Tahun Politik, Bangkitnya Kembali Politik Identitas

Oleh: Prihandoyo Kuswanto

 

Bagi partai politik, munculnya kembali politik identitas membuat kecil nyalinya. Rupanya partai politik tidak siap didalam pertarungan politik yang segera memasuki tahun politik 2018 dan 2019 yang diprediksi akan diwarnai politik identitas.

Padahal, bangsa Indonesia merdeka tidak terlepas dari gerakan politik identitas. Ini dimulai dari HOS Tjokroaminoto dengan Syarekat Islam (SI) yang membangkitkan bangsa ini dari ketidakberdayaan, feodalisme, ketidakadilan, apalagi merdeka dan berdaulat. Ketimpangan inilah yang melahirkan SI menjadi motor bangkitnya bangsa Indonesia. Ketika itu dimulai dari kongres SI 1916 di Bandung yang menuntut Indonesia merdeka.

Politik Islam sebagai politik aliran yang bersanding dengan politik kebangsaan maka lahirlah Pancasila dan UUD 1945 sebagai sebuah kebersamaan, kesepakatan untuk mendirikan Negara Indonesia yang Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur.

Indonesia ini dilahirkan dan dibidani oleh politik identitas dan wakil-wakil golongan identitas itu duduk didalam BPUPKI/PPKI. Mereka, para pendiri negara itu, merumuskan dan membuat kesepakatan yang tertuang didalam Pancasila dan UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945.

Desain negara Pancasila itu tidak didesain dengan partai politik. Partai politik itu muncul sejak Maklumat X Wakil Presiden. Kemudian, seiring berjalannya waktu negara ini dijalankan dengan model demokrasi politik oleh partai politik dan demokrasi fungsional oleh politik aliran yang semua ini terwadai didalam MPR. Oleh sebab itu anggota MPR terdiri dari DPR sebagai wakil partai politik dan utusan golongan sebagai wakil dari politik aliran (baca fungsional).

Amandemen Menjadikan Partai Politik Menghapuskan Politik Aliran

Rupanya keserakahan parai politik dengan mengamandemen UUD 1945, telah menghasilkan politik menjadi monopoli partai politik. Semua manusia Indonesia dipaksa menjadi partai politik. Pertanyaannya apakah bentuk pemaksaan seperti ini bagian demokrasi? Apakah seluruh rakyat Indonesia harus berpartai politik?

Katup kebebasan berdemokrasi justru terletak pada demokrasi fungsional atau demokrasi politik aliran. Seluruh wakil rakyat diwakili di MPR untuk melaksanakan politik rakyat yang disebut GBHN. Keinginan politik seluruh elemen bangsa tersalurkan. Oleh sebab itu Negara dengan dasar Pancasila mempunyai sistem sendiri. Sebab pendiri negeri ini sangat paham terhadap keadaan bangsa Indonesia yang majemuk yang terdiri berbagai agama, suku, adat istiadat. Oleh sebab itu politik aliran adalah keniscayaan yang justru memperkaya identitas ke Indonesiaan, bahkan itulah Bhineka Tunggal Ika.

Mengapa? Indonesia tanpa Jawa bukan Indonesia. Indonesia tanpa Sumatera, Bali, Maluku, Papua juga bukan Indonesia. Pendek kata tanpa Kalimantan, Sulawesi dan seluruh pulau di indonesia bukan indonesia.

Indonesia tanpa Islam, tanpa Kristen, Budha, Hindu dan aliran kepercayaan bukan indonesia.

Tetapi Indonesia tanpa PDIP tetap Indonesia. Indonesia tanpa Golkar, Nasdem, Hanura, tetap Indonesia. Jadi Indonesia tanpa partai politik tetap Indonesia.

Munculnya kembali politik aliran yang dimotori oleh umat Islam harusnya menyadarkan seluruh bangsa Indonesia sebab ada yang salah dalam bangsa dan bernegara. Hal ini sejak diamandemennya UUD 1945, saluran politik tersumbat bagi politik aliran yang dahulunya salurannya di MPR, sekarang disumbat bahkan dibuntu. Akibatnya lahir Gerakan 212 yang membuat semua bingung, gagap dan menuduh Gerakan 212 adalah gerakan politik. Ya sudah jelas gerakan politik. Tapi sayang rupanya kegagapan ini membuat kepanikan sehingga pendekatannya justru dengan menekan, mempersekusi ulama. Akibatnya justru bukannya politik aliran mengecil malah sebaliknya menjadi besar dan terbukti Pilkada DKI menjungkirbalikan tatanan politik yang didalam perhitungan kalkulator Ahok sebagai pemenang. Tetapi apa yang terjadi justru sebaliknya.

Selanjutnya tudingan jargon radikal, intoleran, SARA bahkan dilakukan tindakan hukum, justru saya melihat akan menjadikan politik aliran membesar termasuk didalamnya kaum pribumi. Sebab persoalannya bukan kebencian dan SARA tetapi ketidakadilan, jurang si miskin dengan si kaya semakin menganga, semakin jauh dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Memang sangat sulit menyelesaikan persoalan negeri ini tanpa kembali pada Pancasila dan UUD 1945 original (asli) jika kita masih ingin menatap matahari Indonesia.

 

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker