Timor Leste Mendadak Dirundung Serangan Buaya

Abadikini.com, JAKARTA – Mario Da Cruz tertegun melihat sekelompok buaya memangsa seorang bocah kecil di tepi pantai. Ia sendiri sedang terluka dan sebabnya hanya bisa terpana.

Celakanya pengalaman traumatis itu bukan lagi hal langka di Timor Leste. Sejak dua dekade silam, jiran di tenggara itu mencatat lonjakan serangan buaya sebanyak dua puluh kali lipat, meski tidak semua berujung kematian.

Da Cruz dikejutkan oleh serangan satwa liar tersebut saat berjalan kaki di tepi pantai. “Salah satunya menggigit kaki saya,” kisahnya. “Yang lain menyerang seorang bocah yang langsung tewas di tempat.”

Kampung halamannya di Lospalos menjadi episentrum fenomena serangan buaya di Timor Leste. Negeri seumur jagung yang memerdekakan diri dari Indonesia pada 2002 itu masih tertinggal dalam pembangunan infrastruktur. Sebab itu sebagian besar penduduk bergantung pada transportasi sungai untuk hidup atau berpindah tempat.

Di sana lah penduduk menjadi korban. Mereka diserang ketika sedang memancing ikan, mandi atau saat sedang mengambil air di sungai. “Mereka mengalami lonjakan kasus serangan buaya di 10 tahun terakhir,” kata Sam Banks, Pakar Biologi Konservasi di Universitas Charles Darwin, Australia.

Gelombang serangan buaya meningkat dari hanya satu kasus pada 1996 menjadi belasan pada tahun 2014, merujuk pada data statistik teranyar pemerintah.

Kenaikan tersebut membuat serangan buaya memiliki tingkat kematian yang berjumlah 10 kali lipat lebih besar ketimbang nyamuk Aedes aegypti, kata Sebastian Brackhane dari Universitas Freiburg di Jerman yang mempelajari manajemen pengelolaan buaya di Timor Leste.

Brackhane dan ilmuwan lain berusaha menelusuri penyebab agresivitas populasi buaya di Timor Leste yang tergolong mungil. Sejumlah alasan sempat dijadikan premis, antara lain kerusakan habitat alami buaya oleh manusia. Tapi “kami mencatat lonjakan serangan buaya air asing sebagai faktor terbesar,” ujarnya kepada Associated Press yang dilansir Abadikini dari laman detik, Sabtu (30/11).

“Masalahnya tidak terbatas pada Timor Leste saja. Pulau-pulau lain, seperti Kepulauan Solomon dan Andaman, serta sejumlah kawasan pesisir di Indonesia juga mencatat pola serupa dalam konflik antara buaya dan manusia,” imbuh Brackhane.

Sebagai catatan seorang ibu hamil dikabarkan diterkam buaya hingga tewas di Kabupaten Timor Tengah Selatan hanya sepekan silam.

Uniknya fenomena berdarah di Timor diyakini sebagai dampak tidak langsung keberhasilan program konservasi buaya di Australia. Banks mengatakan, kompetisi mencari mangsa yang lebih ketat memaksa sebagian populasi buaya menyeberang samudera untuk mencari penghidupan.

Sebab itu dia dan Yusuke Fukuda, biologis yang bekerja di pemerintah kawasan federal Northern Territory, berharap uji DNA akan memecahkan teka-teki lonjakan serangan buaya. Mereka mengakui satwa yang mampu tumbuh sepanjang enam meter dan berbobot satu ton itu mampu menjelajah jarak sejauh 500 kilometer antara Australia dan Timor Leste.

Hasil uji DNA putaran pertama gagal membuktikan adanya populasi buaya asing di Timor Leste. “Buaya-buaya itu sepenuhnya berdarah Timor Leste. Mereka tidak memiliki hubungan genetik dengan buaya Australia,” ujar Banks.

Meski demikian warga Timor Leste menolak menyalahkan buaya lokal atas serangan-serangan yang menimbulkan korban jiwa tersebut. Buaya biasa disebut sebagai Abo, panggilan untuk kakek dalam bahasa Tetum. “Warga melihat buaya di sini sebagai nenek moyang,” kata Nina Baris, tetua adat di Lospalos.

“Menurut kepercayaan kami, jika buaya menggigit, maka artinya kami sudah melakukan dosa besar,” imbuhnya lagi. “Tidak seorangpun boleh melukai buaya. Jika Anda melakukannya akan ada konsekuensi serius yang menanti Anda.”

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker