Kontroversi Pembebasan Napi Di Masa Pandemi

KEMENTERIAN Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi Dan Hak Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 (Selanjutnya disebut Permenkumham 10/2020).

Kebijakan ini, sebagaimana disebutkan dalam bagian konsiderannya, dikeluarkan untuk merespon situasi darurat bencana Covid-19. Alasan lainnya, Kemenkumham menginsyafi secara implisit bahwa ada ketidakseimbangan antara kapasitas lembaga pemasyarakatan (Lapas) maupun rumah tahanan (Rutan) dibandingkan dengan tingkat hunian.

Dengan kata lain, terjadi over capacity, kelebihan kapasitas. Dikhawatirkan, hal ini dapat menambah resiko penyebaran virus di dalam rutan maupun lapas. Untuk itu, sekitar 35 ribu lebih narapidana/anak “dilepaskan” dari lapas dan rutan untuk menjalankan program sesuai skema Permenkumham 10/2020 ini.

Belakangan, media massa memberitakan bahwa terdapat  beberapa tindak kejahatan yang dilakukan oleh napi asimilasi yang baru dilepaskan. Tulisan singkat ini akan menguraikan beberapa catatan guna mendudukkan peristiwa ini sebagaimana mestinya.

Kekhawatiran Publik

Menghadapi pandemi, Pemerintah Pusat mengeluarkan serangkaian kebijakan baik dalam bentuk Perppu, PP maupun Keputusan Presiden yang berakibat pada keterbatasan akses dan mobilitas warga negara.

Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) misalnya, menjadikan individu tak dapat lagi bergerak secara bebas. Beberapa instansi baik negeri maupun swasta dibatasi kegiatannya.

Hal ini menjadikan kegiatan perekonomian tidak berjalan sebagaimana biasanya. Banyak buruh yang kehilangan pekerjaan. Banyak orang kehilangan penghasilan. Pendeknya, banyak yang mendadak jadi pengangguran.

Bahkan, ada situasi dimana warga mati karena tak bisa makan. Kondisi ini menjadikan mereka ada pada situasi rentan. Jika hal tersebut ditambah dengan kebijakan “pengeluaran” narapidana/warga binaan dari rutan dan lapas, tentu menambah kepanikan.

Mereka khawatir jika keselamatan mereka terancam. Sangat manusiawi. Sebenarnya, skema dalam Permenkumham terkait pengeluaran narapidana sangat beraneka.

Ada yang disebut sebagai asimilasi, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, serta pembebasan bersyarat. Satu dan yang lainnya memiliki skema dan prosedur yang berbeda.

Bagi khalayak umum, semua skema itu tak dipersepsi beda. Yang mereka lihat adalah kesemua skema berujung pada keluarnya narapidana dari penjara. Dus, itu adalah ancaman yang nyata bagi mereka. Untuk itu, Pemerintah perlu pendekatan yang proporsional dan terukur dalam menyikapinya.

Pendekatan Ham dan Keamanan Negara

Setidaknya, terdapat dua opsi pendekatan yang dapat dipilih. Di satu sisi ada pendekatan hak asasi (HAM), di sisi lainnya, ada pendekatan keamanan negara.

Keduanya, harus dijalankan secara proporsional. Berpijak pada pendekatan HAM, setiap narapidana haruslah dipandang sebagai manusia.

Sebagai manusia, ia akan dilekati serangkaian hak yang harus juga dihormati, dilindungi serta dipenuhi keberadaannya terutama oleh negara. Ia memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.

Termasuk hak mereka untuk mendapat keringanan tertentu melalui program asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas maupun cuti bersyarat.

Di sisi lainnya, terdapat kepentingan negara untuk menjaga keamanan. Pengeluaran ribuan narapidana di tengah bencana dan ketidakpastian, sekecil apapun, tentu memiliki potensi ancaman.

Negara berkewajiban untuk mengurangi potensi bahaya yang ada. Negara berkeharusan melindungi keamanan warga negara lainnya. Pendekatan dari sisi keamanan ini sangat diperkenankan. Apalagi, jika hal ini terkait pula dengan aspek kesehatan.

Dari perspektif ini, negara bahkan dapat menunda kebijakan untuk mengeluarkan narapidana atau warga binaan dari lapas maupun rutan jika dipandang akan berakibat pada gangguan ketertiban. Namun, dalam menjalankannya, pemerintah tetap dituntut untuk bertindak proporsional.

Menemukan Titik Keseimbangan

Keseimbangan akan terjadi jika setiap aspek diperhatikan. Pilihan terhadap kebijakan mana yang akan diterapkan haruslah di dahului dengan ketersediaan data yang memiliki keterandalan (reliable).

Disamping itu, pemerintah juga harus bersikap terbuka terhadap berbagai masukan. Hal penting yang tak dapat dikesampingkan juga, terdapat berbagai macam peraturan perundangan yang wajib diperhatikan.

Terakhir, berbagai skema juga harus disiapkan guna mengantisipasi dampak kebijakan di lapangan. Pendeknya, hak asasi dari para terpidana harus dipertimbangkan secara bersama-sama dengan kesadaran akan adanya potensi gangguan keamanan.

Assesment yang ketat dan transparan harus diperlakukan kepada narapidana dan para tahanan. Hal ini digunakan untuk memilah jenis kejahatan yang dilakukan serta menutup peluang bagi penjahat kambuhan.

Transparansi proses menjadikan setiap aturan main dapat dipahami oleh semua. Tak ada pihak yang bermain pungli dalam sunyi dan memanipulasi demi keuntungan pribadi.

Sekaligus, hal ini menegaskan siapa yang bakal bertanggung jawab dan hukuman apa yang akan di dapat jika terjadi permainan pat gulipat. Sayang, Permenkumham 10/2020 memiliki banyak ruang diskresi.

Misalnya, Dalam hal pemberian persetujuan asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, persetujuan manual tetap bisa dilakukan jika penerapan sistem informasi tidak dapat dilakukan.

Hal ini rawan akan penyelewengan. Indikasinya, dugaan pungli terhadap napi maupun tahanan ramai diberitakan. Meski disangkal Kemenkumham, tidak menutup  kemungkinan bahwa penyimpangan ini terjadi di lapangan.

Tentu hal ini tak dapat dibiarkan tanpa adanya pengawasan. Sanksi yang lebih tegas dan keras harus diberikan pada mereka, baik terhadap napi asimilasi yang melakukan kejahatan kembali maupun terhadap para petugas yang memanfaatkan situasi.

Sementara itu, skema bantuan bahan pokok termasuk makanan juga mesti disiapkan. Bantuan ini harus menyasar mereka baik napi dan tahanan yang dilepaskan maupun pada masyarakat miskin dan rentan.

Dengan demikian, kebijakan ini akan mendapatkan legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat. Masyarakat tak lagi memandang kebijakan pelepasan napi dan tahanan sebagai upaya berlepas tangan dan menambah kepanikan, apalagi momentum untuk mencuri-curi kesempatan.

Melainkan, hal ini lebih didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan. Tentu, tanpa mengabaikan sama sekali aspek keamanan. Tepat atau tidaknya pilihan kebijakan, waktulah kelak yang akan membuktikan.

Oleh : Haidar Adam
Penulis adalah Dosen pada Departemen Hukum Tata Negara sekaligus Koordinator Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum (UKBH) Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR).

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker