Viral, Ustadz Yusuf Mansur Buka Doa Online Berbayar: Rp10 Juta Dapat Fatihah Khusus

Abadikini.com, JAKARTA – Ustadz Yusuf Mansur kembali menjadi sorotan publik. Setelah lama tak terdengar usai kontroversi PayTren, pendakwah berusia 48 tahun itu kini muncul dengan gebrakan baru yang tak kalah kontroversial: membuka jasa doa online lewat siaran langsung di media sosial.
Dalam salah satu siaran langsungnya, Ustadz Yusuf Mansur menawarkan kesempatan bagi penonton untuk “ikut didoakan” bersama lebih dari 500 jamaah daring. Siapa pun boleh ikut, asalkan berdonasi dengan nominal tertentu—mulai dari Rp1.000 hingga jutaan rupiah.
“Rp50 ribu boleh, seribu pakai PayTren juga boleh,” ujar Ustadz Yusuf Mansur dalam siaran langsung yang viral di media sosial, dikutip Sabtu (11/10).
Ia bahkan secara terbuka menyebut nominal tertentu akan mendapatkan perlakuan khusus. Dalam potongan video yang beredar, Ustadz Yusuf Mansur menantang penontonnya untuk menyumbang hingga Rp10 juta dengan janji “doa khusus” untuk keluarga penyumbang.
“Belum ada yang Rp10 juta nih? Rp10 juta, Rp20 juta saya Fatihah khusus. Bismillah di-Fatihah-in sama 500 orang, besok Senin eksekusi,” katanya.
Klip tersebut dengan cepat menyebar luas di berbagai platform, memicu gelombang kritik dari warganet. Banyak yang menilai praktik tersebut telah menodai makna ibadah dan terkesan menjadikan doa sebagai komoditas.
“Nabi Muhammad tidak mengajarkan jual-beli doa,” tulis akun @bos***.
“Real jualan agama,” sindir akun @ron***.
“Lu punya orang dalam di surga, Ustadz?” tulis akun @ala*** menambahkan.
Hingga kini, Ustadz Yusuf Mansur belum memberikan tanggapan atas kritik publik tersebut. Ia juga belum menjelaskan apakah program doa online itu berkaitan dengan sistem donasi PayTren—aplikasi keuangan yang sempat ia gagas dan diketahui dicabut izinnya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2024.
Fenomena “jualan doa” ini menambah daftar panjang kontroversi Ustadz Yusuf Mansur yang dikenal sering mengaitkan dakwah dengan model bisnis berbasis sedekah dan investasi syariah. Sementara publik masih memperdebatkan, sebagian pihak menilai langkah ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan sentimen religius demi keuntungan pribadi.