Sejarah Tsunami di Selat Sunda

Abadikini.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya MIneral angkat bicara perihal aktivitas gunung anak krakatau yang disebut menjadi pemicu terjadinya tsunami di Selat Sunda, khususnya di daerah Pandenglang, Lampung Selatan, dan Serang.

Melalui keterangan resmi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian ESDM, Minggu (23/12/2018) tak memungkiri, terjadi letusan gunung anak krakatau pada 22 Desember 2018

Secara visual, teramati bahwa letusan memilki tinggi asap berkisar 300 – 1500 meter di atas puncak kawah. Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale 88 m. Kejadian tersebut terjadi pada pukul 21:03 WIB.

“Pertanyannya, apakah tsunami tersebut ada kaitannya dengan aktivitas letusan? Hal ini masih didalami. Karena ada beberapa alasan untuk bisa menimbulkan tsunami,” tulis keterangan PVMBG Kementerian ESDM.

Berdasarkan sejarah, di Selat Sunda telah berkali-kali terjadi bencana tsunami yang tercatat dalam katalog tsunami. Tsunami yang terjadi ini disebabkan oleh beberapa fenomena geologi, di antaranya erupsi gunung api bawah laut Krakatau yang terjadi tahun 416, 1883, dan 1928; gempa bumi pada tahun 1722, 1852, dan 1958; dan penyebab lainnya yang diduga kegagalan lahan berupa longsoran baik di kawasan pantai maupun di dasar laut pada tahun 1851, 1883, dan 1889.

Kondisi tektonik Selat Sunda sangat rumit, karena berada pada wilayah batas Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia, tempat terbentuknya sistem busur kepulauan yang unik dengan asosiasi palung samudera, zona akresi, busur gunung api dan cekungan busur belakang. Palung Sunda yang menjadi batas pertemuan lempeng merupakan wilayah yang paling berpeluang menghasilkan gempa-gempa besar. Adanya kesenjangan kegiatan gempa besar di sekitar Selat Sunda dapat menyebabkan terakumulasinya tegasan yang menyimpan energi, dan kemudian dilepaskan setiap saat berupa gempa besar yang dapat menimbulkan tsunami….

Sepanjang sejarah letusan, busur gunung api bawah laut Krakatau telah mengalami empat tahap pembangunan dan tiga tahap penghancuran. Setiap tahap penghancuran mengakibatkan terjadinya tsunami dengan kemungkinan potensi peristiwa serupa akan terjadi antara tahun 2500 hingga 2700.  Kondisi geologi dasar laut Selat Sunda yang labil, terutama disebabkan oleh perkembangan struktur geologi aktif yang membentuk terban, juga berpotensi menimbulkan bencana longsor apabila dipicu oleh gempa bumi. Sementara kondisi topografi pantai yang relatif terjal dengan  tingkat pelapukan yang tinggi di sekitar Teluk Semangko dan Teluk Lampung,  merupakan faktor lain yang dapat menimbulkan bencana longsor terutama apabila dipicu oleh curah hujan yang tinggi . Lebih jauh lagi, bahwa apabila material longsoran jatuh ke laut, meskipun sangat kecil dan bersifat lokal dapat juga berpotensi mengakibatkan tsunami.

Pada tahun 1883, di Kawasan Selat Sunda terjadi letusan Gunung Api Krakatau. Peristiwa bersejarah ini telah menarik seluruh perhatian dunia, karena material yang dimuntahkannya telah memicu terjadinya tsunami yang melanda sebagian Sumatera bagian selatan dan Jawa Barat bagian barat, sehingga menewaskan lebih kurang 36.000 jiwa manusia.

Berdasarkan katalog tsunami yang ditulis oleh Soloviev dan Go (1974), telah tercatat adanya beberapa kali peristiwa bencana tsunami di Selat Sunda. Di dalam katalog dijelaskan bahwa tsunami tersebut dipicu salah satunya oleh erupsi gunung api yang pernah terjadi pada tahun 416 terekam dalam sebuah kitab Jawa yang berjudul  Pustaka Raja (“Book of Kings”), yang diduga sebagai gunung api Krakatau kuno. Setelah peristiwa erupsi gunung api bawah laut Krakatau di tahun 1883, erupsi-erupsi kecil berlangsung pada tahun 1884, menghasilkan tsunami kecil yang teramati di sekitar Selat Sunda. Peristiwa yang sama kembali terjadi pada tahun 1928, dan tsunami kecil teramati sekitar Gunung Api Anak Krakatau. Dalam katalog tersebut juga dijelaskan bahwa tsunami pernah teramati setelah adanya peristiwa gempa bumi yang berpusat di dasar laut, di antaranya pada tahun 1722, 1757, 1852, dan 1958.

Katalog tersebut juga merekam adanya kenaikan muka air laut yang diduga sebagai tsunami kecil bersifat lokal, teramati di beberapa kawasan pantai dengan penyebab yang belum diketahui, yaitu pada tahun 1851, 1883 (dua bulan setelah peristiwa erupsi Gunung Api Krakatau) dan 1889. Diduga bahwa peristiwa geologi lainnya yang menjadi penyebab terjadinya tsunami di Selat Sunda, selain erupsi gunung api dan gempa bumi bawah laut, adalah peristiwa longsoran di kawasan pantai dan di dasar laut.

Data Kejadian Tsunami berdasarkan Katalog Soloviev dan Go, 1974

Tahun 416 : Kitab Jawa yang berjudul “Book of Kings” (Pustaka Radja), mencatat adanya beberapa kali erupsi  dari Gunung Kapi , yang menyebabkan naiknya gelombang laut dan menggenangi daratan, dan  memisahkan P. Sumatera dengan P. Jawa. Gunung Kapi ini diyakini sebagai Gunung api Krakatau  saat ini.

Oktober 1722 : 8:00 terjadi gempa bumi kuat di laut, yang dirasakan di Jakarta dan menyebabkan air laut naik  seperti air mendidih.

24 Agustus 1757 : 2:00, Gempa bumi yang kuat dirasakan di Jakarta kurang lebih selama 5 menit. Pada 2:05, selama   goncangan yang terkuat, angin dirasakan berasal dari timur laut. Air sungai Ciliwung meluap naik  hingga 0,5 meter dan membanjiri Kota Jakarta.

4  Mei 1851 :  Di Teluk Betung, di dalam Teluk Lampung di pantai selatan pulau Sumatera, teramati  gelombang  pasang naik 1,5 m di atas air pasang biasanya.

9 Januari 1852 : Segera setelah 18:00, dirasakan gempabumi yang menyebar dari bagian barat Jawa hingga bagian  selatan Sumatera, dirasakan juga di Jakarta, dan gempa-gempa susulannya dirasakan pula di Bogor  dan Serang. Pada  20:00 terjadi fluktuasi air laut yang tidak seperti biasanya.

27 Agustus 1883 : 10:02, terjadi erupsi yang sangat dahsyat dari gunung api Krakatau, yang diikuti oleh gelombang  tsunami. Ketinggian tsunami maksimum teramati di Selat Sunda hingga 30 meter di atas permukaan  laut, 4 meter di pantai selatan Sumatera, 2-2,5 m di pantai utara dan selatan Jawa, 1,5-1 m di  Samudera Pasifik hingga ke Amerika Selatan. Di Indonesia sebanyak 36.000 orang meninggal dunia.

10 Oktober 1883 : Di Cikawung di pantai Teluk Selamat Datang, teramati gelombang laut yang membanjiri pantai sejauh  75 m.

Februari 1884 :  Lima bulan setelah kejadian erupsi Gunung api Krakatau, tsunami kecil teramati di sekitar Selat  Sunda, diakibatkan oleh suatu erupsi gunung api.

Agustus 1889  :   Teramati kenaikan permukaan air laut yang tidak wajar di Anyer, Jawa Barat

26 Maret 1928 : Kejadian erupsi gunung api Krakatau diiringi oleh kenaikan gelombang laut yang    teramati di beberapa tempat di sekitar wilayah gunungapi.

22 April 1958 : 5:40, dirasakan gempa bumi di Bengkulu, Palembang, Teluk Banten dan Banten yang diiringi dengan kenaikan permukaan air laut yang meningkat secara berangsur.

Sumber: Jurnal Geologi Indonesia.

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker