Jokowi Harus Waspadai Pencurian Data Intelijen Berkedok Investor Asing di Ibu Kota Baru

Abadikini.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo resmi memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara pada Agustus 2019 lalu.

Kedua daerah tersebut berada di Kalimantan Timur. Setelah keputusan tersebut, Jokowi dan para menterinya terus tancap gas. Salah satunya, dengan mencari pendanaan untuk pembangunan ibu kota baru. Maklum, total kebutuhan anggaran yang diperlukan untuk memindahkan ibu kota baru mencapai Rp466 triliun.

Dari total kebutuhan tersebut, negara melalui APBN kemungkinan hanya bisa memenuhi 19 persennya saja. Salah satu upaya Jokowi mengejar pendanaan tersebut dilakukan saat ia menjadi pembicara kunci di forum internasional bertajuk Abu Dhabi Sustainability Week (ADSW).

Forum tersebut digelar di Abu Dhabi National Exhibition Center (ADNEC), Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) pada Senin (13/1/2020). Dalam forum tersebut ia mengundang masyarakat dunia untuk ikut serta dalam proses pemindahan ibu kota Indonesia.

“Di ibu kota negara baru, kami mengundang dunia untuk membawa teknologi terbaik, inovasi terbaik, dan kearifan terbaik,” ujar Jokowi dalam pidatonya.

Jokowi mengatakan investasi di ibu kota baru akan menarik bagi investor asing. Pasalnya, Indonesia ingin kawasan pemerintahan itu dibangun dengan teknologi mutakhir. Selain itu, ia ingin ibu kota baru juga menjadi wadah dari perkembangan inovasi dan kreativitas, namun tetap ramah lingkungan.

“Energi terbarukan dan teknologi yang bersih akan menghasilkan kehidupan berkelanjutan bagi pembangunan sosial dan ekonomi,” ucapnya.

Gayung bersambut, sejumlah pihak menyambut tawaran tersebut. Salah satunya, Softbank yang merupakan raksasa telekomunikasi dan media asal Jepang. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan mengatakan lembaga itu ngin membenamkan investasi miliaran dolar ke ibu kota baru.

“Negosiasi kami bagaimana angkanya bisa U$S30 miliar,” kata Luhut akhir pekan kemarin.

Suharso Monoarfa selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas kompak mengatakan bahwa setidaknya AS, Uni Emirat Arab (UEA), Inggris, Jepang, dan Jerman ingin menanamkan modal mereka.

Namun gembar-gembor realisasi ibu kota pengganti Jakarta belum disertai dengan kepastian yang jelas akan nasib kepentingan Nasional. Baik Luhut mau pun Suharso belum menjelaskan secara rinci skema investasi yang akan dipakai dan untung ruginya bagi Indonesia.

Saat diminta kejelasan tersebut, Luhut hanya menjawab ringkas tanpa detail yang pasti.

“Pembagian skema struktur lagi dibuat sama teman-teman kantor,” paparnya pada Jumat (17/1/2020).

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Feri Firdaus mengatakan skema investasi ibu kota baru yang akan didominasi oleh infrastruktur dan sarana pendukung seperti properti, energi listrik, energi air dan gas tersebut memang harus dijelaskan gamblang. Perjanjian investasi juga harus disertai dengan klausul perjanjian yang mengutamakan kepentingan Nasional.

“Skema bisa kerja sama pemerintah dengan investor. Pemerintah sediakan lahan dan investor sediakan dana untuk pembangunan infrastruktur, kepemilikannya gimana? Hak investor seperti apa? Harus ada klausul yang adil, yang benar-benar bisa mementingkan kepentingan nasional,” jelasnya melansir CNNIndonesia.com pada Ahad (19/1/2020).

Dirinya mengingatkan agar undangan yang diberikan oleh pemerintah kepada investor luar tak lalu menjadi tiket bagi pihak luar untuk menyetir kepentingan negara.

“Karena memiliki modal seakan-akan di-drive (setir), mereka mau apa kita turuti,” katanya.

Ahmad mengatakan bahwa hal lain yang harus diperhatikan dalam investasi di ibu kota baru ialah harus adanya nilai tambah bagi Indonesia. Ia mengungkap proyek ibu kota harus memberdayakan pekerja dalam negeri serta menggunakan bahan baku bangunan dari perusahaan konstruksi lokal.

Dirinya menilai jika dalam klausulnya kelak tak diatur persentase penggunaan sumber daya lokal maka ini sama artinya dengan mengundang impor di bumi Kalimantan.

Kepentingan Politik

Senada, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengingatkan pemerintah untuk tidak gegabah dalam mengeksekusi pemindahan ibu kota baru. Dirinya menilai skema yang dipilih nantinya harus mewakili asas perekonomian yang benar.

Dia mengatakan dampak perekonomian harus menjadi faktor utama yang diperhatikan dalam penentuan skema tersebut. Menurutnya pihak investor harus untung secara ekonomi dari investasi yang dilakukan sebab jika bukan itu yang diincar, ia mencurigai akan ada motif politik.

“Apa yang ingin mereka dapatkan? Karena keuntungan tangiable itu kecil sekali, makanya tentunya yang mereka harapkan ya intangible seperti informasi intelijen,” katanya.

Dalam perhitungan yang dilakukannya, pemindahan ibu kota negara hanya akan menyumbang 0,1 hingga 0,2 persen dari proporsi perekonomian nasional. Fithra menilai tak banyak return atau pengembalian investasi yang didapatkan dari investasi di ibu kota baru di daerah yang menurutnya memang sepi tersebut.

Di kesempatan yang sama, dirinya mengatakan skema pembiayaan yang diharapkan pemerintah saat ini memang dari luar. Pasalnya, bila dilihat dari skala dan profit investasi tak menarik minat investor dalam negeri.

“Asing kalau diundang bangun pusat ekonomi dan bisnis, saya setuju, kalau potensi profit kecil swasta pasti pikir tiga kali. Jangan sampai negara yang mampu seperti China dan Timur Tengah maunya mengakses informasi intelijen negara,” tuturnya.

Sumber Berita
CNN Indonesia

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker