Ulasan Film: ‘Godzilla: King of the Monsters’

Abadikini.com, JAKARTA – Sebagai salah satu monster yang pernah muncul di layar lebar dan budaya pop, Godzilla mungkin adalah salah satu yang ikonis. Bentuknya yang mirip T-Rex terasa akrab bagi penonton, namun hal itu tak terjadi saat melihat Godzilla: King of the Monsters.

Hollywood mengubrak-abrik ‘DNA’ dari Godzilla dalam film ini. Mencampurkannya dengan konflik manusia, sehingga membuat monster yang dalam versi asli Jepang itu membuat kehancuran seisi kota jadi seolah punya misi kemanusiaan.

Bila Anda merasa ganjil, memang itulah adanya. Film ini memiliki alur cerita yang membuat saya amat rindu menyaksikan film Godzilla lawas semasa ia masih bergerak kaku dan menghancurkan kota yang dibuat dari mainan. Karena film itu kini terasa lebih menyenangkan.

Hollywood telah mencoba mengadaptasi kisah monster ala Jepang atau kaiju itu sejak 1998 dengan film Godzilla yang dibuat oleh TriStar. Film itu mendulang US$379 juta dari bujet sekitar US$150 juta. Terbilang untung, namun gagal memenangkan hati para kritikus.

Usaha menggambarkan Godzilla yang lebih baik terjadi pada 2014. Legendary mengambil hak si monster dari Toho Production dan membuat filmnya.

Kisahnya, Godzilla si monster purba yang mengalami evolusi akibat serangan nuklir pada 1945 keluar dari persembunyian untuk melawan dua monster mirip kutu -namun dalam ukuran yang bisa merubuhkan gedung 30 lantai- yang ingin berkembang biak di antara kehidupan manusia.

Film itu berhasil memenangkan hati para kritikus dan box office. Film berbujet US$160 juta itu berhasil mendulang rating baik dan pendapatan sebesar US$529,1 juta.

Kehadiran Ken Watanabe (kanan) sejatinya mampu menghadirkan ruh asli Jepang dalam ‘Godzilla: King of the Monsters’, bukan sekadar pemain keturunan belaka. (Dok. Warner Bros Pictures via imdb.com)

Legendary pun tergoda membuat sekuel Godzilla. Kini, dengan digabung dalam sebuah semesta kisah monster dalam studio tersebut, MonsterVerse, Legendary mencoba menggabungkan mitos-mitos terkait Godzilla dan monster kaiju lainnya dengan ‘kaiju ala Hollywood’, King Kong.

Keterkaitan itu semua yang dibeberkan dalam Godzilla: King of the Monsterssekaligus menjadi kunci untuk memahami film ini, bila Anda merasa kesulitan nantinya.

Ide cerita ‘cocoklogi’ itu mungkin terasa menjanjikan. Namun sayangnya, eksekusi film ini bisa saya bilang buruk dari segi narasi. Semua puzzle yang diperlukan untuk melengkapi semesta monster ala Legendary dipaksakan masuk tanpa ada ‘lem’ yang bisa merekatkan dengan baik.

Alur cerita juga dibuat terasa cepat tanpa memberikan kesempatan penonton memahami setiap babak dari perburuan Godzilla dan kemunculan ‘teman-teman seangkatannya’. Begitu pula dengan kemunculan karakter.

Sebagai sebuah sekuel, saya bisa katakan Godzilla: King of the Monster merupakan kelanjutan yang kurang ‘nyambung’. Jembatan antara cerita Godzilla (2014) dengan versi tahun ini hanya dari kemunculan Doktor Serizawa (Ken Watanabe) dan kawanan Monarch. Mereka pun, bukan pusat dari cerita.

Cerita Godzilla 2 ini berpusat pada konflik keluarga sepasang peneliti Monarch yang berakibat lepasnya monster-monster purba yang pada film ini dikenal sebagai Titan.

Padahal, keluarga yang beranggotakan Mark Russell (Kyle Chandler), Emma Russell (Vera Farmiga), dan Madison Russell (Millie Bobby Brown) itu tidak muncul pada 2014 dan tidak pula diberikan latar cerita tentang mereka secara gamblang. Huft.

Belum lagi masalah logika narasi yang pada beberapa bagian terasa kopong bahkan terasa mengada-ada demi dramatisasi.

Para monster selain Godzilla, yaitu Ghidorah, Rodan, dan Mothra layak memiliki filmnya sendiri. (dok. Warner Bros Pictures/Legendary Pictures)

Satu sisi film ini memang mengangkat isu lingkungan akibat kelebihan populasi manusia di Bumi dan fungsi Godzilla serta para Titan. Namun pesan luhung itu sayangnya terganggu oleh kacaunya alur narasi dalam film ini.

Namun tak semua bagian film ini buruk. Untuk soal penampilan dan adegan berkaitan dengan monster, saya harus berterima kasih dengan teknologi Hollywood. Bahkan para monster selain Godzilla, yaitu Ghidorah, Rodan, dan Mothra layak memiliki filmnya sendiri.

Dramatisasi dari para Titan itu terbilang dilakukan amat baik, meskipun keinginan dramatisasi itu terasa amat berlebihan bila dipandang dari segi tata efek visualnya. Saking tim efek ingin memberikan kesan menakjubkan, penonton kesulitan melihat wajah asli si Godzilla dan monsternya, saat bertarung.

Apresiasi juga bisa saya berikat atas upaya Legendary dan Warner Bros tetap mempertahankan kultur dan unsur Jepang dalam film ini. Kehadiran Ken Watanabe sejatinya mampu menghadirkan ruh asli Jepang, bukan sekadar pemain keturunan belaka.

Mengingat Legendary dan Warner Bros berniat mengembangkan kisah Godzilla dalam MonsterVerse dalam Godzilla vs Kong pada 2020, maka aspek penuturan kisah untuk film itu mestilah diperkuat. Apalagi hal itu bukanlah yang pertama, Toho pernah membuat King Kong vs Godzilla pada 1962.

Meski begitu, film Godzilla: King of the Monsters yang dirilis di Indonesia sejak 29 Mei lalu masih bisa jadi pilihan untuk dinikmati saat Lebaran 2019.

Editor
Selly
Sumber Berita
cnn

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker