Inilah 5 Alasan Dasar Logikanya Presesidential Threshold Harus 0%

abadikini.com, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah sampai dengan sekarang belum juga bisa merampungkan Pembahasan RUU Pemilu hingga hari ini, Selasa, (11/7/2017) dan besok, Rabu (12/7/2017) akan dilanjutkan pembahsannya sampai kata sepakan diperkirakan akan pada rampung pada 20 Juli 2017 pekan depan. Dari lima isu krusial itu diketahui terdapat Salah satu isu yang paling terkendala dalah penentuan angka presidential threshold atau syarat dalam pencalonan presiden oleh partai politik. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri bersikeras mempertahankan ambang batas pencalonan presiden pada kisaran 20-25%.

Sementara, 10 fraksi di parlemen, terpecah menjadi dua besar. Dari yang awalnya menolak adanya ambang batas, kini menyeberang mendukung pemerintah. Hanya tiga parpol yang konsisten mendukung penghapusan presidential threshold, yakni Gerindra, Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Menurut pakar kukum tata negara, mantan ketua Mahkamah Konstitusi dan beberapa pengamat atas banyaknya fraksi yang mendukung presidential threshold, sangat memprihatinkan. Selain menjadi gejala kemunduran demokrasi, juga menurunkan kualitas pemilihan umum.

Berikut Lima alasan logis dan masuk akal dari pakar hukum tata negara, mantan ketua MK dan para pengamat mengapa presidential threshold harus 0%.

Pakar hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra

(1). Inkonstitusional

Undang-undang tentang Pemilu nantinya dinilai inkonstitusional jika tetap mengatur ambang batas pencalonan presiden presidential threshold. Pasalnya, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden (Pilpres) digelar serentak mulai tahun 2019 sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Undang-undang yang inkonstitusional, jika dijadikan dasar pelaksanaan Pilpres, akan melahirkan presiden yang inkonstitusional juga,” kata Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra di Jakarta Minggu, (9/7/2017).

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Periode 2013-2015

(2). Demokrasi Semakin Bagus

Tanpa presidential threshold, justru akan lebih bagus untuk dunia demokrasi Indonesia. Sebab, masyarakat akan memiliki banyak pilihan calon presiden (capres).

“Jadi, sebenarnya, membuka kemungkinan banyak calon bagus juga untuk demokrasi. Tergantung cara pandangnya bagaimana? Tergantung cara kita melihat. Kalau saya melihat dengan membuka peluang setiap parpol berhak untuk mengajukan pasangan calon, itu demokrasi semakin bagus,” ujar Hamdan di Kampus Universitas Padjadjaran, Kota Bandung, Senin (10/7/2017).

(3.) Muncul Calon Tunggal

Bahaya pertama dari tetap diadakannya ambang batas calon presiden adalah kemunculan calon tunggal. Pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio menilai jika pemerintah tetap ngotot dengan ambang batas 20% untuk pemilu serentak 2019, dampaknya bisa banyak menggagalkan calon presiden.

“Kalau pemerintah ngotot di angka 20 persen dampaknya bisa banyak menggagalkan calon presiden ya,” ujarnya di Jakarta beberapa waktu lalu.

Jika berkaca pada pemilu sebelumnya, sambungnya, pemilihan legislatif dilaksanakan terlebih dahulu sebelum pemilihan presiden. Konsekuensinya, parpol bisa berkoalisi dan berkonsolidasi sebelum menghadapi Pilpres.

Namun, kini dengan adanya pemilu serentak maka partai politik harus mulai berkoalisi sejak awal. Bahkan, bukan tidak mungkin pada pilpres nanti akan terjadi fenomena calon tunggal.

“Kalau dengan kasus yang sekarang harus berkoalisi mulai sekarang. Dan jika akhirnya ditetapkan ambang batas 20 persen bisa jadi calon tunggal,” tuturnya.

(4). Mengebiri Kemunculan Capres Potensial

Alasan utama presidential threshold harus ditolak ialah karena penerapannya tidak realistis untuk pemilu serentak 2019. Pakar hukum dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mustolih Siradj mengatakan, angka 20-25 persen yang diusulkan pemerintah tidak realistis.

Sebab akan menutup pintu bagi hadirnya calon-calon alternatif. “Harus dicari jalan keluar yakni dengan mencari angka presidential threshold yang lebih realistis dan relevan dengan situasi dan mekanisme politik mutakhir,” terangnya.

(5). Strategi Langgengkan Kekuasaan Partai Besar

Para pendukung ambang batas pencalonan presiden mengatakan, ketentuan itu tetap mungkin terjadi jika memakai hasil pemilihan legislatif 2014. Hal tersebut pun dinilai sebagai kekhawatiran dari partai-partai besar atas parpol baru.

“Ya pasti ada kekhawatiran. Mungkin begini kalau selama ini ada dominasi dalam artian yang punya kesempatan adalah partai-partai besar sehingga capres dan cawapresnya dari partai-partai besar,” ujar Ketua Kode Inisiatif, Veri Junaidi belum lama ini di Jakarta. (gn.ak)

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker