Mengenal Ijmâk, Ijtimâk dan Jumhur Ûlama

Oleh:
R. Mh. Zidni Ilman NZ, S.Fils., M.Pd. *

Ijmâk ulama, ijtimâk ulama, dan jumhûr ulama adalah tiga istilah yang berbeda namun memiliki kaitan erat satu sama lain. Diantara ketiganya, akhir-akhir ini istilah “ijtimak ulama” begitu familiar di telinga masyarakat Indonesia, terutama saat melihat berita perpolitikan di Indonesia dalam kaitannya dengan pemilu presiden tahun 2019.

Hingga tulisan ini dibuat, setidaknya ada dua jilid ijtimak yang sudah dilaksanakan, yakni ijtimak I dan ijtimak II. Beberapa ulama, habaib, dan ustadz yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-U) berkumpul di suatu tempat untuk merumuskan arah kebijakan mereka dalam pemungutan suara di pemilu mendatang. Hasilnya telah diputuskan dan diumumkan secara terbuka, yakni GNPF-U secara resmi memberikan dukungan kepada pasangan Prabowo-Sandiaga Uno selaku capres dan cawapres dengan penandatanganan pakta integritas atau lebih tepat disebut dengan kontrak politik atau transaksi politik.

Dalam konteks hukum Islam, ada beberapa istilah yang mengandung unsur kesepakatan. Tiga diantaranya adalah ijmâk, ijtimâk, dan jumhûr. Ijmâk berasal dari bahasa Arab yang berarti bersepakat atas sesuatu. Secara terminologi, ijmâk didefinisikan sebagai kesepakatan atas hukum suatu peristiwa dan bahwa hukum tersebut merupakan hukum syara’. Ijmâk baru terjadi pasca Rasulullah wafat, karena selama baginda hidup semua persoalan umat diputuskan sendiri olehnya. Setelah baginda wafat, barulah keputusan hukum dihasilkan dengan mekanisme musyawarah para sahabat.

Jika seluruh sahabat sepakat, maka itulah ijmâk.
Saat Umar bin Khathab menjadi khalifah, ia melarang para sahabat untuk bermukim di luar Madinah sebagai pusat pemerintahan. Alasannya adalah agar semua permasalahan agama dan negara dapat diselesaikan secara bersama-sama dan menghasilkan keputusan bulat. Maka tidak heran jika ijmâk paling banyak terjadi di masa Umar di mana seluruh sahabat dengan mudah menyepakati satu keputusan.

Itulah sebabnya ijmâk dijadikan landasan hukum berikutnya setelah Al-Qur`an dan hadits, dan wajib diikuti oleh seluruh umat Islam. Menentang ijmâk berarti melawan Islam itu sendiri.

Pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan, kekuasaan Islam semakin meluas. Para sahabat pun menyebar ke berbagai penjuru dan tidak sedikit yang memutuskan tetap tinggal di Madinah. Walhasil, sejak saat itu ijmâk sulit terwujud. Ketika muncul persoalan, maka penyelesaian hukumnya akan dimusyawarahkan oleh para sahabat dan ulama setempat. Kasus di Iraq, misalnya, akan diselesaikan oleh ulama Iraq. Begitu pun kasus yang terjadi di Yaman, Syam, Persia, Turki, Mesir, Maroko, Tunisia, Andalusia, atau wilayah Islam lainnya akan diselesaikan oleh para ulama di wilayah tersebut dengan mempertimbangkna karakteristik wilayah masing-masing. Inilah yang disebut dengan ijtimâk.

Dengan demikian, ijtimâk dapat menghasilkan keputusan hukum yang sangat beragam, bersifat lokal, dan kualitasnya tidak akan setara dengan ijmâk. Perbedaan hukum (ikhtilâf) di antara para ulama menjadi hal lumrah. Namun tidak menutup kemungkinan di beberapa wilayah terjadi keputusan hukum yang sama. Mungkin saja dari 20 wilayah Islam yang ada, umpamanya, 15 diantaranya memutuskan wajib, 3 wilayah memutuskan makruh, dan 2 wilayah memutuskan haram.

Di sini terdapat tiga hasil ijtimâk yang berbeda, dan mayoritas dari mereka mengatakan wajib. Keputusan mayoritas ini disebut dengan ijtimâ’ jamâ’î atau lebih dikenal dengan istilah jumhûr ulama.

Dengan adanya perbedaan tersebut, umat Islam diperkenakan untuk mengikuti salah satu dari berbagai pendapat yang ada. Memilih pendapat manapun tidak disebut melawan Islam apalagi mengeluarkannya dari Islam. Hanya saja, terdapat himbauan bagi umat Islam untuk memilih pendapat ijtimâ’ jamâ’î alias jumhûr, karena kualitasnya berada tepat satu tingkat di bawah ijmâk. Sedangkan level ijtimâ’ “non” jamâ’î berada di bawah jumhûr. Selain itu, pendapat jumhûr bisa dikatakan lebih dekat dengan kebenaran.

Nah, pertanyaannya sekarang adalah apakah ijtimâk ulama yang dilaksanakan oleh GNPF-U adalah suara mayoritas ulama di Indonesia? Sudah pasti tidak. Keputusan GNPF-U masih berada di level ijtimâk non-jamâ’î. Meskipun mereka mengklaim ada ratusan ulama dan habaib yang terlibat di dalamnya, namun perlu diingat bahwa ulama dan habaib di Indonesia berjumlah puluhan juta. Mereka tersebar di berbagai ormas keagamaan. Dan faktanya, mayoritas ulama dan habaib di Indonesia merupakan bagian dari Nahdlatul Ulama yang secara keseluruhan beranggotakan lebih dari 90 juta jiwa. Oleh karena itu, jika keputusan GNPF-U disebut ijtimâk, maka suara Nahdlatul Ulama adalah jumhûr.

* Penulis adalah salah satu pengasuh Pondok Pesantren Buntet Cirebon dan pengurus PCNU Kab. Cirebon

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker