Panorama Sosial-Ekonomi, Urgensi Memperpanjang Otsus Papua

SUDAH sekian lama masyarakat dan daerah Papua tertinggal secara sosial-ekonomi dibanding lainnya di tengah Nusantara ini. Itulah catatan faktual Papua sejak masuk ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) per 1 Mei 1963 hingga kini. Nestapa ketertinggalan Papua perlu kita garis bawahi, bukan hanya persoalan kemanusiaan yang sangat tidak adil, tapi menjadi penggerak reaktif kekecewaan, sehingga sering terjadi letupan-letupan politik separatis. Setidaknya, sejumlah pihak tertentu mengeksplotasi kemiskinan Papua untuk kepentingan politik piciknya.

Sebuah renungan, apakah panorama ketertinggalan Papua akan dibiarkan terus? Dalam hal ini perlu kita catat, Papua yang kaya raya dengan sumber daya alam dan mineralnya, sangat subur tanahnya bagai “bongkahan” dari surga, sangat elok dan strategis posisinya bukanlah komoditas ekonomi dan politik yang harus dibiarkan dieksploitase secara terus-menerus tanpa batas. Masyarakat dan daerah Papua berhak sejahtera dan maju, dapat menikmati seperti masyarakat dari daerah-daerah lainnya.

Tapi realitas bicara. Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) mutakhir, setidaknya sepanjang periode 2015-2019, angka kemiskinannya mencapai 27,53% (meningkat 2,76 juta orang). Data ini menunjukkan Papua hingga kini tertinggi prosentasi kemiskinannya.

Sementara itu, pengangguran terbuka selama periode 2015-2019 mencapai 3,65%, sedikit turun dari setahun sebelumnya (3,99%). Menyedihkan dan sangat irasional jika diperhadapkan dengan topografi wilayah Papua yang kaya-raya SDA dan mineralnya, subur tanahnya, serta sangat potensial ekonomi kelautan dan kehutanannya. Di balik panorama paradoks ini, menimbulkan pertanyaan yang mendasar, apa yang keliru dengan Papua?

Memang, banyak analisis muncul, di antaranya faktor manusia dan budaya Papua yang kurang responsif terhadap kebutuhan kemajuan (kesejahteraan). Analisis ini terkategori faktual, meski tidak seutuhnya benar. Justru faktor determinan dari panorama keterbelakangan sosial-ekonomi Papua harusnya menjadi keterpanggilan Pemerintah Pusat untuk turun secara progresif sebagai bentuk nyata kemauan politik sekaligus pertanggungjawaban moral atas kembalinya Papua ke pangkuan NKRI.

Kemauan politik yang esktra itu harus diterjemahkan dalam bentuk kebijakan yang responsif terhadap tuntutan atau keinginan kemajuan dan atau kesejahteraan masyarakat Papua, bukan “menganaktirikan”. Perlu keseriusan secara implementatif, bukan kebijakan kamuflatif, apalagi kepeduliannya (pembangunan kemajuan dan kesejahteraan Papua) dijadikan ajang sampling politik pencitraan.

Dalam kaitan itu kita saksikan, pemerintah melalui UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, menggambarkan kepedulian Pemerintah Pusat, di samping dukungan politik legislasi dari DPR RI. Seperti kita ketahui, UU Otsus Papua ini dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, mempercepat pembangunan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain, di samping bertujuan untuk menghormati keberadaan HAM bagi masyarakat Papua dan penegakan supremasi hukum.

Perlu kita catat, lahirnya UU Otsus Papua merupakan jawaban politik pembangunan atas kesenjangan yang terjadi pada semua sektor kehidupan masyarakat Papua, terutama di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial-politik, dan kebudayaan.

Dari kelahiran UU Otsus Papua itulah lahir alokasi anggaran. Data dari Kementerian Keuangan mencatat, sejak dikeluarkan UU Nomor 21 Tahun 2001, Pemerintah Pusat telah mengucurkan dana otonomi khusus (otsus) dengan total Rp 126,9 triliun. Gelontoran dana yang demikian besar ini harusnya mampu mendongkrak kemajuan daerahnya, sekaligus mengurangi jumlah angka kemiskinan.

Tapi, realitas existing ketertinggalan sosial-ekonomi Papua sebagai masyarakat atau daerah menunjukkan ada something wrong. Inilah yang kemudian memunculkan catatan banyak pihak melakukan koreksi, apakah memang ada indikator penyalahgunaan anggaran, atau ada kebijakan setengah hati dari Pusat.

Banyak spekulasi muncul. Dan kedua faktor itu memang terjadi. Di sisi, Pusat tampak belum melepaskan “ekornya” secara utuh. Masih  sering terjadi Tarik-ulur antara Pusat dengan Papua. Di sisi lain  lagi, tak sedikit penyelenggara pemerintahan Papua suka “bermain-main” dengan anggaran. Sebagai catatan, ilustratif, pernah terjadi dana sebesar Rp 1,8 trilyun cukup lama “diparkir” di Bank Papua atas nama Provinsi Papua.

Mengapa tidak segera digelontorkan untuk program riil, terkait kesehatan, pemberdayaan ekonomi mikro, atau lainnya? Permainan “nakal” ini jelas arahnya: mencari bunga deposito. Dan itu akan dinilai positif jika marginnya kembali sebagai pendapatan daerah. Justru persoalannya adalah ada aksi untuk kepentingan pribadi.

Karena itu, sebagian masyarakat Papua yang ada dalam dan di luar Tanah mengkritisi perilaku pejabata daerah yang nakal itu. Dan secara ekstrim, di antara mereka menilai tidak perlu lagi UU Otsus Papua, karena cenderung menjadi bancakan. Kelompok ini dengan sendirinya tak sejalan dengan pandangan masalah revisi UU Otsu yang kini sedang bergulir di DPR RI sebagai konsekuensi masa berakhirnya UU Otsus Papua pada 2021 ini

1 2Laman berikutnya

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker