Buta Terburuk adalah Buta Politik!

BUTA yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.”

Lanjutnya…

“Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri.”

Begitu sindir Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman yang hidup di abad ke-19 (1898-1956).

Bernas dan tajam kritik sosial sang penyair. Kesadaran bernegara, yang dalam pemahaman klasik Aristotelian politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonnum commune). Sayangnya kesadaran seperti ini belum meluas dan mengakar dalam tradisi kita. Tak bisa dipungkiri masih cukup banyak segmen masyarakat kita yang alergi dengan politik.

Sikap alergi politik ini bisa dimengerti. Lantaran minimnya teladan baik dari para politisi itu sendiri. Gejala alergi politik ini mesti diakui sudah cukup akut (parah) dan kronis (menahun). Setelah alergi politik muncuk apatisme, sikap pasrah, terserah aja lah…emang gue pikirin? situasi jadi tambah parah dengan munculkan gejala oportunisme politik. Asal ada duit gue pilih deh. Politik uang merebak, membuat kepercayaan pada politik itu sendiri tambah terpuruk.

Baru-baru ini Jakarta kebanjiran. Lalu kritik sosial politik pun meluncur ke arah administrasi pemerintahan daerah. Ada yang setuju, ada pula yang sinis dan bilang, “…sudahlah jangan banyak kritik, ini soal bencana kok, lakukan pertolongan warga dan kirim bantuan saja!” Naif sekali. Dianggapnya banjir ibu kota ini cuma fenomena aksidentalia, tanpa latar belakang yang lebih substantif di kebijakan-kebijakan politik pemerintah daerah sebelum katastropi ini terjadi.

Citra Politik Baik Perlu Dikembalikan.

Untuk itu dibutuhkan kekuatan politik baru yang bisa dipercaya untuk mengembalikan politik ke tempat yang terhormat. Butuh suatu proses konsientisasi (penyadaran kembali) bahwa politik itu sesungguhnya adalah sebuah tugas mulia untuk mewujudkan kebahagiaan bagi semua orang.

Sengkarut politik hari ini mesti dikembalikan pada hakekat nilai politik yang sesungguhnya luhur. Upaya mendekatkan kembali politik dengan nilai-nilai kebajikan agar lahir negarawan yang seluruh pikiran dan tindakannya didasarkan atas kepentingan yang lebih besar untuk bangsa dan negara Indonesia, bukan sekadar kepentingan pribadi politik jangka pendek.

Untuk itu perlu terobosan. Kita perlu mesin politik baru,  kehadiran sebuah partai politik yang punya visi, misi, program, manajemen, dan strategi yang secara tegas berbeda dari praktek partai yang lama. Mesin politik baru (Partai) ini harus progresif, artinya mampu merespon aspirasi generasi masa depan bangsa yang dalam 10 atau 20 tahun nanti akan menentukan konstelasi perpolitikan Indonesia. Partai baru ini juga mesti jadi teladan bahwa kesuksesan dalam politik  bisa dicapai dengan cara yang jujur, adil dan transparan. Artinya meninggalkan kebiasaan  lama yang selama ini dipraktekan oleh partai-partai yang ada.

Kriteria.

Untuk kondisi bangsa Indonesia yang plural, paling tidak ada empat nilai dasar yang mesti jadi karakter sebuah mesin politik baru yang mumpuni, yaitu: kebajikan, keragaman, keterbukaan, dan meritokrasi.

Kebajikan. Melihat politik sebagai suatu kebajikan, sumber kebaikan bagi kepentingan publik. Sistem demokrasi menugaskan partai politik untuk mendengar dan menyalurkan aspirasi rakyat, termasuk menjadi kawah candradimuka tempat lahirnya pemimpin. Maka seluruh orientasi dan kerja politik mesti fokus untuk menggagas dan memutuskan kebijakan publik yang ‘bonum commune’ (demi kemaslahatan umum).

Keragaman. Berprinsip bahwa keragaman adalah sumber kekuatan Indonesia. Di dalam keberagamanlah, nilai solidaritas yang merekatkan warga dalam  ikatan emosional walau beda agama, etnik, bahasa dan pengalaman sejarah.

Keterbukaan. Prinsip nilai keterbukaan dalam hal relasi eksternal maupun tata laksana pemerintahan. Prinsip keterbukaan inilah yang memungkinkan Indonesia jadi warga dunia. Warga yang setara dan sama-sama berkontribusi terhadap kemakmuran dan perdamaian dunia. Keterbukaan memberi tempat seluasnya untuk kritik dan pembaruan. Nilai keterbukaan adalah landasan perjuangan dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas tata-kelola pemerintahan.

Meritokrasi. Penerapan sistem meritokrasi di dalam urusan publik niscaya membebaskan kita dari jerat korupsi, kolusi dan nepotisme. Mereka yang bekerja keras dan cerdas diberi ruang yang adil dan seluas mungkin untuk berprestasi.

Partisipasi politik yang matang dan bermutu, dalam berbagai bentuknya (kritik, saran, ikut pemilu, atau jadi kader, dll) sangat menentukan masa depan bangsa. Citra politik yang mulia pun bisa pulih kembali.
Ingat pesan Bertolt Brecht: Celikkan Mata! Seleksi dan pilihlah mesin politik atau partai sesuai kriteria diatas. Bebaskan diri dari buta politik!

Oleh: Andre Vincent Wenas
Penulis adalah Sekjen Kawal Indonesia – Komunitas Anak Bangsa.

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker