Larangan Perayaan Natal di Dharmasraya: “Kami Patuh, Tapi Hati Kami Menangis”

Sejumlah umat Katolik di Dharmasraya, Sumatra Barat, tidak akan merayakan Natal secara bersama-sama karena sebuah aturan. Solusi yang ditawarkan pemerintah setempat belum cukup.

Abadikini.com, DHARMASRAYA – Setelah tidak diizinkan menggelar kebaktian dan perayaan Natal oleh Pemerintahan Nagari Sikabau (setingkat desa) di rumah ibadah sementara, sekitar 30 umat Katolik di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat, memutuskan tidak akan merayakan Natal tahun ini.

Pemerintah Kabupaten Dharmasraya telah menawarkan fasilitas kendaraan agar mereka dapat melakukan kebaktian di gereja di Kota Sawahlunto atau tempat lain, namun jemaat menolaknya.

“Walaupun hati kami menangis, kami akan patuh. Cuma sampai kapan pemerintah akan memperlakukan kami seperti itu? Tawaran pemerintah seperti transportasi sudah kami sosialisasikan, kata umat tidak usahlah kita mengadakan ibadah, mungkin ini ujian untuk kita,” kata Maradu Lubis, ketua Stasi Jorong Kampung Baru, sebagaimana dilaporkan wartawan Febrianti di Sumatera Barat kepada BBC News Indonesia.

 

Ibadah di rumah

Pada awal Desember 2019 Maradu Lubis mengajukan izin agar dapat melakukan ibadah dan perayaan Natal di rumah singgah Katolik, di Kampung Baru. Namun Wali Nagari tidak memberikan izin dan melaporkan surat penolakan warga pada dua tahun sebelumnya yang dianggap belum dicabut.

Pada 22 Desember 2017 Wali Nagari Sikabau mengirimkan surat pemberitahuan kepada Maradu Lubis yang isinya tidak mengizinkan kegiatan perayaan Natal 2017 dan tidak mengizinkan perayaan tahun baru 2018 di Jorong Kampung Baru maupun di wilayah Nagari Sikabau.

Selain itu juga dilampirkan surat pernyatan bersama tokoh adat dan tokoh masyarakat Nagari Sikabau. Surat tersebut melarang umat Kristiani melaksanakan perayaan agamanya secara terbuka, sekaligus melarang melaksanakan kebaktian secara terbuka di rumah dan di tempat lain di Kenagarian Sikabau.

Isi surat itu juga memperingatkan jika umat Kristen tidak mengindahkan pemberitahuan dan pernyataan Pemerintah Nagari, ninik mamak, tokoh masyarakat, dan pemuda Nagari Sikabauakan ada tindakan tegas.

Umat Katolik hanya boleh melaksanakan ibadah di rumah masing-masing serta tidak mengundang umat Kristen lainnya.

Saat ini ada 40 orang Katolik, atau 10 keluarga, Katolik di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau. Setiap tahun mereka menyelenggarakan ibadah Natal di Gereja Santa Barbara di Kota Sawahlunto, sekitar 120 kilometer dari tempat tinggal mereka. Mereka juga tidak berani melakukan kebaktian Minggu secara terbuka di rumah warga yang dijadikan rumah singgah.

“Saya tidak minta yang muluk-muluk, beribadah di rumah saja, bisa itu sudah lebih daripada cukup. Berpindah-pindah pun kami dari rumah ke rumah, asalkan boleh sekali seminggu untuk merayakan ibadah,” kata Maradu.

Umat sangat berharap agar dapat merayakan natal bersama, meski di rumah.

Trisila Lubis, 56 tahun, pemilik Rumah Singgah Katolik di Jorong Kampung Baru mengatakan selama ini setiap Minggu umat Katolik di Jorong Kampung Baru beribadah di rumahnya.

Sebelumnya pada akhir 1999, sebuah rumah yang mereka beli untuk gereja dibakar warga dengan alasan tidak ada izin. Umat Katolik akhirnya setiap Minggu beribadah di rumah mereka sendiri.

“Pada 2010 saya minta kepada Pak Wali Nagari agar kami diizinkan beribadah di rumah saya. Karena diizinkan, makanya kami mulai. Awalnya di ruang tamu saya, lalu baru pada 2017 saya buat ruangan menempel dengan rumah saya sebagai rumah singgah,” kata Trisila Lubis.

Guru sekolah dasar tersebut juga memanfaatkan rumah singgah untuk memberi les tambahan kepada siswanya dan pendidikan Katolik bagi anak-anak yang beragama Katolik. Setiap hari Minggu umat Katolik juga mengadakan kebaktian secara diam-diam.

 

‘Tak ada larangan’

Kepala Jorong (dusun) Kampung Baru M. Jumain mengatakan tidak melarang umat Katolik, Kristen Protestan, dan Pentakosta yang ada di dusunnya merayakan Natal.

“Silahkan merayakan di rumah masing-masing. Kalau mau merayakan Natal bersama-sama kan bisa bergabung merayakannya di Sungai Rumbai. Di sana ada tempat ibadahnya, tempatnya juga tidak jauh, hanya 30 menit dari sini, atau ke gereja di Sawahlunto, itu 1,2 jam dari sini,” kata M. Jumain.

Ia mengatakan, Rumah Singgah untuk ibadah Katolik di Jorong Kampung Baru belum punya izin.

“Yang keberatan itu ninik mamak (tetua adat), karena ada kesepakatan ninik mamak pada 2017 tentang pelarangan, itu yang belum dicabut,” kata M. Jumain.

Ia mengatakan, masyarakat beda agama di Jorong Kampung Baru hidup berdampingan tanpa masalah.

Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nagari Sikabau Jamhur Dt. Jati menjelaskan sebanyak 44 kepala keluarga dari Jawa bertransmigrasi ke Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, pada 1965. Masyarakat Nagari Sikabau memberikan tanah dengan sukarela, juga membantu membangunkan rumah bedeng dengan atap daun kelapa untuk transmigran.

“Kami juga yang memberi makan transmigran saat itu,” kata Jamhur Dt. Jati.

Saat itu, katanya, pemberian tanah menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat di Nagari Sikabau dan patuh terhadap aturan yang telah ditetapkan dan dijalankan di Nagari Sikabau.

Pada pertengahan 1980-an baru datang masyarakat lain yang berasal dari Sumatera Utara, yang kebanyakan non-Muslim.

Jamhur berkisah pada masa reformasi, warga Katolik memanfaatkan sebuah rumah di Jorong Sikabau untuk gereja yang tidak memiliki izin. Konflik terjadi, dengan masyarakat dan gereja dibakar.

Konflik saat itu sudah diselesaikan di kepolisian setempat. Menurut Jamhur Datuk Jati, salah satu solusi penyelesaian yang diambil pada waktu itu adalah penghapusan pelarangan beribadah bagi semua agama. Sementara, ibadah berjamaah dianjurkan untuk mengikuti aturan yang ada.

 

Pengamat anjurkan tata kelola keberagaman yang lebih inklusif.

“Kalau mau merayakan Natal bersama-sama, carilah tempat yang resmi, misalnya di Sungai Rumbai. Ini untuk keamanan saudara kita juga (Katolik),” katanya.

Ia mengatakan masyarakat belum bisa menerima perayaan Natal di Jorong Kampung Baru.

“Barangkali kalau kita kasih pengertian mungkin lama-lama bisa menerima ini. Kalau untuk hidup berdampingan enggak ada masalah,” katanya.

 

‘Perlu tata kelola keberagaman yang inklusif’

Sudarto dari Pusaka, lembaga yang sering mengadvokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Sumatra Barat mengatakan praktik-praktik intoleransi masih kerap terjadi di sana.

Pusaka saat ini menangani 8 kasus yang sama di Sumatra Barat, termasuk kasus pelarangan perayaan Natal di Jorong Kampung Baru di Nagari Sikabau, Dharmasraya.

Ia mengatakan mengacu pada hasil indeks kerukunan umat beragama yang diluncurkan Kementerian Agama RI 2019 beberapa minggu lalu, hasil survei menyebutkan Provinsi Sumatra Barat dihadapkan dengan indeks kerukunan di bawah standar terburuk kedua setelah Provinsi Aceh.

“Pemerintah Jokowi tidak lebih baik dari SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), bahkan kadang-kadang sama dengan Soeharto dalam pengelolaan keragaman agama. Sama sekali tidak berbuat apa-apa untuk kasus ini, hanya imbauan. Pemerintah pusat harus membuat regulasi tata kelola keberagaman yang bisa melindungi semua kelompok agama maupun kepercayaan,” kata Sudarto.

Sudarto juga mendorong pemerintah Dharmasraya untuk aktif menengahi sengketa.

“Jadi solusinya bukan meninjamkan mobil lalu pindah beribadah ke tempat lain. Seharusnya kalau rumah ibadahnya belum ada izin, bisa misalnya pinjamkan aula yang tidak dipakai, atau mempermudah pengurusan izin rumah ibadah,” katanya.

Sekretaris Daerah Dharmasraya Adlisman mengatakan sudah menyarankan kepada warga Katolik di Jorong Kampung Baru untuk merayakan Natal di tempat terdekat.

“Kampung Baru itu suasananya berbeda, pada 1965 katanya ada perjanjian sebelumnya, orang yang datang ke sana tentu mereka harus mengikuti adat- istiadat di situ, seperti kata Ketua MUI Sumatera Barat, hormatilah apa yang ada di daerah di situ, ” kata Adlisman.

Sumber Berita
BBC Indonesia

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker