Heboh Pernyataan dr. Lois Owien, Sekjen APBI: Narasinya Provokatif dan Menyesatkan

4. Plandemi vs Pandemi
“Untuk persoalan ini, saya sungguh tidak bisa berkomentar, tapi saya berpikir positif dan berkeyakinan bahwa, tidak ada plandemu atau pandemi yang direkayasa dalam konteks pandemi Covid-19 yang ada di Indonesia.

Secara pribadi, saya sangat percaya dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Jokowi beserta para menterinya, Gubernur, Bupati/walikota, para anggota DPR pusat hingga daerah.

Mereka telah bekerja dengan sungguh-sungguh dalam penanganan dan penanggulangan pandemi ini. Bahwa masih ada beberapa kepentingan-kepentingan dari pihak tertentu seperti kepentingan bisnis obat dan vaksin, tentu pemerintah harus hadir untuk segera mengatasinya,” sambung Rahman.

5. Kematian Di RS Karena Interaksi Obat
“Pernyataan ini yang sangat fatal. Lois mengatakan bahwa, kematian di rumah sakit bukan kematian akibat virus, melainkan kematian akibat interaksi obat dengan menggambarkan bahwa, setiap dokter spesialis memberikan obat sendiri-sendiri sesuai spesialisasinya. Pernyataan ini membuktikan bahwa, yang bersangkutan tidak update atas perkembangan ilmu pengobatan modern.

Saya sangat menentang pernyataan ini. Jika ada pasien dengan penyakit komplikasi, maka para dokter spesialis terkait, kumpul bersama, lalu diteliti akar persoalan dan sumber utama penyakit pasien tersebut, untuk menentukan obat yang tepat dengan efek samping dan kemungkinan interaksi obat yang telah dipertimbangkan sehingga tujuan terapi dapat tercapai. Saya yakin bahwa, pemberian obat di rumah sakit itu sudah on the track,” urainya.

6. Vaksin Tidak Perlu
“Pernyataan dr. Lois bahwa vaksin tidak perlu adalah pernyataan ngawur. Kita tahu bahwa pemberian vaksin adalah bertujuan untuk mencapai herd immunity atau imunitas komunal.

Keadaan ini dicapai, apabila 70% penduduk sudah kebal terhadap virus tertentu dalam hal ini virus corona. Perlu dipahami bersama bahwa, imunitas ini tidak hanya dicapai oleh pemberian vaksin, tetapi juga diperoleh setelah seseorang menjadi penyintas Covid-19, artinya pernah terpapar dan sembuh.

Jadi dalam hal ini saya sepakat dengan Ibu Siti Fadilah Supari bahwa, perlu ada dapur khusus di Kementrian Kesehatan yang bertugas menggali dan mengolah data secara komprehensif dalam rangka percepatan pencapaian imunitas komunal ini.

Perlu digali dengan benar berapa jumlah warga yang telah divaksin, jumlah warga yang memperoleh kekebalan alami, karena menjadi penyintas covid-19 dan berapa banyak yang belum di-vaksin dan belum jelas statusnya.

Untuk kelompok warga yang belum jelas statusnya ini perlu dilakukan skrining melalui tracing yang masif di tingkat pemerintahan yang paling bawah, yakni desa/kelurahan bahkan RT/RW.

Hasilnya, bagi mereka yang positif, maka pilihannya adalah isolasi mandiri dan/atau karantina, tergantung penilaian dokter atau Nakes yang memeriksanya. Bagi mereka yang hasil tracingnya negatif, maka langsung disuntik vaksin jika keadaannya memungkinkan tanpa adanya penyakit co-morbid.

Jadi herd immunity tercapai, manakala jumlah penduduk yang sudah divaksin ditambah dengan jumlah penduduk yang kebal secara alamiah karena menjadi penyintas sudah mencapai 70% dari seluruh penduduk,” lugasnya dengan mimik yang serius.

Lebih lanjut, Pemilik Apotek Jaringan di beberapa daerah di Jawa Timur ini memaparkan bahwa, data dan informasi yang dibutuhkan dalam pencapaian imunitas komunal ini benar-benar harus disiapkan, dan dihitung dengan benar sebagai landasan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan yang benar pula.

“Dengan informasi data yang shahih, diharapkan kebijakan dan keputusan yang diterbitkan dalam penanganan pandemi ini benar-benar komprehensif, terarah, sistemik dan berdampak secara nasional,” tutup Abdur Rahman.

Laman sebelumnya 1 2 3
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker