Jatuh Bangun Etnis Tionghoa dalam Politik Indonesia

Abadikini.com, JAKARTA – Usai tumbangnya Orde Baru, eksistensi etnis Tionghoa di politik nasional mulai mencuat. Satu-persatu tokoh Tionghoa muncul dan bahkan sempat memicu ‘kehebohan’ akibat campur tangan politik identitas. Rasionalitas jadi kunci keberlangsungan etnis ini di dunia politik.

Orba sendiri membelenggu etnis Tionghoa ini dengan Instruksi Presiden 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Adat istiadat China dianggap sebagai hambatan proses asimilasi. Ibadah dan perayaan harus dilakukan secara internal, tak boleh mencolok, dan bahkan butuh izin khusus.

Gerakan etnis Tionghoa juga terbatas. Mereka tak boleh menggunakan nama asli dan harus menggunakan nama nasional, tidak boleh bekerja di bidang militer, keamanan, termasuk politik. Banyak yang akhirnya memilih bidang ekonomi, sehingga Tionghoa identik dengan dunia perdagangan.

Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengenyahkan belenggu itu lewat penerbitan Keputusan Presiden 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Inpres yang ditandatangani oleh Presiden Kedua RI Soeharto itu. Masyarakat Tionghoa pun mulai berani menunjukkan jati diri mereka.

Seiring dengan itu, kesempatan mereka di dunia politik semakin terbuka lebar.

Pakar Ilmu Budaya China Universitas Indonesia Johanes Herlijanto mengatakan, partisipasi etnis Tionghoa dalam berpolitik sejatinya telah dilakukan sejak awal abad 20.

Bahkan pada 1932, sudah ada Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang diprakarsai salah satunya oleh tokoh wartawan dan politik Liem Koen Hian. PTI saat itu dibentuk untuk menyadarkan peranakan Tionghoa agar ikut terlibat dalam gerakan kemerdekaan di Indonesia.

Kendati demikian, pada medio 1965, peran politik dari masyarakat Tionghoa mulai meredup. Hal ini tak lepas dari Inpres yang diterbitkan Soeharto.

“Meski begitu bukan berarti mereka tidak ikut sama sekali. Ada yang tetap gabung di partai politik dan dapat jabatan strategis tapi memang tak terlalu banyak muncul,” ujar Herlijanto dilansir dari laman CNNIndonesia.com, Senin (4/2/2019).

Partisipasi politik masyarakat Tionghoa kembali terlihat setelah lengsernya Soeharto pada 1998. Keterlibatan mereka saat itu terbagi dua: dalam politik formal dengan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif maupun pemerintahan, serta dalam gerakan sosial.

Saat itu ada sekitar tiga partai yang dibentuk masyarakat Tionghoa, yakni Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), Partai Pembauran Indonesia, dan Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia (PBI).

“Di situ mereka mulai muncul tapi masih sedikit sekali. Kemudian baru pada Pemilu 2004 mulai ada sosialisasi tentang pendidikan politik melalui forum dan seminar-seminar,” kata Herlijanto. Citra negatif masyarakat Tionghoa terhadap politik pun mulai berubah.

“Jadi harapannya mengubah image karena selama ini orang Tionghoa dianggap apolitik, eksklusif, dan hanya peduli soal ekonomi. Padahal dalam politik kan tidak mungkin eksklusif karena dukungan dari tiap kelompok akan diterima,” Herlijanto menambahkan.

Dari data asiapacific.anu.edu.au, terdapat setidaknya 150 caleg dari etnis Tionghoa yang berpartisipasi dalam Pemilu 2004, meski akhirnya hanya sebagian kecil yang berhasil mendapatkan jatah kursi di parlemen.

Keikutsertaan masyarakat Tionghoa dalam kancah politik di Indonesia pun terus meningkat pada Pemilu 2009 dan 2014. Pada Pemilu 2014 tercatat 315 caleg berasal dari etnis Tionghoa. Jumlah ini naik dibandingkan Pemilu 2009 yang hanya punya 213 caleg Tionghoa.

Ketua Umum PSI Grace Natalie Merupakan Politisi dari Etnis Tionghoa

Sejumlah tokoh juga aktif di partai politik. Termasuk di antaranya, kata Herlijanto, pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) Christianto Wibisono atau Oey Kian Kok yang sempat bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) pada 2008. Ia disebut sebagai salah satu pendiri PAN bersama Amien Rais.

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)

Peran politik masyarakat Tionghoa terus menanjak setelah itu, bahkan menjadi kepala daerah. Salah satunya Basuki Tjahaja Purnama atau kerap disapa Ahok, yang menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang terpilih sebagai Presiden RI pada 2014.

Herlijanto mengatakan, kehadiran Ahok dianggap memberikan pandangan baru bahwa etnis Tionghoa mampu memimpin masyarakat meski masyarakat Tionghoa sendiri menjadi minoritas.

Apalagi Ahok saat itu juga dikenal dengan sejumlah kebijakan baru yang belum pernah diambil pemimpin dari kelompok mayoritas. Para pemilih pun seolah tak ‘terusik’ dengan keberadaan Ahok yang berlatar belakang etnis China. Serangan pada Ahok dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012, kata Herlijanto, juga tak memengaruhi pemilihan pada Jokowi.

“Itu artinya penerimaan masyarakat terhadap etnis Tionghoa semakin besar. Ini jadi fenomena yang cukup menarik,” ucapnya.

Meski demikian, ia tak menampik bahwa kondisi politik nasional masih dominan menggunakan politik identitas untuk meraih kekuasaan. Tak heran jika pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, Ahok yang pernah menjadi mantan Bupati Belitung Timur kemudian tersandung masalah penodaan agama hingga memicu kehebohan di tataran politik nasional. Ia kemudian dipenjara selama dua tahun.

Hanya saja, Herlijanto melihat, kasus yang menjerat Ahok tak murni persoalan etnisitas. “Ya saya kira masalah itu muncul tidak murni karena masalah etnisitas tapi juga kepentingan dan lain hal,” kata Herlijanto.

Ia meyakini partisipasi masyarakat Tionghoa dalam politik Indonesia ke depan akan terus muncul. Namun hal itu, kata dia, hanya akan terjadi jika masyarakat memiliki pemikiran yang rasional.

“Di Indonesia identitas ini memang masih sangat penting baik etnis maupun agama. Tapi setidaknya etnis Tionghoa sekarang punya peran dan kita lihat juga bagaimana pemilih yang mungkin rasional,” tuturnya.

Editor
Selly Pratiwi
Sumber Berita
CNN

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker