Membaca Masa Depan Demokrasi Digital Indonesia
Oleh: Fariz Maulana Akbar
Abadikini.com, JAKARTA – Di Indonesia hari ini, politik digital bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan telah menjadi “ruang tamu” tempat segala peristiwa politik mampir—berisik, ramai, kadang bikin pening. Demokrasi kita layaknya rumah dengan pintu selalu terbuka. Siapa pun, mulai dari politisi, akademisi, hingga akun anonim bermotif iseng, bebas keluar masuk. Di satu sisi menyenangkan, di sisi lain melelahkan. Yang jelas, kita telah resmi pindah dari demokrasi konvensional menuju demokrasi digital, meski sebagian netizen masih kesulitan membedakan antara fakta dan karya imajinasi konten kreator.
Fenomena ini tidak mengejutkan jika mengingat pandangan sosiolog Spanyol, Manuel Castells, bahwa networking society bergerak mengikuti logika: “siapa menguasai arus informasi, dialah pemilik kuasa.” Masalahnya, di Indonesia, arus informasi itu sering didominasi oleh pihak-pihak yang tidak selalu punya niat mulia—mulai dari algoritma yang mengejar engagement, buzzer yang mengejar nafkah, hingga politisi yang mengejar elektabilitas. Ketiganya seperti trio superhero politik: cepat, viral, dan kerap tak akurat.
Filsuf Jerman, Jürgen Habermas, yang pernah menggantungkan harapan besar pada ruang publik, mungkin akan geleng-geleng kepala jika melihat kolom komentar media sosial orang Indonesia. Ruang publik digital kita memang hidup—bahkan terlalu hidup—tetapi sering gagal menjadi ruang deliberasi. Yang terjadi justru adu teriakan tanpa tanda baca, analisis setengah matang, hingga komentar akun anonim yang pedasnya bisa mengalahkan sambal ayam geprek. Entah ini kemajuan atau kemunduran, tapi yang pasti suasananya meriah.
Ironinya, digitalisasi politik membuat setiap warga bisa berbicara, tetapi tidak semua merasa perlu berpikir sebelum berbicara. Media sosial berubah seperti pasar malam: semua bisa tampil, setiap ide bisa dijajakan, dan setiap klaim—benar atau ngawur—bisa ikut berjualan. Dalam kondisi seperti ini, hoaks dan misinformasi tidak hanya hidup, tetapi berkembang biak seperti hewan ternak yang dipelihara.
Namun tidak semuanya gelap. Politik digital juga membuka peluang baru. Generasi muda punya ruang menyuarakan keresahan, kelompok marjinal mendapat sorotan, dan kritik bisa menyebar lebih cepat daripada klarifikasi pejabat. Aktivisme digital memberi panggung bagi demokrasi partisipatoris—sesuatu yang dulu hanya berada dalam buku teori.
Sayangnya, sebagian aktor politik Indonesia memilih jalan pintas. Alih-alih memanfaatkan ruang digital untuk menawarkan gagasan, mereka justru menjadikannya panggung hiburan elektoral. Politisi mendadak menjadi seleb TikTok, pejabat tampil di podcast penuh kata “kebetulan”, dan konten politik dikemas dengan musik trend demi mengejar viral. Pada titik ini, demokrasi berubah menjadi reality show: memikat, absurd, tetapi jarang substansial.
Padahal, pakar media Prancis Pierre Lévy telah lama mengingatkan bahwa masyarakat digital seharusnya bergerak menuju kecerdasan kolektif—kemampuan memadukan informasi untuk menghasilkan keputusan bersama yang lebih bijak. Tapi bagaimana itu terwujud jika sebagian besar energi digital habis untuk membahas hal-hal tak relevan? Kita bisa berdebat panjang soal meme, tetapi diam terhadap data kebijakan publik. Kita bisa ribut soal gestur dalam video lima detik, tetapi malas membaca laporan 50 halaman yang menentukan nasib rakyat.
Di era algoritma seperti sekarang, warga negara dituntut memiliki dua kemampuan: melek digital dan melek demokrasi. Melek digital agar tidak mudah tertipu manipulasi visual dan narasi palsu. Melek demokrasi agar tidak terseret polarisasi yang sengaja diciptakan. Kombinasi keduanya ibarat vaksin untuk menangkal toksisitas politik.
Tantangan terbesar justru datang dari struktur kekuasaan digital yang tak sepenuhnya dapat dikendalikan negara maupun masyarakat. Platform media sosial punya logikanya sendiri: semakin memancing emosi, semakin tinggi jangkauan. Dalam ekosistem seperti ini, ekstremitas menjadi komoditas, sementara politik moderat tampak membosankan. Padahal, demokrasi yang sehat membutuhkan ketenangan, kejernihan, dan argumentasi—bukan sekadar viralisasi.
Fenomena echo chamber juga menambah rapuh demokrasi digital kita. Orang hanya mendengar opini yang selaras dengan pikirannya, membuat mereka semakin sulit menerima perbedaan. Rasionalitas publik berubah menjadi rasionalitas personal yang difasilitasi algoritma. Demokrasi digital tampak hidup di permukaan, tetapi rentan di dalam.
Meski begitu, di tengah kekacauan itu, peluang pembaruan tetap terbuka. Teknologi digital memang menjadi pintu masuk disinformasi, tetapi juga menjadi ruang tumbuhnya inisiatif positif: jurnalisme warga, kanal edukasi politik, komunitas pengecek fakta, hingga ruang diskusi lintas kelompok yang bekerja meredam polarisasi. Mereka kecil, tetapi menjaga kewarasan publik secara konsisten.
Masa depan demokrasi digital Indonesia bergantung pada kemampuan kolektif untuk menjaga ruang publik tetap sehat. Masyarakat perlu memperkuat literasi, pemerintah perlu menunjukkan empati, dan platform digital harus bertanggung jawab mengurangi praktik yang merusak. Jika ketiganya berjalan seirama, demokrasi digital bisa menjadi bukan hanya keramaian, tetapi sumber lahirnya gagasan yang mencerahkan.
Tentu perjalanan itu tidak mudah. Demokrasi memang tidak dirancang untuk membuat manusia nyaman. Ia hanya berfungsi jika warganya mau repot: mencari tahu sebelum percaya, memeriksa fakta sebelum membagikan, mengawasi pejabat sebelum mengeluh, dan menyampaikan kritik sebelum keadaan terlanjur buruk. Demokrasi hidup bukan karena yang paling kuat atau paling viral, tetapi karena banyak orang biasa bersedia menjaga akal sehat dan kebenaran bersama.
Jika kita ingin masa depan politik digital Indonesia lebih baik, kita harus berani mengakui satu hal: demokrasi bukan milik algoritma, bukan milik buzzer, bukan milik selebritas politik digital. Demokrasi, pada akhirnya, adalah urusan kita semua—meski harus dijalani sambil menghindari hoaks, membaca komentar pedas, dan tetap menjaga mental health saat grup WA keluarga tiba-tiba berubah menjadi arena debat nasional.
Jika kita bisa menjaga kewarasan bersama, demokrasi digital Indonesia bukan hanya mungkin bertahan, tetapi juga tumbuh menjadi lebih matang, lebih cerdas, dan lebih bermartabat.
Penulis adalah Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat



