Indonesia, Bangsa yang Dibayangkan Sebelum Didirikan
Oleh: Fariz Maulana Akbar
Abadikini.com, JAKARTA – Setiap akhir Oktober, kita semua mungkin familiar dengan quote dari salah satu mantan Presiden Amerika Serikat yang tewas tertembak secara tragis, yaitu John F. Kennedy:
“Jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negara.”
Kata-kata JFK ini kedengarannya keren, nasionalis, dan penuh semangat juang. Tapi kalau dibaca pakai kacamata sejarah Indonesia, kalimat itu sebenarnya ibarat kepala yang gatal, kaki yang digaruk nggak nyambung.
Amerika: Negara Dulu, Baru Bangsa
Amerika Serikat berdiri pada 4 Juli 1776, saat para koloni kulit putih dari Eropa memproklamasikan kemerdekaan mereka dari Inggris. Artinya, yang lahir lebih dulu adalah negara, baru kemudian terbentuk bangsa. Maka disebutlah Amerika sebagai nation-state bangsa yang dibentuk oleh negara.
Namun sejak awal, “bangsa” di sana hanya berlaku untuk yang berkulit putih. Sementara orang kulit hitam pada masa awal berdirinya malah diperjualbelikan, disiksa, dan dipaksa kerja di ladang-ladang kapas. Mereka tidak dianggap manusia penuh, melainkan properti.
Inilah paradoks besar bagi negeri yang mengaku membela kebebasan, tapi justru tumbuh perbudakan dan diskriminasi. Akibatnya, sejarah Amerika terus dihantui oleh rasisme struktural — dari era perbudakan hingga munculnya gerakan Black Lives Matter pada 2013 silam.
Postkolonialisme di sana adalah perjuangan melawan luka sejarah yang sangat diskriminatif terhadap warna kulit.
Indonesia: Bangsa Dulu, Baru Negara
Indonesia justru kebalikannya. Pada 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai suku, agama, dan bahasa menyatakan diri sebagai satu bangsa bahkan jauh sebelum negara Indonesia lahir. Itulah momen ketika kesadaran kolektif menyalip kekuasaan politik.
Ernest Renan, seorang pemikir Prancis abad ke-19, pernah bilang:
“A nation is a daily plebiscite.”
Atau dalam arti bebas: bangsa adalah hasil dari pilihan sadar yang diperbarui setiap hari. Bagi Renan, bangsa bukan soal ras, bahasa, atau wilayah, tapi soal kehendak untuk hidup bersama.
Dan inilah yang terjadi di Indonesia tahun 1928, ketika sekelompok pemuda memutuskan untuk hidup bersama sebagai satu bangsa, meski berbeda suku dan bahasa.
Beberapa dekade kemudian, Indonesianis dari Cornell University, Benedict Anderson, menyebut bangsa sebagai imagined community. Singkatnya, bangsa adalah komunitas yang dibayangkan karena setiap anggotanya merasa terhubung dalam imajinasi yang sama, meski tak saling kenal.
Indonesia adalah contoh hidup dari teori itu: bangsa yang belum punya negara, tapi sudah punya imajinasi kebersamaan. Kalau Amerika lahir dari kontrak politik elit kulit putih, Indonesia lahir dari kesadaran kultural anak-anak muda — bukan karena kesamaan ras, tapi karena kesamaan nasib.
Indonesia adalah gambaran dari konsensus para pemuda yang berbeda bantal tapi punya satu mimpi yang sama. Dari sinilah Indonesia menjadi state-nations (bukan nation-state): bangsa yang lahir dari kesepakatan banyak bangsa lokal yang melebur dalam nama “Indonesia”.
Maka wajar kalau quote JFK terasa janggal. Karena di sini, negara justru berutang kepada bangsa — bukan sebaliknya. Bangsa ini lahir 17 tahun lebih dulu daripada negaranya.
Postkolonialisme Nusantara: Kulit Timur, Pikiran Barat
Kalau di Amerika problemnya jelas: diskriminasi hitam dan putih. Tapi di Indonesia, postkolonialisme hadir dalam bentuk yang lebih halus inferioritas kultural.
Kita ini aneh, tubuhnya tropis tapi pikirannya masih Eropa. Bangga pakai batik, tapi merasa keren kalau gaya hidupnya “Barat banget.” Suka bilang “bangga jadi orang Indonesia”, tapi maunya kulit di-tone up dulu biar “glowing kayak artis Drakor atau oppa Korea.”
Kalau di Amerika permasalahannya white vs black, di Indonesia justru black skin-white mind. Dengan kata lain, kulitnya lokal, tapi pikiran dan gaya hidupnya masih diimpor. Bahasa warung kopinya: tercerabut dari akar budaya.
Dari Sumpah ke Kesadaran
Sumpah Pemuda bukan cuma seremoni tahunan. Ia adalah deklarasi kesetaraan pertama di Asia Tenggara — hasil dari kesadaran pemuda yang berani menolak klasifikasi kolonial. Mereka tidak bicara “bangsaku”, tapi “Bangsa Indonesia” sebagai satu identitas yang menembus perbedaan.
Hari ini, 97 tahun kemudian, tantangan kita bukan lagi melawan Belanda, tapi melawan kolonialisme baru: kolonialisme pikiran, gaya hidup, dan algoritma media sosial. Kita dijajah bukan oleh senjata, tapi oleh hegemoni, budaya, bahkan isu. Kita dikuasai bukan oleh pasukan, tapi oleh persepsi.
Pemuda Hari Ini
Pemuda 1928 melebur perbedaan demi membentuk bangsa. Pemuda 2025 harus melebur ego untuk mempertahankan kemanusiaan. Tantangan terbesar kita hari ini bukan lagi kolonialisme fisik, tapi kolonialisme mental.
Kalau dulu sumpahnya tiga, mungkin hari ini cukup satu:
“Kami, pemuda Indonesia masa kini, bersumpah untuk tetap waras di tengah banjir informasi dan tetap bangga menjadi manusia Indonesia.”
Selamat Hari Sumpah Pemuda ke-97.
Bangsa ini berdiri bukan karena kekuasaan kulit putih, tapi karena keberanian kulit sawo matang yang berpikir.
Dan selama kita masih bisa tertawa, berpikir, dan menulis dengan jujur, maka Indonesia masih punya harapan.
Quote JFK yang jadi pemantik tulisan ini berasal dari pidatonya saat dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 1961. Dan mungkin, sudah waktunya kita berhenti menirunya mentah-mentah. Karena bangsa ini lahir bukan dari tiruan, tapi dari keberanian membayangkan dirinya sendiri.
Penulis adalah pemerhati masalah bangsa yang tengah berada di perbatasan, juga aktif sebagai Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat (JARAK DEKAT).



