Ini Penyebabnya Remaja Mudah Melanggengkan Pernikahan Dini

Pernikahan merupakan fitrah manusia, dan setiap orang normal pasti akan menjalaninya, karena pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan. Ada laki-laki, ada perempuan, agar manusia dapat mengembangkan dan meneruskan garis keturunannya.

Pernikahan yang dalam istilah agama ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan, untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman, dengan cara yang di ridhoi oleh Allah SWT. Oleh pemerintah pernikahan di atur melalui UU No. Tahun 1974 yaitu Undang-undang Pernikahan (UUP).

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu pasangannya masih dikategorikan remaja yang berusia di bawah 19 tahun (WHO, 2006).

Sebagaimana yang banyak dilakukan di Negara kita, orang tua yang menikahkan anaknya di usia muda banyak terjadi di desa-desa terpencil.

Menurut Shabbir, Nisar, dan Fatima (2015) perempuan yang menikah muda harus menghadapi banyak permasalahan lingkungan dan sosial sehingga harus dapat beradaptasi.

Pernikahan muda yang disertai kurangnya persiapan akan menimbulkan kurang berjalannya tugas perkembangan keluarga dan kepuasan pernikahan.

Hal ini yang nantinya akan berdampak terhadap perceraian. Kasus perceraian yang terus meningkat mengindikasikan pasangan kurang memiliki kesiapan dan kematangan dalam membina pernikahan sehingga tidak tercapai kepuasan pernikahan.

Tsania (2014) pernikahan di usia muda akan berdampak pada kemandirian pasangan dan masih belum stabil serta belum memiliki kesiapan dalam menjalankan fungsi pengasuhan sehingga menyebabkan perkembangan anak terlambat. Pernikahan erat kaitannya dengan pelaksanaan tugas keluarga.

Menurut Sunarti (2001) model fungsi keluarga McMaster (MMFF=McMaster Family Fungsioning) membagi tiga area fungsi keluarga yaitu area tugas dasar (penyediaan pangan, uang, transportasi, dan perlindungan), area tugas perkembangan (berkaitan dengan urutan tahapan perkembangan keluarga) dan area tugas penuh resiko (berkaitan dengan cara keluarga menangani krisis seperti kecelakaan, sakit, kehilangan).

Menjadi seorang suami atau istri haruslah siap dalam beberapa bidang. Sehingga terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kita dapat menyikapi permasalahan tersebut dengan hati tenang dan pikiran yang dingin.

Seperti yang dilansir oleh Sunarti (2013) menyatakan tugas perkembangan adalah pemenuhan kebutuhan perkembangan keluarga sebagai satu kesatuan dan perkembangan seluruh anggota keluarga sesuai tahap perkembangan.

Tugas perkembangan keluarga dapat terpenuhi jika keluarga dapat mengoptimalkan tugas dasarnya terlebih dahulu sehingga dapat melaksanakan tugas krisis dengan optimal pula.

Menurut Paterson (2009) setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing yang dilakukan secara berulang untuk memenuhi fungsi keluarga, sehingga dapat menyelesaikan dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugasnya.

Dalam sebuah hubungan keluarga, hendaklah seorang suami dan istri mengetahui akan tugas nya masing-maisng. Mereka sebaiknya membuat kesepakatan terlebih dahulu, seperti berdiskusi kepada suami atau istri untuk mereka kedepannya nanti, agar suami dan istri tidak kaget akan datangnya masalah dadakan atau tiba-tiba.

Tugas perkembangan yang terpenuhi akan mengarahkan pada tugas-tugas perkembangan selanjutnya dan mengarahkan pada kebahagiaan serta kesuksesan keluarga (Duvall, 1971).

Contoh di atas menunjukkan bahwa permasalahan dari pernikahan dini tersebut membawa banyak dampak negatif. Disebabkan oleh banyak nya pasangan suami atau istri yang masih berusia muda.

Permasalahan ini jika terus dibiarkan bisa mengganggu mental pasangan suami atau istri yang masih berusia dibawah umur tersebut. Hal ini bisa berdampak pada hubungan mereka.

Jika sepasang suami istri itu masih belum bisa mengontrol emosi nya masing-masing, mereka akan dengan mudah mengatakan kata-kata yang tidak seharusnya terlontarkan di dalam mulut mereka.

Salah satu alternatif yang bisa dilakukan oleh para pasangan suami atau istri adalah dengan mematangkan niat, siap dalam kondisi apapun, dapat menerima pasangannya dengan baik, dan dapat mengontrol emosi mentalnya tersebut. Sehingga permasalahan umum yang sering ditemui dapat diatasi dengan bijaksana.

PEMBAHASAN

Pada dasarnya pernikahan itu adalah rahmat yang harus dipelihara dengan baik oleh setiap pasangan suami atau istri. Sehingga akan menciptakan sebuah keluarga yang warahmah, mawaddah, dan sakinah jika di sebuah hubungan keluarga tenteram dan damai, maka akan terciptanya generasi dan tatanan sosial yang lebih baik, karena setiap hubungan rumah tangga akan mengelola kehidupannya dengan lebih baik pula.

Sebaliknya bila keadaan rumah tangga yang berantakan, akan kontribusi kepada masyarakat juga akan terganggu, di sebabkan terjadinya ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga.

  1. Pengertian Pernikahan Dini

Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami istri  dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan di luar ketentuan peraturan-perundang-undangan, atau pernikahan di bawah usia di rekomendasikan oleh peraturan perundang-undangan tersebut.

Jumlah pernikahan dini di Indonesia terutama di daerah pedesaan masih tergolong tinggi pada tahun 2013 rasio pernikahan usia dini ialah 67 per 1.000 pernikahan (BKKBN, 2014).

Menurut beberapa penelitian yang terdahulu ada banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan usia dini, diantaranya faktor budaya yang ada di masyarakat setempat, rendahnya tingkat pendidikan, dan tingginya tingkat kemiskinan, karena perkawinan di usia dini banyak banyak terjadi pada masyarakat yang ada budaya membenarkan adanya perkawinan usia dini.

Pernikahan adalah penerimaan status baru bagi seseorang dengan segala hak dan kewajibannya yang baru. Laki-laki minimum 19 tahun dan perempuan harus sudah berusia minimal 16 tahun. Jika menikah dibawah usia 21 tahun harus disertai dengan izin kedua atau salah satu orang tua atau yang ditunjuk sebagai wali.

  1. Pernikahan Dini menurut Negara

Undang-undang Negara kita telah mengatur batas usia pernikahan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa pernikahan hanya diiznikan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.

Kebijakan Pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis, dan mental.

Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan ini mempunyai dampak negative baik bagi itu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, perkawinan ini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda yang masih ada diri mereka dan cara piker yang belum matang.

Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negative. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

  1. Pernikahan Dini menurut Islam

Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hafidzu al nasl).

Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.

Agama dan Negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini. Pernikahan yang dilakukan dalam melewati batas minimal Undang-Undang pernikahan, secara hokum kenegaraan tidak sah.

Istilah pernikahan ini menurut Negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kacamata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.

  1. Faktor-faktor Penyebab Pernikahan Dini

Ada dua faktor penyebab terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja, yaitu sebab dari anak dan dari luar anak.

  1. Faktor Pendidikan
  2. Peran pendidikan anak-anak snagat mempunyai peran yang sangat besar. Jika seorang anak putus sekolah paad usia wajib sekolah, kemudia mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga rasa mampu untuk menghidupi dirinya sendiri.
  3. Hal yang sama juga jika anak putus sekolah tersebut tidak mendapatkan pekerjaan alias menganggur, dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan pun membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif, salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, tanpa adanya batasan diantara mereka dan menyebabkan kehamilah di luar nikah.
  4. Faktor telah melakukan hubungan biologis
  5. Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya sepasang suami istri.

Dengan kondisi seperti ini, orang tua dari pihak perempuan pun segera menikahkan anaknya, karena orang tua gadis ini, bahwa anak gadisnya tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi sebuah aib.

  1. Tanpa menyampingkan perasaan dan kegalauan orang tua zaman sekarang, hal ini adalah sebuah solusi yang kemungkinan di kemudian hari akan menyesatkan anak-anaknya.

Ibarat seorang anak sudah melakukan kesalahan yang begitu fatal, tetapi orang tua justru membawa anak pada suatu kondisi yang sangat rentan  terhadap masalah. Karena sangat besar di kemudian hari pernikahan anak-anak mereka tersebut akan dipenuhi banyak konflik.

  1. Hamil sebelum menikah
  2. Jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua akan segera menikahkan anak-anaknya tersebut. Bahkan ada beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua anak gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya, tapi karena kondisi kehamilan si gadis, maka dengan rasa terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut.
  3. Bahkan ada kasus, justru anak gadis  tersebut pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya, tapi karena terlanjur hamil, maka dengan sangat terpaksa mengajukan permohonan dispensasi nikah.
  4. Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis, orang tua bahkan hakim yang menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti inilah, jelas-jelas pernikahan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana pernikahan sebagaimana yang diamanatkan UU bahkan agama.

Karena sudah terbayang di hadapan mata, kelak rona pernikahan anak gadis itu kelak. Pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan di kemudian hari bisa goyah, apalagi jika pernikahan tersebut didasarkan keterpaksaan.

  1. Faktor pemahaman Agama
  2. Ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.
  3. Ada satu kasus, dimana orang tua anak menyatakan bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis merupakan satu: “perzinahan”. Oleh karena itu sebagai orang tua harus mencegah hal tersebut dengan segera menikahkan.

Saat majelis  hakim menyatakan anak wanita yang belum berusia 16 tahun tersebut, anak tersebut pada dasarnya tidak keberatan jika menunggu sampai usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan lagi.

Tapi orang tua yang bersikukuh bahwa pernikahan harus segera dilaksanakan. Bahwa perbuatan anak yang saling suka dengan anak laki-laki adalah merupakan “zina”. Dan sebagai orang tua sangat takut dengan azab membiarkan anak tetap berzina.

5. Faktor Ekonomi

Kita masih banyak menemui kasus-kasus dimana orang tua terlilit hutang yang sudah tidak mampu dibayarkan. Dan jika si orang tua yang terlilit hutang tadi mempunyai anak gadis, maka anak gadis tersebut akan diserahkan sebagai “alat pembayaran” kepada si piutang. Dan setelah anak tersebut dinikahi, maka lunaslah hutang-hutang yang melilit orang tua si anak tersebut.

  1. Faktor adat dan budaya

Di beberapa daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi.

Padahal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU.

  1. Dampak Pasangan Dini

Resiko pernikahan dini berkait erat dengan beberapa aspek, sebagai berikut :

  1. Segi kesehatan

1) Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak.

2) Menurut ilmu kesehatan, bahwa usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi.

3) Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik maupun mental, kebutaan dan ketulian.

  1. Segi fisik

Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya.

Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan dalam kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Generasi muda tidak boleh berspekulasi apa kata nanti, utamanya bagi pria, rasa ketergantungan kepada orang tua harus dihindari.

  1. Segi mental/jiwa

Pasangan usia muda belum siap bertanggung jawab secara moral, pada setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, Karena masih memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosinya.

  1. Segi pendidikan

Pendewasaan usia nikah ada kaitannya dengan usaha memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan perisapan yang sempurna dalam mengarungi bahtera hidup.

  1. Segi kependudukan

Pernikahan usia muda di tinjau dari segi kependudukan mempunyai tingkat fertilitas (kesuburan) yang tinggi, sehingga kurang medukung pembangunan di bidang kesejahteraan.

  1. Segi kelangsungan rumah tangga

Pernikahan di usia muda adalah pernikahan yang masih rawan dan belum stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan banyak terjadinya perceraian. (Ihsan, 2008).

PENUTUP

Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa “Pengaruh Pernikahan Dini terhadap perilaku pasangan suami istri adalah sebagai berikut:

Pengertian pernikahan dini adalah sebuah bentuk ikatan atau pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah keatas.

Jadi sebuah pernikahan di sebut pernikahan dini, jika kedua atau salah satu pasangan masuk berusia di bawah 18 tahun atau masih berusia remaja.

Pernikahan merupakan suatu perjanjian ikatan antara seorang suami dan istri yang mengakibatkan terbentuknya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak.

Yang dimaksud dengan hak adalah suatu yang merupakan milik atau dapat di miliki oleh suami istri yang diperoleh dari hasil sebuah pernikahan tersebut.

Hak pun dapat di hapus apabila yang berhak rela haknya tidak di penuhi atau di bayar oleh pihak lain siapapun. Kewajiban itu juga di sebut hubungan timbal balik antara suami dan istri, artinya bahwa yang menjadi kewajiban seorang suami adalah hak milik istri pula. Demikian sebaliknya apa yang menjadi hak seorang istri menjadi haknya suami.

Dari pernikahan di bawah umur, perubahan perilaku setelah pernikahan tersebut mencakup semua yang menjadi tanggung jawab baru yaitu suami maupun istri memiliki tanggung jawab masing-masing yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Mempunyai arah dan tujuan baru. Sebab itu sepasang suami istri harus mempunya hak dan kewajiban masing-masing di kedua belah pihak. Seperti halnya antara kodrat laki-laki dan perempuan pastilah berbeda secara fisik, perasaan , maupun, perilaku.

Dan ditambah lagi dengan adanya perbedaan di dalam kebiasaan, adat istiadat, budaya pendidikan, sikap maupun pembawaan. Jika sebuah pernikahan tidak di dasari dengan dengan keempat perubahan-perubahan tersebut, maka tidak ada  kata tidak mungkin akan terjadi nya permasalahan di dalam hubungan rumah tangga tersebut.

Sering terjadinya perselisihan, pertengkaran secara psikologi karena belum dewasa nya di masing-masing pihak, kebutuhan ekonomi yang kurang, karena mungkin mereka kurang mempunyai pengetahuan yang cukup, sehingga apabila suatu masalah terjadi, mereka tidak akan mampu menyelesaikan masalahnya dengan baik dan malah menimbulkan masalah yang sulit untuk diselesaikan.

REFERENSI

World Health Organization [WHO]. (2006). Married adolencents: no place of safety. Geneva, Switzerland (CH): WHO Press.

Shabbir S., Nisar S. R., & Fatima S. (2015). Depression, anxiety, stress, and life satisfaction among early and late marriage females. European Journal of Business and Social Sciences, 4(8), 128-131.

Tsania N. (2014). Karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak usia 3-5 tahun (Tesis). Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia.

Sunarti E. (2001). Studi ketahanan keluarga dan ukurannya: Telaah kasus pengaruhnya terhadap kualitas kehamilan (Disertasi). Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia.

Sunarti E. (2013). Ketahanan keluarga. Bogor (ID): IPB Press.

Paterson R. (2009). Families first: keys to successful family functioning family role. Communication and Marketing, Collage of Agriculture and Life Sciences. Virginia Polytechnic Institute and State University.

Duvall E. M. (1971). Family development: fourth edition. New York (US): JB Lippincott Company.

Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, cet. Ke-5. Jakarta: Hidakarya Agung, 1975.

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.

Oleh : Arifatul Khorida (D.201804147
Bimbingan Konseling Islam
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Institut Ummul Quro al-Islami (IUQI)

 

Editor
Sulasmi

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker