Ekuilibrium Teologi Pandemi di Jawa Timur

SAAT ini dunia sedang berada dalam pelangi gagasan dan sikap terhadap pandemi global Covid-19 yang berasal dari kota Wuhan Cina, sebuah metropolitan tua yang terletak di lembah sungai Yang Tse di Tiongkok Tengah. Kota Wuhan merupakan kota terpadat di RRC dan diformat sebagai kota pusat pengembangan biomedis untuk seluruh Tiongkok.

Sikap masyarakat global terhadap pandemi covid-19 beraneka ragam, ada yang mematuhi protokol WHO dan ada yang tidak mematuhinya. Ada yang patuh pada pemerintah negaranya dan ada yang tidak patuh pada pemerintah negaranya.

Belum ada survey ilmiah tentang angka kepatuhan masyarakat terhadap protokol WHO maupun protokol pemerintahan negaranya, tapi pemberitaan media arus utama menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat patuh terhadap protokol Covid-19, hanya sedikit yang covidiot.

Namun media sosial terutama kiriman video di berbagai platform media sosial menunjukkan hal yang jauh berbeda dengan pemberitaan media arus utama.

Banyak atraksi ketidakpatuhan bahkan penolakan tegas terhadap protokol WHO maupun protokol pemerintah negara-negara dan sebagian besar terjadi di kalangan masyarakat beragama.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tahun 2012 silam muncul data kasar dari adherents.com tentang komposisi penganut agama-agama di dunia.

Di mana lebih dari 1,2 milyar jiwa manusia di dunia tidak beragama dan sekitar 800 juta jiwa lebih menganut agama tradisional/agama etnis/agama lokal semacam kejawen, wiwitan, kaharingan dll.

Di mana sebagian cendikiawan agama arus utama menolak klasifikasi tersebut, menurut mereka agama tradisional/lokal/etnis bukanlah agama, namun kebudayaan atau bolehlah disebut spritualitas.

Para cendikiawan agama arus utama menegaskan bahwa yang disebut agama hanyalah agama transnasional yang selama ini berkembang pesat melintasi batas-batas negara dan benua, antara lain kristen, islam, yahudi, buddha, hindhu, kong hu chu, tao dan sikh, selain itu dianggap bukan agama.

Okelah kita jangan ikut terjebak dalam perbedaan pendapat antar cendikiawan tersebut, mari kita bagi pemeluk agama di dunia menjadi pemeluk agama transnasional dan pemeluk agama lokal.

Atau kita ubah menjadi pemeluk agama transnasional dan pemeluk kepercayaan lokal, sebab kalau kita memaksasakan diri memakai terminologi agama untuk kaum penganut spiritualitas lokal tersebut, bisa-bisa kita distempel kafir.

Rata-rata kelompok masyarakat yang punya masalah dengan protokol covid-19 adalah kelompok masyarakat beragama, mereka menganggap orang yang patuh kepada protokol covid-19 sebagai orang yang tipis iman, kurang percaya Tuhan dan sebagainya.

Para penganut agama yang selalu mengkaitkan protokol penanganan bencana dengan teologi rata-rata adalah kelompok determinis atau fatalis, yang dikalangan umat islam disebut kaum jabariyah.

Mereka meyakini bahwa manusia hanya robot, alam semesta hanyalah robot, semua sudah diatur oleh sang pencipta robot-robot tersebut, tidak akan terinfeksi virus kalau pencipta tidak menghendaki, tidak akan mati akibat virus jika belum ajal, jalani saja kehidupan sehari-hari sebagaimana biasanya, pasrahkan pada pencipta, waktunya mati ya biar mati, itu berarti sudah ajal.

Lawan dari kelompok determinis tersebut adalah kelompok indeterminis yang dalam islam disebut kelompok Qadariyah. Mereka meyakini bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan free will, kehendak bebas, otonomi penuh.

Tuhan hanya menciptakan, memberinya akal kemudian membiarkan manusia menjalankan hidupnya dengan kekuatan akal, Tuhan tidak intervensi sama sekali, jadi kalau manusia tidak berupaya dengan kekuatan IPTEK-nya maka manusia akan habis dilalap oleh bencana Covid-19 ini.

Perdebatan keras antara kaum determinis melawan kaum indeterminis terjadi kemarin saat Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyelenggarakan kegiatan Khotmil Qur’an 2020 kali dalam rangka Peringatan Nuzulul Qur’an juga sebagai bagian dari ikhtiar bathin melawan Covid-19.

Sebetulnya jauh sebelum itu, kaum indeterminis selalu mengkritik istighotsah-istighotsah kubro yang digelar oleh NU, mereka sebut istighotsah bukanlah solusi yang paling tepat untuk menangani permasalahan umat saat ini.

Namun kegiatan Pemprov Jawa Timur kemarin itu benar-benar menjadi gong yang luar biasa karena berlangsung spektakuler diikuti oleh 17 orang bupati/walikota, yang berarti para kepala daerah itu determinis semua.

Di sebuah grup WA, tokoh aktivis Jawa Timur, Yok A Zakaria mengatakan bahwa kegiatan dzikir bersama, doa bersama atau apapun bentuknya digelar dalam rangka menutupi kegagalan pimpinan pemerintahan dalam mengadministrasikan keadilan.

Sementara di grup WA lain, tokoh masyarakat surabaya, Wahyu Cahyonegoro mengatakan bahwa masyarakat indonesia over dosis doa dan dzikir namun lemah IPTEK sehingga selalu gagal dan kalah dalam berbagai dimensi kehidupan.

Sebetulnya kalau kita membuka kembali kompilasi teks otoritatif Islam, dalam agama Islam ada sebuah aliran teologi yang merupakan aliran jalan tengah atau aliran ekuilibrium.

Teologi tersebut disebut Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang kerap disingkat Aswaja. Teologi ini dianut oleh sebagian besar masyarakat indonesia baik pengikut ordo Nahdliyyin maupun di luar ordo tersebut.

Dalam teologi Aswaja, manusia harus selalu berjalan melintasi sebuah garis ekuilibrium, garis keseimbangan, antara lain keseimbangan antara ibadah ritual dengan ibadah sosial, keseimbangan antara dzikir dengan fikir, keseimbangan antara doa dengan ikhtiar dan sebagainya.

Ekuilibrium ini ditekankan secara doktrinal sejak anak-anak indonesia masih berada di bangku SD ataupun MI dengan pepatah “Doa tanpa Usaha adalah Sia-Sia dan Usaha tanpa Doa adalah Sombong”.

Sebuah pepatah sederhana namun menunjukkan dengan jelas bahwa masyarakat indonesia yang sebagian besar menganut teologi Aswaja tidak akan pernah menjauhkan Pendayagunaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dengan ritual agama.

Ritual agama bagi masyarakat indonesia adalah segendang sepenarian dengan pendayagunaan IPTEK, karena ritual agama tanpa pendayagunaan IPTEK adalah sia-sia sedangkan pendayagunaan IPTEK tanpa ritual agama adalah sombong.

Protokol kesehatan dalam penanganan wabah Covid-19 yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) maupun oleh Pemerintah Republik Indonesia merupakan bagian dari pendayagunaan IPTEK untuk keselamatan umat manusia.

Dalam teologi Aswaja, pendayagunaan IPTEK tersebut merupakan bagian dari ikhtiar manusia dalam memperjuangkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Aswaja adalah teologi yang tidak resisten terhadap pengembangan dan pendayagunaan IPTEK.

Namun Aswaja meyakini bahwa manusia hanya bisa berusaha namun sang Maha Pencipta yang menentukan hasilnya (transenden), oleh karena itu manusia harus mengimbangi semua ikhtiar IPTEK tersebut dengan ritual doa (antroposentrisme transendental).

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU tentu mengaktualisasikan Manhajul Fikr Aswaja dengan baik, sehingga ikhtiar fisik dalam menanggulangi penyebaran Covid-19 selalu diimbangi dengan ikhtiar batin berupa doa, riyadlhah, dzikir, sholawatan, khotmil Qur’an dan sebagainya. Dan sebagai kader PMII beliau melaksanakan trilogi PMII dengan baik, yaitu dzikir fikir dan amal sholeh.

Jadi kalau Wahyu Cahyonegoro menyebut kegiatan doa dan dzikir ala NU itu sebagai overdosis doa, saya menyebut itu belum overdosis, semua masih dalam dosisnya masing-masing, karena ikhtiar rasional dijalankan dengan maksimal oleh Gubernur Jawa Timur.

Oleh : Firman Syah Ali
Penulis adalah Pengurus Harian LP Ma’arif NU, Bendahara Umum IKA PMII, BPO HKTI, Ketua PK Sahabat Mahfud Jawa Timur.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker