Ada Apa Dibalik Gugatan Cerai Ahok?

Abadikini.com, JAKARTA- Secara mendadak, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali menuai kontroversi. Setelah sebelumnya divonis 2 tahun atas perbuatan buruknya yang menista agama, kali ini publik kembali dibuat tak habis fikir lantaran ia dikabarkan menggugat cerai Veronica Tan alias Vero, sang istri yang didengung-dengungkan sangat dicintai dan disyukurinya tersebut.
Dilansir Kompas.com, Ahok melayangkan gugatan cerainya ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara tertanggal 5 Januari 2018. “Nomor perkaranya 10/Pdt.G/2018 tanggal 5 Januari 2018,” kata Josefina salah satu Pengacara Ahok membenarkan kabar tersebut. 
 
Sementara Tarmuzi, Panitera Muda Perdata (Panmudper) Pengadilan Negeri Jakarta Utara pun dalam keterangannya memastikan bahwa pihaknya telah menerima berkas gugatan itu. “Sudah (ditandatangani Ahok), di (atas) meterai Rp 6.000,” ujar Tarmuzi kepada wartawan di PN Jakarta Utara, Senin (8/1). 
Surat gugatan itu, kata Tarmuzi, diantarkan salah satu rekan adik Ahok dari Law Firm Fifi Lety Indra & Partners sebagai kuasa hukum dalam kasus itu. Gugatan diajukan pada Jumat pekan lalu sekitar pukul 14.30 atau sebelum pendaftaran gugatan ditutup.
Adanya kepastian tentang gugatan cerai itu sungguh menimbulkan pertanyaan besar bagi khalayak. Berbagai spekulasipun bermunculan terhadap penyebab pasti mencuatnya prahara rumah tangga ahok, mulai dari adanya kabar perselingkuhan sang istri, hingga upaya ahok dalam menyelamatkan aset-asetnya.
 
Memang sejak tahun lalu, keluarga Ahok sempat disasar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkaitadanya keterlibatan Vero dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras yang merugikan negara sekitar Rp191 Miliar. Dimana, Vero selaku Ketua Yayasan Kanker Indonesia Wilayah DKI Jakarta ketika pelantikan sempat mengungkapkan niatan untuk membangun Rumah Sakit Khusus untuk penyakit Kanker di DKI Jakarta. Hal ini diketahui tatkala  Februari 2016 lalu, lembaga anti rasuah itu dalam keterangan pers tidak membantah pertanyaan wartawan perihal keterlibatan Vero.
 
“Karena masih dalam tahap penyidikan, nggak bisa diinfokan soal itu,” ujar  Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa, Kamis, (25/02/2016). Sebagaimana diketahui kala itu, KPK menaikkan laporan pembelian lahan RS Sumber Waras ke tingkat penyelidikan dengan didasari adanya hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebut terdapat 6 kesalahan prosedur dalam pembelian lahan seluas 3,6 hektare di Grogol, Jakarta Barat oleh Pemprov DKI Jakarta. Salah satunya dikarenakan harga lahan yang terlalu mahal.
Sejak itu, Ahok tampak mulai ketar-ketir. Ahok pun sebisa mungkin berkelit dan membantah bagian dari keluarganya terlibat. Ditambah lagi, sasaran dugaan keterlibatan juga mengarah ke adiknya Fifi Lety yang digaungkan sebagai notaris dalam pembelian lahan RS Sumber Waras.
 
Kelitan Ahok atas apa yang disasarkan ke adiknya cukup tegas. Dalih kompetensi dan kewenanganpun dijadikan “senjata” bagi Ahok asalkan keluarganya dapat lepas dari dugaan atau setidaknya tidak menjadi sasaran subyek penyelidikan. “Adik saya itu pengacara, bukan Notaris,” bantah Ahok di Balai Kota, (19/4/2016) sebagaimana lansiran Tirto.ID
 
Harga pembelian diketahui sangat fantastis, di dalam pemberitaan  CNNINDONESIA.COM, (12/09/2017),dicatat Pemprov DKI Jakarta membeli lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras sekitar Rp800 Milyar. Saat ini, RS Sumber Waras yang rencananya akan menjadi rumah sakit khusus kanker dan jantung ini terhenti karena adanya dugaan korupsi. 
Menindaklanjuti dampak temuan itu yang secara implisit menjadi penyebab terhentinya program pembangunan RS Sumber Waras, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno,  meminta pihak Yayasan Kesehatan Sumber Waras mengembilkan uang Rp 191 miliar yang diklaim Sandiaga Uno sebagai kelebihan pembayaran oleh  Pemprov DKI.
“Dana Rp 191 miliar sebagai kelebihan bayar karena ini di atas nilai yang sudah ditetapkan BPK atau dibatalkan pembeliannya,” ujarnya di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (28/11/2017), dilansir KOMPAS.COM. Ia mengatakan, pembangunan RS kanker pertama di DKI itu baru dapat dilanjutkan jika posisi hukum lahan tersebut sudah jelas.


Menyikapi permintaan Wagub DKI, Direktur YKSW Abraham Tejanegara tak gentar dan menanggapi dengan santai. Bahkan cenderung menantang Pemprov DKI rezim “Lawan Ahok” tersebut.  “Kalau menurut saya, itu sudah enggak ada hubungannya. Kami melakukan transaksi itu sudah berdasarkan NJOP (nilai jual obyek pajak) dan kesepakatan kedua belah pihak,” ujar Abraham ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (28/11/2017).

“Nah, BPK itu yang mengatakan bahwa terjadi kelebihan pembayaran. Dasarnya apa? Sebab, sebelum terjadi penjualan kepada DKI, kami sudah pernah melakukan ikatan jual beli dengan pihak Ciputra. Saat itu, kata dia, NJOP lahan tersebut Rp 12,155 juta per meter persegi dan akan dijual kepada Ciputra Rp 15,5 juta per meter persegi dengan total harga Rp 500 juta. 
“Pada saat itu, jual beli dengan Ciputra batal karena ketidaksesuaian dengan peruntukan menurut perjanjian semula. Jadi, pada tahun berikutnya, kami jual kepada Pemprov DKI,” kata Abraham. Pada saat dijual kepada Pemprov DKI, NJOP lahan tersebut Rp 20 juta per meter persegi sehingga harga jualnya pun lebih mahal mengikuti NJOP yang telah ditetapkan.
“Nah, kalau Pak Sandi minta kami kembalikan uang kelebihan itu, saya kan enggak bisa ngomong. Yang berhak membatalkan pembelian itu kan pengadilan, yang kami tahu, persoalan itu sudah tidak ada kaitannya lagi dengan kami,” tukas Abraham.
 
Seakan dipermainkan oleh para “pelakon” RS Sumber Waras, Pemprov DKI tak kehabisan akal. Anies-Sandi dalam upayanya demi percepatan anggaran sekaligus sebagai pendampingnya dalam usaha menyingkirkan “batu sandungan” program pembangunannya, Anies-Sandi membentuk sebuah komite yang diberi namaKomite Pencegahan Korupsi (PK) Pemprov DKI yang  bertugas mengawasi penyerapan anggaran.
Fokus utamanya, tentu saja isu di antaranya, temuan BPK soal pembelian lahan Rumah Sakit (RS) Sumber Waras dan Cengkareng Barat. “Saya sudah menyampaikan ke Pak Bambang kemarin salah satu yang kami bahas di road to WTP adalah dua isu yang menjadi temuan BPK,” kutipnya sebagaimana pemberitaanMerahPutih.com, (04/01) di Balai Kota.
Mungkin, agresifitas Anies-Sandi dalam mengungkap indikasi korupsi Sumber Waras Ahok sebagai ancaman. Betapa tidak, meskipun bolak-balik Ahok membantah dan berkelit mengenai keterlibatan keluarganya namun tidak dapat dipungkiri faktor kedekatan emosional sangat berpengaruh besar terhadap persetujuan pembelian lahan tersebut. 
Bukan tanpa alasan, saat itu Ahok merupakan sosok penguasa administrasi bagi Pemprov DKI Jakarta selaku pembeli lahan. Sedangkan sang istri, Vero, –meski pun belum terbukti keterlibatannya secara langsung– namun sebagai Ketua Yayasan Kanker Indonesia Wilayah DKI Jakarta dirinya turut andil besar selaku promotor agar pembelian itu dapat segera terlaksana bagaimanapun caranya.
Sejak dilantik, 2013 lalu sebagai Ketua YKI DKI Jakarta, Veronica Tan kerap mengungkapkan mimpinya agar Jakarta memiliki rumah sakit khusus kanker sendiri meskipun di Jakarta sudah ada 5 rumah sakit yang mampu menangani pasien kanker. “Untuk mengurangi beban rumah sakit yang ada,” kata Vero saat pelantikan.
Berdasarkan penelusuran di laman Kompasiana yang ditulis oleh A.L.A Indonesia berjudul “Menarik Benang Merah Antara Ahok, Veronica Tan dan Kartini Muljadi” tertanggal 16 Desember 2015 dikisahkan bahwa Vero sangat berbahagia ketika mengetahui sang suami tercinta  ingin segera mewujudkan mimpinya tersebut dengan membeli lahan Sumber Waras. Tak tanggung-tanggung demi membahagiakan istri tercinta, AHOK bahkan berani melakukan pertemuan secara langsung dengan pemilik lahan Sumber Waras untuk negosiasi. Menurut Vero, pembelian lahan Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakarta memang khusus dipersembahkan oleh AHOK untuk membangun rumah sakit khusus kanker yang akan dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta.
Bahkan yang sangat luar biasa, Veronica AHOK mampu mengetahui secara detail rencana pembangunan rumah sakit kanker oleh Pemprov DKI Jakarta lengkap dengan besaran anggarannya.
“RSUD khusus kanker ditargetkan dapat dioperasikan pada tahun 2017 mendatang. Sambil menunggu pembangunan fisik dimulai, kita akan membangun sumber daya manusia dulu,” kata Vero dalam acara penandatanganan nota kesepakatan (MOU) mengenai perawatan paliatif kanker antara YKI DKI Jakarta bersama Singapore International Foundation (SIF) dan Rachel House Foundation, di Balai Kota, Jakarta, Selasa (20/1/2015).
Lebih lanjut, Veronika juga mengungkapkan bahwa RSUD khusus kanker tersebut akan dibangun diatas lahan seluas 3,7 hektare yang terletak tepat di sebelah RS Sumber Waras. Lahan tersebut telah dibeli oleh Pemprov DKI Jakarta seharga Rp750 miliar dengan anggaran tahun lalu (APBD 2014/pen) (Kontan.com, Selasa 20/1/2015).
Sayangnya, ketika mimpi Veronika AHOK untuk membangun RSUD khusus kanker hampir diwujudkan oleh suami tercintanya, BPK justru “menghadangnya”. Dalam laporan hasil audit yang disampaikan di DPRD DKI Jakarta dengan sangat jelas disebutkan bahwa pembelian lahan Sumber Waras diindikasikan merugikan keuangan daerah sebesar Rp 191,334 miliar. Menurut BPK, pembelian lahan Sumber Waras harus dibatalkan karena sarat dengan permasalahan.
Temuan itu membuat Ahok Meradang. Betapa tidak, tahun sebelumnya AHOK sempat memuji kinerja BPK yang memberikan raport merah pada keuangan Pemprov DKI dan menyebutnya sebagai kado ultah yang spesial. Pujian itu lahir dari mulut Ahok karena titik temuan mengarah kepada pejabat sebelumnya. Ketika “Panah” BPK mengarah ke masa pemerintahannya, AHOK langsung menuding ada “kongkalikong” antara DPRD dan BPK. AHOK juga menuduh, BPK menggunakan standar ganda dalam melakukan auditnya. AHOK tetap ngotot pada keputusannya untuk membeli lahan Sumber Waras karena sudah sesuai dengan harga NJOP.

Kegaduhan dalam upaya perwujudan mimpi sang istri itu juga meninggalkan jejak baru. Perhimpunan Sosial Candra Naya (PSCN) yang aslinya bernama Sin Ming Hui “dipaksa” masuk dalam pusaran “kegaduhan” oleh konglomerat Kartini Muljadi. Sin Ming Hui berdiri pertamakali tahun 1946 dengan anggota 9 orang Tionghoa yang bekerja di harian Sin Po dan Keng Po. Berlandaskan cita-cita luhur untuk mengabdi kepada Indonesia di bidang sosial kemasyarakatan dengan menyediakan pelayanan kesehatan masyarakat, RS Sin Ming Hui belakangan berubah nama menjadi RS Sumber Waras yang dibangun menggunakan dana sumbangan masyarakat Tionghoa. 

Tanah tersebut dibeli dari Ny. Oey Han Nio seharga Rp 1/m2 dengan total biaya Rp 80,000. Pendiri Sin Ming Hui dapat membeli tanah tersebut dengan sangat murah karena Ny. Oey Han Nio sangat mendukung cita-cita mulia Sin Ming Hui untuk mengabdi kepada masyarakat. Surat tanah tersebut oleh pendiri sengaja dipecah dua, satu dalam bentuk hak milik atas nama Perkumpulan Sin Ming Hui dan satu lagi bentuk HGB atas nama Yayasan Rumah Sakit Sin Ming Hui, dengan maksud agar kelak bila RS menjadi besar, tidak melupakan Perhimpunan Sosial Candra Naya sebagai induknya.
 
Nah, tanah yang dibeli oleh Pemprov DKI Jakarta bersertifikat HGB yang akan habis 26 Mei 2018 dan secara fisik lokasinya di Jalan Tomang Utara. Sedangkan tanah yang berada di Jalan Kyai Tapa ber-Sertifikat Hak Milik dan saat ini sedang disengketakan di pengadilan antara  Perhimpunan Sosial Candra Naya (Sin Ming Hui) yang dipimpin oleh I Wayan Suparmin dengan Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang dipimpin Kartini Muljadi.

 

Dari sejarahnya tercatat dengan sangat jelas dan terang benderang bahwa berdirinya RS Sin Ming Hui (RS Sumber Waras) merupakan sumbangan masyarakat Tionghoa yang tergabung dalam Sin Ming Hui. Bahkan nama Sumber Waras sendiri merupakan nama yang istimewa, karena berasal dari singkatan “SUMbanganBERasal WARga ASing”. Ironisnya, mengapa kini tanah YKSW dan RS Sumber Waras bisa dikuasai oleh konglomerat Kartini Muljadi.
Ketua Perhimpunan Sosial Candra Naya, I Wayan Suparmin pun terpaksa harus rela mendekam di penjara karena dituduh melakukan penggelapan sertifikat milik Perhimpunan Sosial Candra Naya (Sin Ming Hui) oleh Kartini Muljadi. Kuasa Ahok saat itu tak terbantahkan.
 
Namun pepatah lama yang menyebut “Tak Ada Yang Bakal Abadi” tampaknya turut menghinggapi perjalanan kekuasaan Ahok. Setelah dirinya divonis bersalah atas perbuatannya menista agama islam di Kepulauan Seribu, kekuasaan Ahok pun seketika kandas. Bahkan, 7 Juta umat islam yang tergabung dalam gerakan 212 turut mengawal kandasnya Ahok. Meski disinyalir masih “Kuat”, akhirnya Ahok pun ditahan di Rutan Mako Brimob hingga kini.
 
Dijebloskannya Ahok ke penjara ternyata tidak cukup dijadikan alasan untuk menutup keterlibatan Ahok dalam perkara korupsi pembelian lahan RS Sumber Waras. Meski berbagai strategi telah dipakai, Ahok pun sepertinya sangat menyadari “bidikan” penyelidikan lambat laun akan mengarah kepada dirinya.

 

Bahkan, penggiat media sosial yang sempat “tiarap” pun kembali “goyang jempol” ketika dirinya memutuskan untuk melayangkan gugatan cerai kepada sang istri yang padahal sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa atas dasar rasa sayang kepada sang istrilah dirinya berani untuk mengambil langkah-langkah pembebasan lahan RS Sumber Waras yang belakangan dianggap cacat prosedural itu.

 

Pengamat Politik dan Pegiat Media Sosial, Ricky Sebastian Hafiz menilai langkah Ahok yang menggugat cerai istrinya tak lain merupakan salah satu strategi untuk mengalihkan konsentrasi Komite Pencegah Korupsi DKI Jakarta yang diketahui khalayak saat ini lagi-lagi sedang menyasar dirinya dan keluarganya. Selain sebagai pemecah konsentrasi, Ricky juga berpendapat bahwa Ahok juga tengah berupaya untuk mengamankan aset pribadinya bilamana memang bukti keterlibatannya tak dapat dihindari lagi.

“Sehingga setidaknya, hubungan kasih sayang yang dibangun ketika lahan tersebut belum dibeli akanngabur, dan publik pun akan terpaksa disibukkan dengan kabar tentang perceraian dirinya,” jelas Ricky. Dalam pada itu, Ricky juga beranggapan bahwa manuver cerai ini dapat dipakai untuk memisah harta kekayaan dirinya dengan Veronica. “Jadi kalo emang aset pribadinya semua disita, aset Veronica aman, karena sudah terbagi menjadi harta gono-gini,” tutup Ricky.
Segala spekulasi tersebut tentu harus tetap kita cerna dan cermati. Sehingga penilaian obyektif atas suatu analisa dapat dipandang sebagai jawaban yang tidak hanya sekedar bentuk pendiskretan semata melainkan juga turut membantu aparat penegak hukum dalam mencari sebuah petunjuk. 

Sumber Berita
Sumber Berita

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker