Dalam Getir Mengemban Tugas Kemanusiaan: Jejak teladan Kenabian Muhammad

Oleh: Mink Ismail

Abdikini.comSejarawan barat Arnold J Toynbee menyebut nabi Muhammad (570-632 M) sebagai pribadi sekaligus pusat peradaban Islam yang diakui mampu memengaruhi dunia lewat sikap dan keteladanannya. Pemikir, sejawaran dan sosiolog Islam yang diakui dunia, Ibnu Khaldun menyebut masa kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai periode peradaban terbaik dan tertinggi yang pernah dicapai. Sementara Karen Armstrong penulis buku ‘Muhammad: A Prophet For Our Time’ menyatakan jika pribadi dan keteladanan nabi Muhammad relevan pada masa kini karena jahiliah bukan era sejarah, melainkan cara berpikir yang melahirkan kekerasan dan teror.

Sebuah kisah lain juga pernah ditulis oleh Syaikul hadits Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi dalam kitabnya Fadha’il Amal atau Fadhilah Amal. Alkisah, Nabi Muhammad pernah ditawari malaikat utusan tuhan untuk membenturkan dua gunung di wilayah Thaif, tepatnya di dusun Qarnul Manazil.

Tawaran itu sengaja diajukan malaikat agar bisa menghancurkan penduduk Thaif yang kala itu menolak kedatangan Nabi Muhammad yang masih punya pengikut sedikit, sekitar bulan Syawal tahun kesepuluh di masa kenabian, tepatnya 619 Masehi.

Mereka melempar nabi dan pengikutnya dengan batu, mencerca mengolok-olok hingga sebuah riwayat mengatakan sandal nabi Muhammad penuh lumuran darah. Malaikat penjaga gunung pun hadir membawa pesan. Ia menawarkan untuk membenturkan dua gunung agar bisa menghancurkan penduduk yang menolak sang pembawa risalah tuhan.

Tapi apa jawaban Nabi Muhammad, dengan tenang ia menolaknya. Ia tak rela jika penduduk Thaif yang telah menganiayanya dibinasakan. “Aku hanya berharap tuhan, seandainya saat ini mereka tidak menerima Islam, semoga kelak di antara keturunan mereka akan lahir orang-orang yang menyembah dan beribadah kepada Allah,” jawab Nabi Muhammad dengan tenang.

Melewati Getir, Menolak Privilige

Dalam sebuah riwayat juga dikisahkan, jika kepergian nabi pada tahun ke-10 masa kenabian itu terjadi ketika Abu Thalib sang paman meninggal dunia. Selama masa awal kenabian Muhammad, Abu Thalib salah satu pemimpin suku Qurais memang menjadi satu dari sekian kerabat nabi yang dikenal sebagai pelindung sang keponakan dari serangan orang-orang yang tak bisa menerima pengakuannya sebagai nabi.

Pasca kepergian Abu Thalib itulah, sebagian besar kaum Qurais merasa punya kesempatan untuk mencegah perkembangan Islam yang dibawa nabi Muhammad. Saat situasi dukungan melemah, nabi Muhammad akhirnya memilih hijrah, menuju Thaif. Kota ini didiami kabilah Tasqif yang berjumlah besar. Kota yang terletak sekitar 67 kilometer dari Kota Makkah ini juga terkenal dengan area perkebunan dan pegunungan.

Nabi Muhammad dan pengikutnya, semula berharap kelak kabilah ini menjadi basis pengikutnya. Tapi perjuangan itu tidaklah mudah. Meski pada akhirnya setelah sekian lama berjuang, impian nabi terwujud.

Apa yang bisa kita bisa tarik dari sepenggal kisah ketauladanan ini, adalah bahwa betapapun nabi punya keistimewaan atau previlige dari tuhan, tapi ia tak lantas dengan mudah menerima tawaran kemudahan itu.

Meski ada banyak kesempatan bahkan tawaran menggiurkan yang diutarakan wakil tuhan semasa pelik memperjuangkan titah sang pemilik semesta. Tapi nyaris tak satu pun kesempatan itu ia gunakan. Padahal jika mau, jelas ia punya kesitimewaan sebagai utusan tuhan.

Tak hanya tawaran memusnahkan lawan saat situasi perjuangan. Dalam banyak cerita, Nabi Muhammad juga pernah ditawari malaikat; jika mau, gunung pun bisa disulap menjadi emas. Tapi lagi-lagi tawaran itu ditolak.

Bagi Nabi Muhammad, juga rasul utusan tuhan lainnya, jalan hidup semestinya memang harus lalui sewajarnya, sesuai proses alamiah. Semua kelokan tajam hidup harus dihadapi dengan pergulatan, kesabaran, keluasan hati meski itu terasa melelahkan.

Nabi tak pernah meminta bahkan menerima tawaran sahabatnya yang ingin melenyapkan lawan, termasuk ketika ia disakiti pamannya Abu Jahal. Nabi tetap datang ketika sang paman sakit. Abu Jahal bahkan sempat menangis ketika dijenguk nabi, tapi kerasnya hati Abu Jahal tak mampu melunakan imannya.

Jangankan menyakiti, Nabi bahkan tak pernah berusaha merinci keburukan mereka untuk membuat kaumnya semakin simpati. Di situasi perang, jika pun mengalami kemenangan, nabi tak pernah meluapkan euphoria. Bahkan selalu berpesan untuk menyayangi anak, perempuan dan orang-orang lemah.

Getirnya Menututupi ‘Aib’

Kisah ketaulandan sikap nabi ini mengingatkan pada saya tentang kisah getir dan kemampuan menahan derita di tengah situasi mencekam era fasisme Italia. Film itu diulas secara baik oleh sastrawan Goenawan Muhammad melalui catatan pinggirnya, ‘La Vita e Bella (Hidup itu Indah). (Caping Tempo/02/10)

Film garapan sutradara asal Italia Roberto Benigni ini menceritakan bagaimana kisah getir seorang Guido, ayah Giosue’ yang hidup di masa kekejaman peremintahan fasisme Italia terhadap etnis Yahudi.

Giosue’ yang masih berusia 4 tahun hidup di kota kecil Arrazzo bersama kakek, ibu dan ayahnya Guido. Giosue belum mengerti bagaimana mencekamnya situasi ketika orang Yahudi menjadi musuh fasisme yang harus diberangus dengan kejam. Ia bahkan sempat bertanya ke ayahnya, soal ibunya yang mendadak harus terpisah, dan entah kemana nasibnya saat itu.

Di tengah gundukan rasa yang lirih dan getir Guido berusaha menunjukan sikap biasa. Ia tak ingin anaknya merasakan sebuah atmosfir kekejaman sebuah kekuasaan yang mencekam. Ia hanya mengatakan jika sang bunda pergi untuk sementara waktu dan nanti akan berjumpa lagi. Ia mengerti anaknya akan selalu bertanya itu, dan setiap kali pertanyaan datang, ia akan selalu siap berbohong untuk mengecoh lamunan dan perasaan sedih Giosue, yang jelas rindu sang mamah.

Sampai pada suatu hari, ia, Giosue dan ayahnya ditangkap dan di masukan ke dalam sebuah kamp penampungan kerja paksa. Lagi-lagi Giosue bertanya; tempat apa ini sebenarnya? Guido sejenak terdiam, lalu mencari akal untuk menjawabnya. Kepada Giosue ia menjawab jika kamp ini adalah tempat bermain, bertanding, kelak untuk siapa saja yang bertahan, dan bisa melewatinya maka akan menjadi pemenang dan mendapatkan hadiah.

Giosue jelas belum mengerti apa yang dimaksud sang ayah. Apalagi di beberapa momen, ia melihat sendiri sang ayah dipaksa bekerja kasar, dan sang kakek meregang nyawa karena kelaparan di kamp penampungan itu.

Guido terus bertahan dengan kebohongannya. Ia tak mau anaknya yang masih kecil mengetahui betapa kekejaman tengah berlangsung. Di sela sebelum tidur dengan rasa yang lapar, ia kerap menceritakan tentang kisah masa depan. Sebuah kisah impian yang membuat anaknya lupa penderitaan dan kelaparan.

Nyaris setiap hari ia berusaha melawan ingatan kengerian anaknya. Ia sengaja berbohong agar tak tumbuh kebencian dalam batin anaknya. Sampai suatu ketika Guido aakhirnya mendapatkan giliran dieksekusi mati di sebuah kamp eksekusi.

Giosue kehilangan ayah, tapi akhirnya ia dilepas. Dan ia tak pernah tahu kemana sang ayah. Ia masih terus dihantui tanya; mungkinkah ini tantangan dari kejutan hadiah yang akan diterimanya kelak. Entahlah. Yang jelas, sampai akhir cerita memang ada banyak pertanyaan menggantung. Diselipi satir dan adegan jenaka selama hidup adegan mencekam hidup di kamp penampuangan.

Dalam getirnya menghadapi kenyataan Guido bekerja keras untuk berbohong. Ia tampaknya tak ingin putranya mewarisi kebencian apalagi dendam membabi buta meski apa yang dialaminya adalah kejahatan kemanusiaan.

Guido tak ingin anaknya terpenjara dalam benalu sejarah. Ia tak ingin di seumur hidupnya sang anak hatinya dipenuhi kecamuk murka dan dendam. Sebab, barangkali dalam getirnya kenyataan, baginya hidup tetaplah harus dilalui dengan indah, La Vita e Bella.

Keteladanan dan Kasih Sayang

Cerita getir dan keluasan hati Guido dalam cerita Film Italia itu. Menunjukan bagaimana pergulatan getir menutup aib dan kejahatan, agar tak muncul kebencian di kemudian hari.

Sejurus dengan kisah keteladanan nabi Muhammad di atas yang tak ingin memberangus penduduk Thaif meski ia punya keistimewaan dari tuhan.

Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik, jika kita tak boleh semena-mena bersikap, memvonis yang lain, apalagi memberangus pikiran lain dengan menggunakan privilege kekuasaan untuk kepentingan apapun.

Dari kisah nabi pula, jika perjuangan meniti kebenaran bukanlah jalan yang instan. Dari tauladan nabi dan kisah Guido kita juga bisa belajar; betapapun getir mengalami ujian hidup, merintih dan berdarah-darah karena hujaman cercaan dan makian, hingga ancaman pembunuhan. Manusia tetaplah harus punya harapan di masa depan.

Dari kisah ‘kebohongan’ Guido pada anaknya kita juga bisa bercermin betapapun kita menolak kejahatan, tapi tak lantas kita wariskan ‘aib dan kebencian pada anak-anak kita di masa depan.

Seperti kata kata filsuf Derrida; semua peristiwa yang lewat di depan mata, hanya bisa sebatas kita terka, lebih baik menundanya sebagai sebuah jejak, sebagai sebuah kesimpulan, bukan penegasan yang kukuh tanpa cacat mengenai masa depan.

Setiap ceceran peristiwa adalah pengalaman yang unik, tak utuh apalagi dalam bayangan pikiran. Relaitas adalah bukan ini dan bukan itu, tak stabil dan tidak ajek. Hanya mungkin sebagai ini, atau itu, serta pada akhirnya serba mungkin.

Realitas sebagai sebuah ‘das ding an sich. Semua ‘penampakan objek’ bukanlah ‘objek’. Objek di luar diri kita menurut Immanuel Kant, tidak bisa kita ketahui sepenuhnya. Jika kita melihat tembok, tembok di hadapan kita itu menurut Kant bukanlah tembok pada dirinya sendiri, bukan benda itu sendiri (Das Ding an Sich), melainkan hanyalah penampakan tembok itu sejauh kita tangkap dengan pancaindra. (baca: Kant)

Kita memang harus pinya sikap, tapi tak punya jaminan semua bayangan yang kita pikirkan serba pasti dan ajeg. Kita hanya mungkin melalui hidup, seperti kata Levinas, dengan mengalaminya sebagai keseharian yang sepenuhnya mengandalkan kemampuan menerima yang lain sebagai sepenuhnya yang lain, sebab selalu terselip misteri di dalamnya.

Bukan dengan prasangka kita atas yang lain, atau kehendak kita untuk menguasai dan menundukan yang lain karena kita merasa cukup diri memonopoli kebenaran.

Syahdan, setiap kali kita membaca jejak ketauladanan budi pekerti nabi Muhammad, setiap kali itu pula ada sebuah lompatan iman. Ada sikap yang tak pernah diduga, seperti kebanyakan manusia. Ada sikap dan keluasan hati yang begitu lapang meski dalam situasi perang.

Maka atas keluasan kasih sayang itu pula. Kita selalu merindukan untuk bertemu dengan Nabi Muhammad, para sahabat, ulama dan para pewaris yang mengenalkan kita dengan nilai-nila iman dan Islam penuh rahmatan lil’alamin.

Waallahu’a’lam bishawab.
Selamat Memperingati Maulid Nabi Muhammad
 

Oleh: Mink Ismail, Esais Kebudayaan, Alumnus Ponpes Subulussalam, Kresek-Tangerang

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker