Novanto Jadi Saksi Kasus Suap PLTU Riau-I

Abadikini.com, JAKARTA – Mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dipanggil penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia akan diperiksa sebagai saksi kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-I.

“Setya Novanto diperiksa sebagai saksi untuk tersangka SFB (Direktur Utama PLN Sofyan Basir),” kata juru bicara KPK Febri Diansyah melalui pesan singkat, Jakarta, Selasa, 14 Mei 2019.

Nama Novanto berulang kali disebut dalam kasus ini. Mantan Ketua DPR ini disebut sebagai pihak pertama yang dimintai bantuan oleh pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo. Novanto ditugaskan untuk menjalin komunikasi dengan pihak PLN terkait permohonan IPP yang diajukan Blackgold Natural dan anak perusahaannya PT Samantaka Batubara.

Permohonan IPP yang diajukan Johannes melalui Direktur PT Samantaka Batubar, Rudy Herlambang, tak kunjung ditanggapi PLN sejak Oktober 2015. Menyanggupi permintaan itu, Novanto akhirnya mengenalkan Johannes dengan Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih.

Eni kemudian mengenalkan Johannes dengan Sofyan Basir. Bahkan, Novanto disebut bakal mendapat fee yang sama dengan yang diterima Johannes dari proyek senilai USD900 juta tersebut, yakni sebanyak USD6 juta atau 24 persen dari USD25 juta yang merupakan fee Johannes sebagai agen PT China Huadian Engineering Company (CHEC) dalam proyek ini.

Sofyan bersama-sama dengan Eni, dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham diduga membantu memuluskan perusahaan Blackgold Natural Resources Limited sebagai konsorsium penggarap proyek PLTU Riau-I.

Keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara mengirimi PLN surat pada Oktober 2015. Surat pada pokoknya memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.

Sayangnya, surat tak ditanggapi. Johannes akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-I.

Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri Eni, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.

Pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-I. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa.

Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-I dengan kapasitas 2×300 MW kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.

Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-I milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur PT PLN merealisasikan PPA antara PLN dan BNR dan CHEC.

Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.

Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Editor
Sulasmi
Sumber Berita
Medcom

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker