Putin Tantang Eropa, NATO Balik Mengancam: Perang Bukan Lagi Sekadar Retorika
Abadikini.com, JAKARTA – NATO dan Rusia kembali saling melempar retorika keras setelah Presiden Vladimir Putin menyatakan bahwa Moskow “siap perang kapan saja” jika Eropa memilih jalur konfrontasi. Pernyataan itu muncul di tengah mandeknya upaya diplomasi untuk mengakhiri perang Rusia–Ukraina, yang semakin tak menunjukkan titik temu.
Putin, berbicara kepada wartawan pada Selasa (2/12) menegaskan bahwa Rusia sebenarnya tidak mencari pertempuran baru. Namun ia juga memperingatkan bahwa Moskow tak akan mundur jika merasa terprovokasi oleh negara-negara Eropa pendukung Ukraina.
“Kami tidak akan berperang dengan Eropa. Tapi jika mereka ingin memulainya, kami siap sekarang juga,” ujarnya.
Pernyataan Putin langsung dibalas oleh Sekretaris Jenderal NATO, Mark Rutte. Menjelang KTT NATO di Brussels, Rutte menegaskan bahwa aliansi tersebut tidak akan ragu mempertahankan negara anggotanya.
“NATO adalah aliansi pertahanan. Tetapi jangan salah, kami siap melakukan apa pun untuk melindungi satu miliar penduduk kami,” katanya. Ia juga menilai Putin terlalu percaya diri mampu “bertahan lebih lama”, “Namun kami tidak ke mana-mana,” tegasnya dilansir dari The Independent Kamis (4/12/2025).
Retorika yang saling mengeras ini mencuat saat harapan terhadap kesepakatan damai yang diprakarsai Amerika Serikat semakin meredup. Pertemuan antara Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan delegasi AS pada Rabu dibatalkan tiba-tiba—beberapa jam setelah tim Presiden Donald Trump meninggalkan Moskow tanpa hasil konkret. Padahal sehari sebelumnya, para utusan Trump, termasuk Kirill Dmitriev dan Jared Kushner, menggelar pembicaraan maraton selama lima jam dengan perwakilan Rusia.
Rutte tetap optimistis bahwa Trump adalah satu-satunya tokoh yang bisa memecahkan kebuntuan diplomatik.
“Hanya ada satu orang di dunia yang bisa membuka jalan perdamaian, yaitu Presiden Donald J. Trump,” katanya.
Kremlin sendiri membantah kabar bahwa mereka menolak proposal perdamaian AS, menyebut ketidaksepakatan sebagai “bagian normal dari proses negosiasi”. Di sisi lain, Ukraina mengonfirmasi adanya kontak lanjutan dari AS. Menteri Luar Negeri Ukraina Andrii Sybiha mengatakan bahwa delegasi AS menganggap pembicaraan di Moskow berjalan positif dan mengundang Ukraina melanjutkan perundingan di Washington dalam waktu dekat.
Meski begitu, belum jelas apa yang dimaksud dengan “hasil positif” tersebut. Sebelumnya rencana perdamaian 28 poin versi Trump dikritik keras oleh sejumlah pihak sebagai “daftar keinginan Rusia”.
Di Eropa, tekanan juga meningkat. Menteri Luar Negeri Inggris Yvette Cooper mendesak Putin untuk menghentikan kekerasan dan kembali ke meja perundingan demi mencapai perdamaian yang “adil dan abadi”. Para pemimpin Eropa menilai Moskow selama ini hanya berpura-pura membuka ruang kompromi.
Situasi ini semakin kompleks setelah negosiator utama Ukraina, Andriy Yermak, mundur dari jabatan kepala staf presiden akibat skandal korupsi USD100 juta. Ia digantikan oleh Rustem Umerov, mantan menteri pertahanan, yang kini memegang peran penting dalam perundingan.
Sementara itu, Komisi Eropa mengajukan skema agresif untuk mendukung Ukraina: memanfaatkan aset Rusia yang dibekukan atau melalui pinjaman internasional guna mengumpulkan dana hingga 90 miliar euro untuk kebutuhan militer dan layanan publik Ukraina yang sedang tertekan.
Ketegangan meningkat, diplomasi tersendat, dan ancaman perang terbuka kembali mengemuka. Eropa kini berada di persimpangan antara ambisi perdamaian dan bayang-bayang eskalasi yang makin mendekat.


