Sumpah Pemuda: VOC Sudah Mati, Tapi Jiwanya Masih Gentayangan
Oleh: Jurhum Lantong, QRGP (Komisaris Independen, Brokers & Konsultan Insuren)
Abadikini.com, JAKARTA – Pada 28 Oktober 1928, para pemuda nusantara mengikrarkan kesadaran kolektif: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa – Indonesia. Ikrar itu bukan hanya simbol persatuan, tetapi juga titik awal kemerdekaan sejati, kemerdekaan berpikir dan berkehendak atas nasib sendiri.
Sembilan puluh enam tahun kemudian, bangsa ini memang telah menempuh jalan panjang menuju modernitas. Namun di balik kemajuan ekonomi dan gemerlap demokrasi elektoral, kita masih berhadapan dengan warisan mental kolonial yang belum sepenuhnya sirna. Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) memang bubar lebih dari dua abad lalu. Tetapi semangat eksploitasi, monopoli, dan dominasi elite tertutup yang dulu menjadi jiwanya, tampak masih bernafas dalam banyak sendi kekuasaan dan kebijakan publik kita.
Oligarki dan Korupsi: Bayang Heeren Zeventien
VOC dahulu dikendalikan oleh Heeren Zeventien tujuh belas pemodal besar yang menentukan arah kebijakan secara tertutup dan berorientasi keuntungan pribadi. Pola ini, dalam bentuk berbeda, masih tampak dalam sistem politik dan ekonomi kita sekarang.
Segelintir kelompok masih memegang kendali terhadap arah pembangunan. Proses pengambilan keputusan publik kerap berlangsung tanpa transparansi memadai, sementara partisipasi masyarakat seringkali bersifat simbolik.
Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar 34, setelah sebelumnya sempat berada di angka 40 pada 2019. Meskipun laporan CPI 2024 menunjukkan sedikit perbaikan menjadi 37 (Transparency International, rilis 2025), capaian ini tetap mengindikasikan tantangan besar dalam integritas publik dan efektivitas pemberantasan korupsi.
Dalam konteks ini, “VOC gaya baru” tidak hadir dalam bentuk kapal dagang dan benteng, melainkan melalui mekanisme kekuasaan yang memperlakukan jabatan dan sumber daya negara sebagai komoditas politik.
Ekonomi Eksploitatif: Konsesi dan Ketergantungan Baru
Model ekonomi ekstraktif yang diwariskan masa kolonial masih menjadi wajah utama pembangunan nasional. Kita berbangga dengan realisasi investasi yang mencapai Rp491,4 triliun pada Kuartal III 2025 (BKPM, 2025), namun sebagian besar dana tersebut masih terserap di sektor tambang dan smelter bukan pada industri berbasis riset dan nilai tambah tinggi.
Ketergantungan pada bahan baku impor juga masih tinggi. Data Kementerian Perindustrian (2021) mencatat lebih dari 70% bahan baku industri elektronik masih diimpor. Ini menandakan rapuhnya kemandirian industri nasional.
Seperti halnya VOC yang hanya memanen rempah tanpa menumbuhkan kesejahteraan lokal, model pembangunan kita kerap terjebak dalam logika jangka pendek: menjual sumber daya, membeli hasil olahan. Selama paradigma ini bertahan, Indonesia akan tetap berada dalam siklus ketergantungan ekonomi yang berkepanjangan tanpa penjajah, tetapi dengan logika kolonial yang sama.
Feodalisme Baru dan Ruang Kritik yang Menyempit
Warisan kolonialisme tidak hanya hadir dalam ekonomi dan birokrasi, tetapi juga dalam budaya sosial-politik kita. Hubungan patronase, ketergantungan terhadap figur, dan keterbatasan ruang kritik menunjukkan bahwa “feodalisme modern” masih berakar kuat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Gini Ratio Maret 2025 sebesar 0,375, dengan ketimpangan di perkotaan mencapai 0,395 (Investortrust.id, 2025). Kesenjangan ini bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga mencerminkan ketimpangan akses terhadap kekuasaan dan kesempatan.
Sementara itu, laporan Freedom House (2024) menempatkan Indonesia pada status “Partly Free” dengan skor 58/100. Ruang kebebasan berekspresi dan berorganisasi masih berhadapan dengan berbagai pembatasan, baik secara hukum maupun sosial digital. Kondisi ini menandakan bahwa demokrasi belum sepenuhnya tumbuh menjadi ruang dialog yang terbuka dan egaliter.
Dekolonisasi Mental: Agenda Kemerdekaan Kedua
Dekolonisasi mental bukan sekadar konsep akademik, melainkan agenda kebangsaan yang menuntut keberanian untuk mengubah cara berpikir dan mengelola kekuasaan.
Pertama, politik harus kembali kepada transparansi dan meritokrasi. Sistem rekrutmen partai maupun jabatan publik perlu menempatkan integritas dan kapasitas di atas kedekatan personal.
Kedua, ekonomi nasional perlu diarahkan pada kemandirian dan keberlanjutan. Negara harus memperkuat riset, inovasi, dan kapasitas teknologi agar tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga produsen nilai tambah.
Ketiga, pendidikan dan media perlu menjadi ruang pembebasan nalar. Generasi muda harus dilatih untuk berpikir kritis, berani berpendapat, dan memiliki keberanian moral untuk memperjuangkan kebenaran sebagaimana semangat para pemuda 1928.
Tan Malaka pernah menulis dalam Madilog,
“Tidak ada kemerdekaan sejati tanpa kemerdekaan berpikir.”
Kalimat itu masih relevan hari ini bahwa bangsa merdeka bukan hanya yang memiliki wilayah dan bendera, tetapi juga pikiran yang bebas dari inferioritas dan ketakutan.
Penutup: Sumpah Pemuda dan Tanggung Jawab Moral Bangsa
Sumpah Pemuda 1928 menyatukan bangsa dari berbagai latar menjadi satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Kini, yang dibutuhkan adalah Sumpah Pemuda jilid dua: bukan untuk menyatukan wilayah, tetapi untuk menyatukan kesadaran bahwa penjajahan modern tidak selalu datang dari luar, melainkan dapat tumbuh dari sistem dan mentalitas kita sendiri.
VOC memang mati, tetapi jiwanya masih gentayangan dalam cara kita memperlakukan kekuasaan, sumber daya, dan sesama. Kemerdekaan sejati hanya akan lahir bila bangsa ini berani mengubur warisan kolonial dalam dirinya sendiri.
Dekolonisasi mental adalah kerja kebangsaan jangka panjang—dan ia hanya bisa dimulai dari keberanian untuk berkata jujur tentang siapa kita hari ini.
Referensi:
Transparency International (Laporan CPI 2024, rilis 2025) – ti.or.id
BKPM (2025) – bkpm.go.id
Kementerian Perindustrian (2021) – kemenperin.go.id
BPS & Investortrust.id (2025) – investortrust.id
Freedom House (2024) – freedomhouse.org
Oleh: Jurhum Lantong, QRGP (Komisaris Independen, Brokers & Konsultan Insuren)



