helu Wua (80), warga Desa Sandosi Kecamatan Witihama.

Sementara empat orang korban lainnya, Moses Kopong Keda (80), Jak Masan Sanga (70), Yosep Ola Tokan (56) dan Seran Raden (56). Sementara Suban Kian (69), warga Desa Sandosi, Kecamatan Witihama berhasil melarikan diri.

Sebelum perang tanding antar suku itu pecah, masing-masing korban mendatangi lokasi kebun Wulen Wata yang menjadi sengketa. Kedua belah pihak diketahui sudah lama bersengketa masalah lahan tersebut sejak 1990-an.

Masing-masing pihak mendatangi lokasi kebun tersebut kemudian saling menyerang sehingga menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Kedua suku berada di dalam Desa Sandosi, Kecamatan Witihama.

Awalnya masing-masing menempati lokasi yang ada. Suku Lamatokan berada di Sandosi 2 dan Suku Kwaelaga di Sandosi 1 dan digabung menjadi satu Desa yaitu Desa Sandosi l, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur.

Baik Suku Lamatokan maupun suku Kwaelaga saling klaim lokasi tersebut. Kedua suku sudah berulangkali difasilitasi oleh pemerintah Kecamatan Witihama dan Kapolsek Adonara untuk penyelesaian namun belum menemukan jalan keluar.

Melansir dari ANTARA, Sabtu (7/3/2020). Kepala Kepolisian Resor Flores Timur, AKBP Deny Abraham, membenarkan adanya konflik antarwarga dan suku tersebut.

“Iya betul ada konflik antarwarga di Desa Sandosi Kecamatan Witihama,” katanya.

Dia mengatakan konflik antarwarga tersebut terjadi akibat perebutan lahan, namun belum diketahui seperti apa kronologis munculnya peristiwa.

Menurut dia, konflik tersebut telah menimbulkan adanya korban jiwa, namun belum diketahui jumlah korban secara pasti karena masih dilakukan identifikasi di lapangan.

“Para personel sudah saya kirim ke lapangan untuk melakukan identifikasi sekaligus berupaya meredam konflik tersebut,” katanya.

Kronologi Konflik Lahan

Sebelumnya pada 27 Februari, tujuh orang dari Suku Kwaelaga ke lokasi sengketa untuk berkebun menanam anakan jambu mete dan kelapa yang selama ini digarap oleh Suku Wuwur dan Suku Lamatokan.

Kegiatan yang dilakukan oleh Suku Kwaelaga tersebut menimbulkan kekecewaan dari Suku Lamatokan. Buntutnya, warga suku Lamatokan mendatangi lokasi dan mengecek tanaman yang ditanam Suku Kwaelaga.

Saat itu, beberapa warga suku Kwaelaga mendatangi lokasi tersebut sehingga terjadi perdebatan terkait status lokasi tersebut dan berujung saling serang menggunakan senjata tajam hingga jatuhnya korban jiwa.

Dari sumber di lapangan menyebut, lokasi sengketa bertempat di Wulewata pantai Bani, Desa Baubage selama ini diklaim oleh suku Kwaelaga sebagai miliknya. Sedangkan di dalam lokasi yang disengketakan selama ini telah digarap oleh empat suku yaitu Suku Lamatokan, Suku Making, Suku Lewokeda, dan Suku Wuwur.

Warga kesal karena Suku Kwaelaga selalu menebang tanaman yang ada di lokasi milik empat suku tersebut dengan alasan lokasi tersebut adalah milik mereka. Empat suku yang ada di lokasi tidak merespons dan mengupayakan jalan damai dengan melaporkan apa yang dilakukan suku Kwaelaga kepada pemerintah Kecamatan dan Polsek Adonara.

Sumber Berita
Antara, Liputan6

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker