PANCASILA GUE-GUE

Oleh : Emha Ainun Nadjib.

abadikini.com, Yogyakarta – Akhir-akhir ini definisi dan segala urusan yang menyangkut NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,  dengan macam-macam onderdil politiknya: pluralisme, radikalisme, intoleransi, diktator minoritas, apapun semakin harus mengacu ke wacana Dinasti Gue-gue. Termasuk Agama, Tuhan, Nabi, ketokohan dan kepahlawanan: harus mengacu kepada persembahan kepada kebenaran eksistensi dan legalitas Gue-gue. 

Dinasti dari Utara ini kekuasaannya sudah semakin menggurita: kuasa atas tanah, keuangan, asset-asset apa saja, bahkan produksi aturan dan undang-undang. Kekuasaan karena kecanggihan dan kehebatan, maupun karena ambisi berkuasa itu sendiri, termasuk filosofi keduniawian dan strategi tipudaya yang menyebarkan “syubhat” atau kerancuan antara Sorga dengan Neraka. Bahkan menterbalikkan antara keduanya.

Tapi meskipun demikian, perlu tetap dipilah antara Gue-gue Benteng dengan Gue-gue Toko. Gue-gue Pribumi dengan Gue-gue Laba. Yang bentang dan pribumi sudah menyatu keIndonesiaan, berhati Nusantara, dan belajar berlaku sebagai tuan rumah di tanah yang dipijaknya. Adapun yang toko dan laba, tak penting di tanah dan Negeri mana ia berpijak, yang utama adalah mencari keuntungan pribadi, menumpuk laba dan menghimpun kuasa.

Asal muasalnya begini. Alkisah, lebih tiga abad Ratu Kukeleku berkuasa di Nusantara. Beberapa tahun digantikan oleh Pangeran Cockadoodledoo. Mereka berdua ini sebenarnya bersama sejumlah Raja lain seperti Cocorico, Quiquiriqui, Chicchirichi atau juga Kikeriki, berbagi kekuasaan di Afrika dan Asia. Ada Raja lain misalnya Koukarekou, yang selera berbeda, tidak ikut kenduri di Asia Afika, melainkan berusaha menguasai rekan-rekannya sendiri di Eropa. 

Selama Kukeleku dan Cockadoodledoo berkuasa, Raja-Raja Nusantara seperti Prabu Kongkorongok, Adipati Kukurunuk atau Sultan Hamengkukuruyuk dan handai taolannya, sangat bersabar, toleran dan lapang dada bersuara di area lokalnya masing-masing. Tapi tatkala Kukeleku digantikan beberapa tahun oleh Kaisar Koukoukoukou, ketiganya berhimpun dengan ratusan lainnya. Tiba-tiba Kerajaan Kaisar itu ditimpa oleh meteor sangat besar jatuh dari langit: merdekalah Nusantara, dengan himpunan itu bersepakat untuk menjadi satu nusa satu bangsa.

Sebenarnya persatuan dan kesatuan itu tidak benar-benar merdeka dari pengaruh Ratu Kuleleku dan sekutunya. Apalagi bersamaan dengan itu di seluruh Nusantara pelan-pelan sudah tersebar pasukan dari Dinasti Gue-gue. Meskipun ada tamu lain lagi dari arah Barat: AlMalik Shoutud-Diik, memasuki Nusantara tidak dari atas, melainkan mengalir dan menembus di tataran bawah. Semua adalah makhluk produknya Tuhan. Tidak ada benci atau anti makhluk. Tapi bukan itu masalahnya. Yang kita bicarakan adalah kseserakahan.

Kebanyakan penduduk Nusantara menerima apa yang dibawa oleh Shoutud-Diik di wilayah sesembahan, ubudiyah, spiritualitas dan budaya. Sedangkan yang lambat laun menguasai bidang-bidang materi, sandang pangan, keduniaan dan kemewahan fisik, berada dalam kendali Dinasti Gue-gue. Tahun-tahun terakhir ini penguasaan lapangan perekonomian Gue-gue sungguh merajalela. Bahkan karena itu mereka juga menguasai struktur kekuasaan Nusantara, di mana para petinggi sangat senang bisa menjadi makmur karena bergantung pada mereka. 

Sedemikian berkuasanya Pasukan Gue-gue, termasuk atas inisiatif capital serta politik hutang: sekarang ini ayam berkokokpun berbunyi “Gueee-gueeeee”. Pelan-pelan tapi pasti, bentuk ekspresi kebudayaan Nusantara semakin diwarnai oleh inisiatif modal dan kuasa Gue-gue. 

(Bersambung ke “Kebenaran Ayam”) Yogya 31 Mei 2017.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker