Optimasi dan Peran Lembaga Amil Zakat di Masa Pandemi Covid-19

Optimasi dan Peran Lembaga/Badan Amil Zakat di Masa Pandemi

BANYAK beredar di medsos kita dalam 1 bulan terakhir, jumlah penduduk miskin meningkat drastis, salah satu indikasi nya adalah jumlah uang yang beredar dari konsumsi rumah tangga stagnan (padahal kita juga tau, betapa banyaknya orang² kaya yang melakukan penimbunan bahan pokok dalam mengantisipasi karantina yang durasi waktunya tidak diketahui kapan akan berakhir). Indikasi berikutnya adalah orang yang kelaparan, yang bahkan dalam kondisi ekstrim meninggal dunia karena tidak memiliki bahan pokok untuk di makan.

Tentu kondisi ini menyesakkan dada. Dan dalam sebuah forum diskusi di WAG yang saya ikuti, catatan penting nya adalah kurang optimal nya pengelolaan ZIS lembaga amil zakat sehingga ada saudara² kita yang masih kelaparan bahkan sampai dihinakan oleh sekelompok masyarakat lainnya dengan menyebut nama hewan di nasi bungkus yang dibagikan.

Dalam masa pandemi nasional yang belum jelas kapan akan berakhir dan ketidakpastian suasana, telah sudah lebih dari 2 bulan terakhir, jumlah orang muslim yg menjadi mustahiq meningkat drastis.

Menurut data LAZ dan BAZ, pada tahun 2018, jumlah ZIS yang terkumpul 8,2T. Meskipun riil nya tentu jauh lebih besar.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Saidi (2003) dan Pirac (2007), menuliskan hal yang hampir sama dalam waktu yang berbeda yaitu, hanya 6 persen saja Muzakki yang membayarkan ZIS nya melalui LAZ/BAZ. Sedangkan 66 persen lainnya membayarkan melalui amil zakat yang berdekatan dengan rumah mereka, baik di mesjid atau pesantren atau yayasan pendidikan atau yayasan yatim piatu. Sedangkan sisa nya 28 persen, membayar langsung pada mustahiq, terutama fakir miskin.

Dengan menggunakan prosentase diatas, sangat mungkin jumlah uang yang beredar untuk ZIS di negeri ini telah mencapai kurleb 133 T di tahun 2018, yang artinya *nilai riil perputaran ZIS* di luar LAZ/BAZ 17 persen diatas perolehan yang “hanya” 8,2T. Dengan PDB 2019 yang mencapai 15,833 T (BPS, 2020), harusnya ya potensi ZIS negeri ini bisa mencapai 538 T setahun. Sepertiga dari PDB.

Pertanyaan nya kemudian adalah,
Mengapa hanya 6persen Muzakki saja yang menitipkan ZIS nya di LAZ/BAZ ? Ini sekedar faktor _trust_ atau kah ada hal lain ?

Stigma yang ada

Dalam studi yang dilakukan Zaim Saidi (2003) menyebutkan bahwa :
1. Ada ketidakpercayaan masyarakat terhadap LAZ/BAZ, karena faktor transparansi pengelolaan dana ZIS di tempat mereka.
2. Cara pengumpulan dana yang terkesan pemaksaan (semisal gaji pokok dipotong 2,5% untuk Zakat tanpa ada konfirmasi dan sosialiasasi pada yang bersangkutan tentang pemotongan tersebut dan bahkan tidak memberi bukti potong serta bukti penyerahan pada BAZ, padahal pada bulan² sebelumnya pemotongan untuk ZIS hanya kisaran 5000 hingga 15.000 tergantung pangkat dan golongan)
3. Perputaran ZIS yang masih berpusat di satu titik yang sulit di kontrol oleh Muzakki.

Selain 3 hal di atas, menurut penulis, LAZ/BAZ baru sebatas  melakukan optimasi akumulasi dana ZIS dan belum menyentuh  hal yang paling mendasar di negeri ini yaitu mengurangi secara signifikan jumlah keluarga miskin. Ada tiga  penyebabnya menurut penulis, yaitu pertama, kesadaran untuk mengeluarkan ZIS yang masih kurang; kedua, lenyapnya kepercayaan para Muzakki terhadap performa LAZ/BAZ: dan ketiga, metode pengumpulan yg tidak memudahkan para Muzakki untuk ber ZIS , sehingga pilihan para Muzakki adalah lembaga² amil yang berada di sekitarnya atau turun langsung ke para dhuafa.

Potensi di tengah Pandemi

Saatnya menggunakan situasi pandemi untuk meraih kembali kepercayaan para Muzakki bahwa ZIS yang dilakukan melalui LAZ/BAZ.

Di masa pandemi ini, baiknya fokus utama LAZ/BAZ, dengan menggunakan dasar QS 9:60 , bahwa zakat bisa digunakan untuk peruntukan khusus, sehingga bisa memberi makan pada kelompok, fakir, miskin, gharim (orang yang terlilit utang) selama masa karantina ini sehingga tidak ada lagi saudara kita yang terhinakan dengan nasi bungkus anjing atau semut atau apalah namanya, pun, juga tidak terdengar lagi saudara kita yang mati kelaparan atau pingsan di jalanan karena belum makan.
Disamping pemberian bahan pokok pada fakir, miskin dan gharim, Zakat pada peruntukan khusus juga harus mampu menyediakan dana pengobatan bagi ketiga kelompok di atas, sehingga tidak ada lagi kaum miskin yang ditolak RS atau tidak bisa dibawa ke RS karena ketiadaan biaya.

Nantinya, ketika covid 19 ini telah diminimalisir penyebarannya, Zakat juga harusnya mampu menyediakan modal kerja bagi ketiga golongan diatas yang tidak mungkin terakses oleh lembaga keuangan manapun dalam penyediaan modal kerja.

Belajar dari Masjid

Jogokariyan Yogyakarta yang membuat nol saldo infak nya, dimana infak dan sedekah itu sedang ditunggu pahalanya untuk menjadi amal sholih para Muzakki, bukan untuk disimpan di rekening bank, maka memang sebaiknya langkah cerdas tersebut bisa ditiru oleh LAZ/BAZ Untuk me nol kan saldo ZIS nya sehingga dengan saldo nol ini, tidak ada satu pun kelompok umat islam yang dihinakan oleh kelompok lainnya pun tidak ada kelompok masyarakat yang pingsan di jalanan karena lapar atau pun yang meninggal karena hanya minum air putih berhari² atau terpaksa mencuri karena lapar.

Kalau Masjid Jogokariyan masih berdiri hingga saat ini dengan saldo nol infak nya, penulis pun berkeyakinan, LAZ/ BAZ tidak akan bangkrut hanya dengan me nol kan saldo ZIS nya.

Oleh: Evi Sufiani
Aktivis Partai Bulan Bintang (PBB) Jawa Timur

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker