Tindakan Main Hakim Sendiri, Hilangnya Rasa Kemanusiaan?

Oleh :

Nur Khasanah Kader HMI Cabang Singaraja

 

Ada banyak perilaku-perilaku yang seyogiyanya tidak pantas dilakukan oleh kemanusiaan kita. Seperti tindakan main hakim sendiri. Seakan-akan rasa kemanusiaan kita sudah digilas oleh rasa ketidakpedulian akan sesama. Seakan-akan punya prinsip lakukan dulu baru pikir kemudian. Bertindak dulu, akibatnya nanti kemudian.

Seperti kasus penganiayaan plus pembunuhan korban tuduhan pencurian motor beberapa hari yang lalu di Kabupaten Bima. Mengakibatkan pemuda tersebut mati. Padahal kalau kita perhatikan, tidak sebanding hukuman yang ditimpakan ke si korban. Antara motor dengan nyawa manusia. Tapi karena sudah disulut emosi yang sangat berlebihan, akhirnya bertindak diluar skenario kemanusian yang sebenarnya. Sepertinya kita sudah kehilangan kasih dan cinta diantara sesama kita.

Merasa menjadi hakim yang benar, ketika bertindak dengan memukuli, meninju, menendang, meludahi, hingga melempar. Seakan-akan merasa terpuaskan jiwa ganas yang sudah lama mendekam di dalam batin. Padahal itu bukan ranahnya untuk bisa memberikan hukuman yang setimpal.

Disamping kejadian tersebut, sejauh ini sudah banyak kejahatan yang terjadi diluar nalar kemanusiaan kita. Memang sih kalau masih dalam ranah kemanusiaan kita, kejahatan tidak akan pernah muncul. Sebab masih bisa dikelola oleh jiwa manusia itu sendiri. Saya  tidak berani beropini macam-macam mengapa dan apa penyebab terjadinya perilaku tersebut.

Pertanyaannya yang muncul kemudian, apakah main hakim langsung memang diperlukan? Melihat semakin banyaknya kejahatan yang sedang marak terjadi. Apakah memang benar tindakan main hakim sendiri bisa memberikan rasa kapok kepada si pelaku kejahatan. Atau sebaliknya, yang penting si pelaku kejahatan tersebut tertangkap dulu, kemudian menyerahkannya kepada yang berwajib. Manakah tindakan yang lebih mulia untuk kita kerjakan. Hajar dulu si pelaku sampai babak belur bahkan sampai mati, kemudian menyerahkannya kepada aparat, atau tangkap saja kemudian serahkan kepada yang berwajib.

Saya kira yang lebih elok dan manusiawi yang bisa kita kerjakan sebenarnya adalah yang kedua. Tangkap saja si pelaku kemudian menyerahkannya kepada yang berwajib.

Kemudian muncul lagi pertanyaan, kenapa kejahatan kriminal kok bisa ada dan semakin massif terjadi akhir-akhir ini. Kejahatan yang bahkan sampai mau menghilangkan nyawa sesama kita.

Tidak bisa kita pungkiri, kita hidup dan tinggal dikeadaan yang serba sulit dan menyakitkan. Dan kalau kita teliti lebih dalam, selain faktor dendam, benci, dan iri hati, serta tamak, ternyata faktor ekonomi juga menjadi penunjang semakin suburnya tindak kejahatan yang dilakukan. Alih-alih untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, akhirnya dia rela untuk mencuri. Hanya untuk bisa mendapatkan sesuap makanan, akhirnya jalan pintas dilaluinya supaya bisa menenangkan perut yang sejengkal ini yang terus menerus meronta.

Ketika ada orang berteriak, “maling..maling!!!”, atau “tolong…tolong..!!” Memang dengan kondisi tersebut kita akan bereaksi dengan cepat untuk segera menolong orang yang minta tolong tersebut. Kita berusaha untuk secepatnya menangkap si pelaku tersebut bersama-sama dengan seluruh masyarakat yang kebetulan sedang ada disitu. Dan ketika si pelaku tertangkap, bagaimana reaksi kita yang muncul pertama. Apakah memukul, menghajar ataupun menganiya si pelaku merupakan naluri pertama kita yang muncul. Kemudian ketika orang yang disamping kita sudah mulai bertindak menghajar dan main hakim sendiri, apakah  kitapun akhirnya terimbas untuk meniru gerakannya dan melakukan hal yang sama. Bahkan  kemungkinan bisa melakukan tindakan yang lebih sadis lagi, yaitu dengan membunuh ataupun yang sejenisnya.

Hal-hal itupun pasti akan terjadi dan sebagian besar akan dilakukan oleh masyarakat secara bersama-sama dan spontan.  Padahal memunculkan rasa kasih yang lebih kepada sesama kita manusia adalah perbuatan yang mulia, meski ia adalah seorang pencuri. Seperti ungkapan “Kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri”.

Perbuatan main hakim sendiri, dan bahkan bertindak iluar kewajaran kita sebagai manusia, sebenarnya tidak perlu terjadi. Asal kita sudah bisa memiliki rasa kasih yang dalam kepada sesama. Ketika kita sudah bisa memiliki kasih yang murni, niscaya pemikiran jahat sekalipun mungkin tidak akan terlintas dikepala kita. Sebab bahasa kasih itu universal, bukan hanya dimiliki oleh golongan tertentu.

Tidak mudah terprovokasi dengan ujaran-ujaran kebencian, permusuhan, bahkan sampai bunuh membunuh, dengan orang yang berbeda paham atau agama dengan kita. Mari kita mengaji kitab suci kita, dan coba merenungkan kekayaan yang ada didalamnya serta kebenaran yang mungkin bisa kita terapkan dalam kehidupan kita masing-masing. Apabila hidupnya sehari-hari berbarengan sama dengan apa yang diajarkannya, untuk berbuat baik, itulah yang patut kita dengar, dan menghidupi pola kehidupannya. Sebab itu menjadi contoh teladan yang baik untuk bisa kita tiru dalam kehidupan kita sehari-hari.

Oleh karena itu, diakhir tulisan saya ini, mari kita bersedia untuk mengelola emosi kita yang berlebihan. Tidak terlalu reaktif terhadap segala kejadian yang ada disekeliling kita. Mari memberikan sikap dan tindakan porsi yang wajar, meskipun tindak kejahatan tersebut sedang terjadi di depan mata kita.  Ketika kita berusaha untuk melumpuhkan si pelaku, bukan berarti kita berhak untuk lebih dari itu. Melainkan dengan sigap dan tenang untuk membawanya ke pihak yang berwajib. Alangkah indahnya Slogan BIMA RAMAH kita, bila rasa  kemanusiaan itu yang lebih dominan kita miliki.

Mari kita belajar dari pengalaman.

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker