Trending Topik

Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja Memberangus Prinsip Demokrasi Ekonomi dalam Pasal 33 UUD 1945

RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sejatinya ditolak oleh berbagai kalangan akhirnya disahkan menjadi UU oleh DPR pada sore menjelang malam, Senin (5/10/2020). Kehebohan pun terjadi. Seperti halnya pengesahan Revisi UU KPK pada 2019 lalu, gerakan penolakan dari masyarakat juga massif. Dengan diloloskannya UU Ciptaker ini, mendorong saya untuk melihat kembali apa yang menjadi fundamental berpikir untuk menganalisis dampak pada system perekonomian Indonesia pasca reformasi dalam perspektif sejarah.

Saya tentu tidak akan mengulang kembali tahapan demi tahapan apa yang terjadi pada Rapat Paripurna DPR yang mengesahkan Omnibus Law dengan tergesa-gesa, tidak transparan, cacat substansi, cacat formil, dan kecacatan lainnya. Dari keanehan-keganjilan tersebut, semakin memperlihatkan wajah DPR (dan rekan mereka di pemerintah) yang setiap detiknya semakin incompetence dan semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila dan prinsip UUD 1945.

Dari berbagai sorotan pasal yang direvisi, dipangkas, atau diganti di dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja ini salah satunya memuat perubahan dan penghapusan pasal-pasal yang mengatur pengelolaan lingkungan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), seperti debirokratisasi atau penyederhanaan prosedur perizinan, seperti: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), izin lingkungan, dan UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).

Tanpa adanya regulasi yang ketat dan jelas tentang perizinan, pengawasan, dan sanksi yang tegas dalam menjalankan usaha tersebut, maka jelas kekhawatiran terhadap perusakan lingkungan yang dilakukan korporasi beserta jaringan oligarki semakin nyata.

Ironisnya, meski sudah ada regulasi semacam UU PPLH yang ketat, tetap saja ditemukan fakta-fakta melawan hukum yang mengakibatkan kebakaran hutan dan pencemaran lingkungan yang akut, bahkan menjadi bencana kemanusiaan yang tidak hanya berdampak di dalam negeri tapi juga luar negeri. Pertanyaannya kemudian, bagaimana jadinya jika pengetatan perizinan yang sudah baik ini dipangkas sedemikian rupa dan digantikan dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja?

Kembali ke Konstitusi

Pancasila dan UUD 1945 seharusnya benar-benar menjadi pegangan utama dalam merumuskan suatu undang-undang. Tidak hanya menjadi pemanis dalam konsideran ‘menimbang’ dalam sebuah rancangan perundang-undangan. Padahal jelas dinyatakan Pancasila dan UUD 1945 dalam konsideran ‘menimbang’ ialah sebagai pokok pikiran unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis. Namun, kenyataannya, konsideran ‘menimbang’ Pancasila dan UUD 1945 hanya menjadi uraian yang terkesan formalitas belaka jika ujung-ujungnya perundang-undangan yag dihasilkan justru menjadi bencana bagi kemanusiaan dan proses demokratisasi di Indonesia.

Sekarang, mari tengok bagaimana fundamen berdirinya negara Indonesia. Titik tolak ini dapat ditelaah dari pidato Sukarno pada 1 Juni 1945 di hadapan Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai atau Badan Persiapan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia tentang apa yang dinamakannya sebagai Pancasila. Sukarno menyatakan prinsip keempat dari Pancasila adalah prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan:

“Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa di pangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapat kesejahteraan ini. Kita sudah lihat di negara-negara Eropa ada badan-badan perwakilan, ada parlementaire democatie. Tapi tidakkah di Eropa, justru kaum kapitalis merajalela?

Di Amerika ada suatu badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Tak lain dan tak bukan sebabnya ialah karena badan-badan perwakilan rakyat yang diadakan di sana itu sekadar menurut resepnya Revolusi Perancis. Apa yang dinamakan demokrasi di sana, hanyalah demokrasi politik saja, tidak ada keadilan sosial dan demokrasi ekonomi sama sekali”

Sukarno kemudian menjelaskan ketidakcocokan demokrasi ala Barat bila diterapkan di Indonesia karena tidak menjamin demokrasi ekonomi. Dengan mengutip pandangan seorang sosialis revisionis, Jean Jaures, Sukarno melanjutkan:

“…Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi… demokrasi ekonomi-politik yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini…”

“Oleh karena itu, jikalau kita memang benar-benar mengerti, mengingat, mencipta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip keadilan sosial ini yang bukan hanya persamaan politik, saudara-saudara. Juga dalam bidang ekonomi, kita harus mengadakan persamaan, dan kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya… Saudara-saudara, badan permusyaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan demokrasi politik saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: keadilan politik dan keadilan sosial.“

Dari argumentasi Sukarno itu sudah terlihat bahwa hendaknya negara akan dibangun itu berlandaskan demokrasi yang berkeadilan. Adil dalam sistem politik dan sistem kemasyarakatannya. Dalam sistem politik, roh keadilan itu berwujud dalam wajah konstitusi yang tercermin dalam UUD 1945, khususnya pasal 33 yang berbunyi:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara;
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945 dikenal sebagai pasal yang berwarna sosialistik. Pasal ini diusulkan oleh Mohammad Hatta (wakil presiden RI pertama). Namun, pada tahun 2002, MPR mengadakan amandemen UUD 1945 yang keempat. Dari amandemen tersebut, muncul ayat 3 dan 4 yang dianggap sebagian kalangan sebagai “kuda troya” yang malah justru dapat melemahkan tujuan dari pasal 33 itu sendiri.

Mengapa dianggap sebagai kuda troya? Karena amandemen UUD 1945 pada tahun 2002 penuh intrik dan kontroversi. Dari amandemen terakhir itu, UUD 1945 dianggap telah menyimpang jauh dari prinsip dari roh perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa. Dari amandemen UUD 1945 tahun 2002 pula, Indonesia semakin terjerembab ke dalam lingkaran liberalisme dan kapitalisme global. Hasilnya dapat kita lihat dan rasakan pada munculnya UU Penanaman Modal yang disahkan tahun 2007, UU Minerba 2020, dan UU Omnibus Law Cipta Kerja 2020.

Kemunculan UU yang diklaim melanggengkan kerusakan lingkungan dan bencana bagi masyarakat adat ini justru muncul setelah Orde Baru tumbang. Rupanya semangat reformasi tidak membuat sistem perekonomian berdaulat, namun sebaliknya, semakin dalam masuk ke jurang kapitalisme. Percobaan untuk merubah paradigma sistem ekonomi Indonesia pada pasal 33 UUD 1945 dari yang sosialistik menjadi kapitalistik terjadi pada perdebatan dalam tim Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja MPR RI tahun 2001. Tim ahli ekonomi ini terdiri dari Prof. Mubyarto (ketua), Dr. Bambang Soedibyo, Prof. Dawam Rahardjo, Dr. Didik J. Rachbini, Dr. Sri Adiningsih, Dr. Sri Mulyani, dan Dr. Sjahrir

Proses perumusan amandemen pasal tersebut saat itu diwarnai adu pemikiran ideologis antara kelompok yang mendukung liberalisasi perekonomian dengan kelompok yang mempertahankan rumusan asli Pasal 33. Kelompok pendukung liberalisme ekonomi yang diwakili oleh Sri Mulyani Indrawati (sekarang menjabat Menteri Keuangan era SBY dan Joko Widodo), Sri Adiningsih, dan Bambang Sudibyo ini mengusulkan: pertama, perubahan kewenangan kontrol negara di bidang ekonomi; kedua, tentang penegasan konsep sistem ekonomi pasar; dan ketiga, perlindungan atas hak-hak individu. Ketiga usulan ini mau tidak mau akan mengubah rumusan asli Pasal 33 UUD 1945.

Prof. Mubyarto dan Prof. Dawam Rahardjo (keduanya sudah almarhum) menentang keras proposal liberalistik tersebut. Prof. Mubyarto menegaskan bahwa Pasal 33 mampu menerima gelombang globalisasi sehingga amandemen tidak diperlukan. Meski sempat diwarnai dengan mundurnya Prof. Mubyarto dan Prof. M. Dawam Rahardjo karena tetap pada pendirian menolak penghapusan pasal 33 ayat 1, 2, dan 3, proses amandemen tetap dilaksanakan sampai selesai dengan tetap mempertahankan Pasal 33 yang asli dan ada penambahan dua ayat baru, ayat 4 dan 5.

Dari sejarah pergulatan ideologis tersebut, maka tidak heran jika pemerintah hari ini mengeluarkan produk perundang-undangan yang pro ekonomi kapitalistik. Padahal sudah banyak istilah atau slogan yang bersemangat kedaulatan sejak awal kemerdekaan hingga hari ini, seperti ekonomi terpimpin, ekonomi terkelola, ekonomi kerakyatan, dan ekonomi Pancasila. Namun, slogan hanyalah slogan. Tidak memberikan dampak apa-apa. Itu terbukti dengan apa yang DPR dan pemerintah rumuskan hari-hari ini.

Merusak Prinsip Demokrasi Ekonomi

Pada 17 Desember 1996, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) menyelenggarakan seminar dengan tema: “Demokrasi Ekonomi Sokoguru Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila”. Seminar ini bertujuan untuk memberikan sumbang pikiran alternatif di bidang ekonomi dan perlunya mengangkat masalah Demokrasi Ekonomi untuk didudukkan pada tatanan yang bersifat mengikat, yaitu sebagai salah satu Ketetapan MPR.

Pemikiran tentang Demokrasi Ekonomi tersebut kemudian dibukukan dan menjadi referensi utama MPR dalam menetapkan Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi yang menghendaki terlaksananya sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan yang menjamin tidak adanya perlakuan diskriminatif diantara usaha kecil, menengah, koperasi dan usaha berskala besar.

Mengapa kajian terhadap TAP MPR menjadi penting? Karena jika memperhatikan peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, ditandai dengan dikeluarkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan memuat pernyataan sebagai partai terlarang dan melarang ajarannya untuk dihidupkan kembali di Indonesia. Hal yang sama seharusnya juga terlihat pada peralihan Orde Baru ke era Reformasi pada 1998: Penerapan Demokrasi Ekonomi yang komprehensif.

Makna Demokrasi Ekonomi dalam Pasal 33 UUD 1945 jelas dan terukur. Dalam penjelasan Pasal 33 tercantum dasar Demokrasi Ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.

Perekonomian berdasar atas Demokrasi Ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Merujuk pada UU Omnibus Law Cipta Kerja khususnya yang terkait dengan perubahan pada UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka dapat disimpulkan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja jauh dari nilai-nilai dan asas yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi serta berpotensi menabrak etika lingkungan hidup dan merusak ekosistem kehidupan bagi masyarakat adat.

Oleh: Ahmad Pratomo
Kepala Departemen Kajian Strategis DPP Partai Bulan Bintang Referensi

Dokumen:
Pidato Pertanggungjawaban Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia di Depan Sidang Umum MPR RI Oktober 1999.

Buku:
Kahin, George Mc Turnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Terjemahan: Nin Bakdi Soemanto. Surakarta: UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan.
IPKI-LEMHANNAS. 1997. Seminar Sehari tentang Demokrasi Ekonomi. Jakarta: Lemhannas. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Perubahannya, Edisi Baru. Jakarta: Penabur Ilmu.

Internet:
https://www.walhi.or.id/uploads/blogs/Surat%20Terbuka/2020%2004%2007.%20Kertas%20
Posisi%20WALHI%20RUU%20CILAKA%20-.pdf (diunduh pada Selasa, 6/10/2020 pukul 10:55)

https://kawanhukum.id/lingkungan-hidup-dalam-pusaran-omnibus-law-ruu-cipta-kerja/#:~:text=mendorong%20kemudahan%20investasi.-,Omnibus%20Law%20dan%20Lingkungan%20Hidup,demi%20mencapai%20suatu%20tujuan%20tertentu. (diunduh pada Selasa, 6/10/2020 pukul 08:25 WIB);

https://www2.cifor.org/ilea/_ref/ina/indicators/forestbusiness/Permit/UKL-UPL.htm#:~:text=Upaya%20Pengelolaan%20Lingkungan%20Hidup%20(UKL,86%20tahun%202002%20tentang%20Pedoman (diunduh pada Selasa, 6/10/2020 pukul 10:30 WIB)

https://tirto.id/bmkg-sebut-asap-karhutla-riau-sampai-singapura-dan-malaysia-eie7 (diunduh pada Selasa, 6/10/2020 pada 11:39)
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1877/tim-ahli-komisi-konstitusi-terdiri-dari-30-orang/ (diunduh pada Rabu, 7/10/2020 pukul 18:27)

https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18389/ada-perubahan-paradigma-sistem-ekonomi-dalam-konstitusi?page=all (Rabu, 7/10/2020 pukul 18:56)
https://nasional.tempo.co/read/29251/tim-ahli-bp-mpr-dipertahankan-meski-mubyarto-mundur/full&view=ok (Rabu, 7/10/2020 pukul 19:16)

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker