Membumikan Pancasila di Era Kekinian: Mewarisi Api Bung Karno, Bukan Abu-Nya
Oleh: Fariz Maulana Akbar Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat

Abadikini.com, JAKARTA – Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila—hari ketika Soekarno menyampaikan pidato monumental yang kelak menjadi fondasi ideologis negeri ini. Namun, lebih dari sekadar seremoni tahunan, Pancasila seharusnya menjadi bahan bakar peradaban Indonesia modern. Bukan sekadar jargon, bukan pula tameng retoris bagi kekuasaan.
Kebetulan atau tidak, Juni juga adalah Bulan Bung Karno. Ini bukan hanya peringatan ulang tahun Proklamator, tetapi momentum untuk kembali membaca gagasan-gagasannya, terutama yang tercatat dalam buku karya Bung Karno: Di Bawah Bendera Revolusi. Dalam karya itu, Bung Karno menyatukan tiga kekuatan ideologis besar—nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme—dalam satu tarikan napas perjuangan. Di sanalah Demokrasi Pancasila dilahirkan, bukan sebagai kompromi politik, tetapi sebagai jalan tengah yang revolusioner.
Pancasila Bukan Dekorasi, Tapi Daya Dorong
Di tengah krisis kepercayaan terhadap demokrasi liberal yang semakin elitis, Pancasila kembali relevan. Demokrasi kita hari ini kerap terjebak dalam formalitas elektoral yang dangkal—suara rakyat dibeli, janji politik menguap, elite berputar-putar di lingkaran sendiri. Padahal, Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang hidup dari musyawarah, gotong royong, dan keberpihakan pada keadilan sosial.
Bung Karno memperingatkan bahwa demokrasi tanpa keadilan ekonomi adalah demokrasi kosong. Dan kini, ketika kesenjangan ekonomi melebar, ketika oligarki menguasai panggung politik, saatnya kita bertanya: masihkah Pancasila hanya kita baca, atau sudah kita perjuangkan?
Nasionalisme Inklusif, Bukan Populisme Sempit
Nasionalisme Bung Karno tidak dibangun atas rasa benci terhadap yang asing, tetapi cinta terhadap yang sesama. Dalam konteks kekinian, nasionalisme ini harus menjelma menjadi sikap anti-intoleransi, anti-diskriminasi, dan anti-dominasi modal asing. Nasionalisme adalah keberanian berdiri di kaki sendiri, bukan sibuk membentengi diri dengan identitas sempit yang mudah digoreng untuk kepentingan politik.
Islamisme yang Membebaskan, Bukan Membelenggu
Islam, dalam pemikiran Bung Karno, bukan agama yang pasif. Islam adalah kekuatan emansipatoris. Ia menjadi inspirasi gerakan rakyat, bukan alat kekuasaan. Di era sekarang, saat politik identitas marak dijadikan komoditas, kita butuh kembali ke Islam yang membebaskan manusia dari kemiskinan, kebodohan, dan ketakutan—bukan Islam yang dijadikan penghakiman sosial.
Marxisme sebagai Kritik Sosial, Bukan Stempel Ideologis
Marxisme bagi Bung Karno adalah alat analisis, bukan agama baru. Ia digunakan untuk membaca realitas eksploitasi dan ketimpangan. Dalam konteks sekarang, marxisme bisa menjadi kacamata untuk memahami mengapa segelintir orang bisa menguasai sumber daya, sementara rakyat kecil terus berjuang untuk hidup layak. Alih-alih alergi terhadap kata “Marxisme,” kita seharusnya lebih takut pada ketimpangan yang terus dibiarkan hidup subur.
Revolusi Belum Selesai
Di tengah gempuran globalisasi, tekanan pasar, dan pergeseran nilai, gagasan Pancasila dan semangat Bung Karno tidak usang. Justru semakin penting untuk menjadi kompas moral dan politik bangsa ini. Kita tidak bisa lagi membiarkan Pancasila menjadi alat kosmetik kekuasaan, atau menjadikan Bung Karno sekadar simbol patung yang dilupakan semangatnya.
Mewarisi Bung Karno berarti mewarisi apinya, bukan abunya. Dan itu hanya mungkin jika kita kembali menjadikan Pancasila sebagai ideologi perjuangan, bukan sekadar dokumen negara.
Maka, di Hari Lahir Pancasila ini, di Bulan Bung Karno ini, mari kita hidupkan kembali semangat revolusioner yang terkandung dalam karya Monumentalnya, Di Bawah Bendera Revolusi—karena revolusi sosial, moral, dan politik kita masih jauh dari selesai.
Bung Karno tidak menawarkan ide yang selesai, tapi ia menawarkan semangat yang terus hidup: “Revolusi belum selesai.” Dan mungkin, tugas kita hari ini bukan hanya mengenangnya, tapi melanjutkannya.