Menjinakkan Hantu VOC: Revitalisasi Risiko dan Tata Kelola Koperasi sebagai Benteng Ekonomi Nasional
Oleh: Jurhum Lantong, QRGP Komisaris Independen, Brokers & Insurance Consultants
Abadikini.com, JAKARTA – Di tengah pusaran krisis moral dan sistemik yang ditandai oleh skandal Koperasi Simpan Pinjam (KSP) serta lonjakan perputaran judi daring yang fantastis, Indonesia kini menghadapi titik kritis dalam fondasi ekonomi kerakyatannya.
Koperasi—pilar ekonomi konstitusional yang seharusnya menjadi benteng kesejahteraan bersama—justru berada di ambang kehilangan relevansi. Lemahnya tata kelola, rendahnya kualitas sumber daya manusia, serta maraknya skandal KSP menunjukkan betapa rentannya sistem ini terhadap apa yang disebut sebagai manifestasi modern dari “Hantu VOC”—institusi ekstraktif yang memindahkan kekayaan rakyat ke segelintir elite.
Kementerian Koperasi dan UKM mencatat, volume usaha koperasi nasional mencapai Rp214 triliun pada 2024, sementara perputaran judi daring menembus Rp900 triliun. Perbandingan ini bukan sekadar statistik mencolok, melainkan cermin defisit karakter dan sistem.
Amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) No. 4/2023 memberikan mandat pengawasan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai langkah awal. Namun, pemerintah perlu segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang menjamin perlindungan dana anggota Koperasi Jasa Keuangan dari risiko krisis sistemik dan bailout gap.
“Kekuatan koperasi terletak pada persekutuannya yang berdasarkan tolong-menolong serta tanggung jawab bersama… melainkan memperkuat solidaritas ke dalam.”— Mohammad Hatta
Koperasi dan Krisis Kualitas
Mohammad Hatta menggambarkan koperasi sebagai senjata persekutuan si lemah, penggerak solidaritas ekonomi nasional. Semangat itu ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945:
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Namun, semangat konstitusional ini kini tergerus oleh lemahnya kapasitas dan sistem. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2022) mencatat koperasi aktif mencapai 130.354 unit, dengan rasio pengelola bersertifikasi baru sekitar 10,3 persen. Kuantitas besar ini menutupi masalah kualitas mendalam: manajemen lemah, disiplin Good Corporate Governance (GCG) rendah, dan sistem pengawasan yang tidak solid.
Secara hukum, koperasi masih berlandaskan UU No. 25 Tahun 1992, yang kembali berlaku sementara setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 28/PUU-XI/2013. Kondisi ini menandakan kerapuhan regulasi yang terus berulang tanpa reformasi menyeluruh.
“Hantu VOC” dan Institusi Ekstraktif
Ekonom Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam Why Nations Fail menjelaskan, bangsa gagal karena institusi ekonominya bersifat ekstraktif—menghisap sumber daya rakyat tanpa menciptakan nilai bersama.
Fenomena ini kini tercermin dalam koperasi Indonesia. Kasus KSP Indosurya (kerugian ±Rp15 triliun) dan KSP Sejahtera Bersama (±Rp8,8 triliun) menjadi simbol kegagalan tata kelola.
Dana anggota dialihkan ke instrumen berisiko tinggi (shadow banking) oleh segelintir pengurus tanpa akuntabilitas.
Kepercayaan publik pun runtuh. Trust deficit yang dihasilkan melumpuhkan esensi koperasi sebagai instrumen kemandirian ekonomi rakyat.
Judi Daring: Ekstraksi Modern dan Krisis Moral
Institusi ekstraktif tak lagi hanya berbentuk korporasi. Ia kini menjelma dalam bentuk yang lebih masif dan halus: judi daring.
Perputaran uang judi daring mencapai Rp900 triliun pada 2024 (data Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan). Lebih dari 4 juta orang terlibat, termasuk 51.611 aparatur sipil negara (ASN). Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan pergeseran drastis: masyarakat kini lebih percaya pada spekulasi digital daripada gotong royong ekonomi.
Kontras dengan volume usaha koperasi (Rp214 triliun) menegaskan tragedi ekonomi dan moral: modal kolektif berbasis kekeluargaan kalah telak oleh kapital spekulatif. Ini wajah baru
“Hantu VOC”—bukan lagi penjajahan bersenjata, melainkan eksploitasi psikologis dan finansial melalui teknologi.
Reformasi Tata Kelola dan Amanat UU PPSK
Revitalisasi koperasi harus dimulai dari reformasi tata kelola berbasis mitigasi risiko dan integritas sistemik.
Langkah Strategis Utama
1. Penguatan GCG dan Budaya Risiko Penerapan disiplin GCG mencakup transparansi laporan keuangan kepada anggota, akuntabilitas pengurus, serta kepatuhan terhadap standar manajemen risiko ISO 31000. Budaya risiko harus menjadi kesadaran kolektif, bukan sekadar formalitas administratif.
2. Penguatan Permodalan dan Transparansi Data Setiap KSP wajib menerapkan standar kecukupan modal seperti Capital Adequacy Ratio (CAR) dalam perbankan, disertai digitalisasi data anggota untuk mencegah fraud dan ketidakseimbangan likuiditas.
3. Implementasi UU PPSK (2023) dan Celah Perlindungan Dana Pengawasan OJK terhadap KSP yang beroperasi secara open loop merupakan langkah tepat. Namun, celah besar tetap ada: koperasi belum secara eksplisit masuk ke dalam skema penjaminan dan bailout lembaga keuangan. Pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk memastikan dana anggota Koperasi Jasa Keuangan terlindungi saat krisis sistemik.
Penutup: Benteng Moral dan Sistemik Bangsa
Penentu kemajuan bangsa bukanlah besar kecilnya modal, melainkan kekuatan karakter dan sistem dalam mengelola potensi kolektif.
Membangun kepercayaan jauh lebih sulit daripada menghimpun dana. Karena itu, koperasi harus kembali menjadi ekosistem bermartabat, tangguh, dan berdaya saing sistemik—benteng ekonomi rakyat sekaligus vaksin struktural terhadap “Hantu VOC” yang masih bernafas di antara celah kebijakan bangsa.
Sumber Data & Rujukan
• UUD 1945 Pasal 33 Ayat (1)
• UU No. 25/1992 dan UU No. 4/2023 (PPSK)
• BPS (2022); Kemenkop UKM (2024); PPATK; Menko Polhukam
• Kasus KSP: Indosurya (Rp15 T), Sejahtera Bersama (Rp8,8 T)
• Teori: Acemoglu & Robinson (Why Nations Fail); ISO 31000:2018; Pemikiran Mohammad Hatta



