Ketika Bansos Jadi Konten, ‘Burekol’ Jadi Korban
Oleh: Randy Hasibuan - Mantan Aktivis HMI

Abadikini.com, JAKARTA – Di tengah riuh rendah pencitraan di media sosial, Kementerian Sosial (Kemensos) seolah tampil sebagai pahlawan kesejahteraan. Video dan foto berjejer rapi di akun resmi mereka: para menteri, pejabat, dan influencer berdiri membagikan sembako, berfoto dengan rakyat, dan menebar senyum di depan kamera. Tayangan-tayangan ini dibingkai dengan narasi keberhasilan penyaluran bantuan sosial (bansos) ke berbagai pelosok negeri. Tapi di balik narasi gemerlap itu, ada kenyataan pahit yang sengaja disembunyikan: ribuan rakyat kecil, yang berstatus burekol atau “buka rekening kolektif”, masih terabaikan. Mereka menjerit dalam senyap, terlupakan dalam sistem, dan terus menunggu uluran tangan yang tak kunjung datang.
Kata “burekol” mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Tapi bagi mereka yang hidup di lapisan terbawah masyarakat, istilah ini bermakna penantian yang panjang dan menyakitkan. Burekol adalah status penerima bansos yang belum memiliki rekening pribadi, sehingga bantuan sosial mereka dititipkan ke rekening kolektif yang dikelola oleh pihak tertentu—biasanya kantor pos atau lembaga mitra pemerintah. Idealnya, mereka tetap menerima haknya. Tapi pada praktiknya, mereka sering kali terpinggirkan dari proses distribusi yang tidak adil dan tidak transparan.
Yang lebih menyakitkan, Kemensos saat ini terkesan hanya fokus kepada mereka yang sudah memiliki Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Mereka yang tidak memiliki kartu itu meskipun sangat membutuhkan dan bahkan masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)—seolah dianggap tidak penting. Penyaluran bansos pun menjadi eksklusif: hanya untuk yang datanya “rapi”, yang sistemnya sudah terintegrasi. Lalu bagaimana dengan mereka yang hidup dalam keterbatasan dan belum sempat mengurus KKS karena faktor akses, pendidikan, atau lokasi geografis? Apakah mereka tidak lapar? Apakah mereka tidak punya anak yang harus disekolahkan?
Mari kita lihat kenyataan di lapangan
Seorang ibu rumah tangga di pelosok desa di Sumatera misalnya, mengurus tiga anaknya sendiri setelah ditinggal suaminya merantau entah ke mana. Ia masuk dalam daftar penerima bansos di desa, tetapi statusnya masih burekol. Ia tidak paham prosedur perbankan, tidak punya waktu untuk antre berjam-jam di kantor pos hanya untuk diberitahu bahwa “datanya belum sinkron” atau “belum ada pencairan”. Ia menunggu, berharap, dan terus berharap. Sementara itu, dapurnya kosong, anaknya butuh seragam baru untuk masuk sekolah, dan utang ke warung terus bertambah.
Kisah serupa juga terjadi di banyak tempat lain. Di Jawa Timur, seorang bapak tua yang tinggal di rumah berdinding bambu mengaku sudah empat kali bertanya ke kantor pos tentang bansosnya, tapi hasilnya nihil. Alasannya selalu sama: sistem belum update, rekening kolektif belum bisa dicairkan. Sementara tetangganya yang punya KKS sudah menerima bantuan berkali-kali. Padahal kebutuhan mereka sama, bahkan mungkin lebih besar bagi si bapak itu.
Ini bukan hanya soal teknis. Ini adalah soal keadilan. Saat pemerintah membanggakan capaian penyaluran bansos dengan angka-angka tinggi, saat menteri tampil di televisi membagikan paket sembako dengan narasi “kerja nyata”, ada jutaan rakyat kecil yang bahkan belum tersentuh. Sistem yang dibangun ternyata hanya menguntungkan mereka yang sudah “siap secara administratif”, bukan mereka yang paling membutuhkan.
Yang lebih ironis, pencitraan ini dilakukan di tengah krisis kepercayaan publik terhadap akurasi data bansos itu sendiri. Beberapa waktu lalu, banyak ditemukan nama-nama penerima bantuan yang fiktif, ganda, bahkan sudah meninggal. Namun di sisi lain, masyarakat yang benar-benar hidup dalam kemiskinan ekstrem masih harus memohon dan menunggu. Ini adalah bentuk ketimpangan kebijakan yang tidak bisa lagi ditutupi dengan konten media sosial.
Kita tentu tidak anti dengan digitalisasi atau pembenahan sistem. Tetapi digitalisasi tidak boleh menjadi alat untuk mendiskriminasi. KKS, rekening bank, atau data terintegrasi seharusnya menjadi sarana untuk mempercepat distribusi, bukan menjadi prasyarat mutlak yang menyingkirkan mereka yang tidak punya akses. Ketika sistem dibuat terlalu administratif, terlalu kaku, maka yang paling menderita adalah mereka yang paling tidak berdaya.
Kemensos harus mengubah cara pandangnya. Penanganan bansos bukanlah soal pencapaian target dalam bentuk angka atau narasi indah di depan kamera. Ini adalah soal menyelamatkan kehidupan, soal hadirnya negara bagi rakyatnya yang paling rentan. Jika masih ada satu keluarga yang kelaparan karena statusnya burekol, maka itu adalah kegagalan kolektif kita sebagai bangsa.
Kita mendesak Kemensos untuk berhenti bermain-main dengan pencitraan. Sudah cukup rakyat disuguhi konten media sosial yang hanya memperlihatkan sebagian kecil kenyataan. Fokus utama harus dialihkan ke pembenahan distribusi bansos secara menyeluruh—bukan hanya untuk yang sudah punya KKS, tetapi terutama untuk mereka yang selama ini tercecer dan diabaikan.
Audit menyeluruh terhadap status burekol harus dilakukan. Proses pemindahan ke rekening pribadi harus dipermudah, dipercepat, dan dipantau. Bahkan jika perlu, berikan bantuan tunai langsung tanpa syarat administratif yang berbelit-belit. Ini soal rasa keadilan, bukan soal kelengkapan dokumen. Bansos adalah hak rakyat, bukan hadiah yang harus dimenangkan dengan sistem yang rumit.
Jika pemerintah masih ingin menjaga kepercayaan rakyat, maka tindakan nyata jauh lebih penting daripada unggahan Instagram. Jika Kemensos masih ingin disebut sebagai pelayan masyarakat, maka pelayanannya harus merata dan tidak diskriminatif.
Rakyat kecil sudah cukup lama bersabar. Mereka tidak minta banyak. Hanya ingin hidup dengan layak, bisa makan tiga kali sehari, bisa menyekolahkan anak-anak mereka, dan tidak terus-menerus dibebani prosedur yang tidak mereka pahami. Mereka hanya ingin negara hadir, bukan sebagai penonton apalagi pemoles citra, tapi sebagai pelindung yang benar-benar peduli.
Sudah waktunya kita bertanya: kepada siapa sebenarnya bansos ini diberikan? Kepada rakyat yang paling membutuhkan, atau kepada algoritma yang tidak peduli pada kemiskinan yang sesungguhnya?