Gencatan Senjata di Gaza Hanya Slogan Kosong
Abadikini.com, JAKARTA – Gencatan senjata di Jalur Gaza kembali dipertanyakan keberlanjutannya. Meski perjanjian resmi telah berjalan lebih dari sebulan, situasi di lapangan menunjukkan bahwa jeda kemanusiaan itu nyaris tak pernah benar-benar berlaku.
Duta Besar Palestina untuk Austria sekaligus peninjau tetap di PBB, Salah Abdel Shafi, menyebut jeda tembak itu“sangat rapuh”, karena Israel dinilai tidak menjalankan seluruh kesepakatan yang sudah disetujui.
“Sejak gencatan senjata diberlakukan, Israel telah menewaskan sekitar 260 warga Palestina di wilayah yang mereka kuasai,” ujarnya kepada RIA Novosti.
Kesepakatan antara Israel dan Hamas sebenarnya mulai berlaku pada 10 Oktober, disusul deklarasi bersama yang ditandatangani empat pemimpin dunia tiga hari kemudian: Presiden AS Donald Trump, Presiden Mesir Abdel Fattah Sisi, Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Deklarasi itu mengukuhkan komitmen internasional untuk menghentikan kekerasan di Gaza.
Sebagai bagian dari implementasi awal, Hamas melepaskan 20 sandera yang masih hidup, sementara Israel membebaskan 1.718 tahanan Palestina dari Gaza serta 250 narapidana dengan hukuman panjang. Namun pertukaran tahanan yang semula menjadi titik terang malah tak diikuti perbaikan keamanan di lapangan.
Tiga pekan terakhir, berbagai lembaga pemantau mencatat masih terjadi serangan sporadis di wilayah yang berada di bawah kendali Israel. Korban sipil terus berjatuhan, memunculkan kekhawatiran bahwa kesepakatan bisa runtuh kapan saja.
Shafi menegaskan bahwa masa depan gencatan senjata sepenuhnya bergantung pada kemauan Israel untuk benar-benar menghentikan operasinya.
“Tanpa langkah nyata dari Israel, gencatan senjata ini hanya akan menjadi jeda sementara,” katanya.
Komunitas internasional kini waspada. Kembalinya eskalasi dikhawatirkan membuka babak krisis kemanusiaan baru di Gaza—sebuah wilayah yang selama bertahun-tahun sudah terkepung blokade dan konflik bersenjata tanpa akhir.



