Kritik Atas Kebijakan Prabowo, Resiko Strategis BUMN di Tangan WNA

Abadikini.com, JAKARTA – Peneliti Pemerhati Khusus Masalah Indonesia (Hatikhu Indonesia), Fariz Maulana Akbar, menilai kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang memperbolehkan warga negara asing (WNA) memimpin Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berpotensi menimbulkan risiko strategis bagi kedaulatan ekonomi dan keamanan nasional Indonesia.
Menurut Fariz, langkah tersebut tidak bisa dipandang sekadar upaya profesionalisasi BUMN atau peningkatan efisiensi bisnis, melainkan harus ditinjau dari sisi intelijen, kepentingan nasional, dan nasionalisme ekonomi.
“Kebijakan ini menyentuh urat nadi kedaulatan bangsa. BUMN bukan hanya entitas bisnis, tapi perpanjangan tangan negara dalam menjaga dan mengelola sumber daya strategis. Membuka posisi puncak bagi WNA berarti membuka potensi infiltrasi pengaruh asing dalam pengambilan keputusan strategis,” ujar Fariz dalam keterangannya, Kamis (16/10/2025) siang.
Ia menjelaskan bahwa dalam dunia intelijen modern, peperangan tidak lagi hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga melalui akses data, kendali ekonomi, dan keputusan korporasi strategis.
“Ketika pimpinan BUMN bukan warga negara Indonesia, maka pintu bagi intelijen ekonomi asing terbuka lebar. Ini bukan soal curiga berlebihan, tapi soal mitigasi risiko yang mestinya disiapkan negara,” tambahnya.
Fariz menilai risiko yang bisa timbul meliputi kebocoran data strategis, pengaruh kebijakan dari luar negeri, serta konflik kepentingan antara misi sosial BUMN dan orientasi pasar global.
“Sejarah menunjukkan, banyak negara kehilangan kendali atas asetnya bukan karena invasi militer, tapi karena transfer kendali manajerial yang pelan-pelan meminggirkan otoritas nasional,” tegasnya.
Selain aspek intelijen, Fariz juga menyoroti sisi nasionalisme dan psikologi publik.
Menurutnya, keputusan membuka peluang bagi WNA memimpin BUMN dapat menurunkan rasa percaya diri bangsa terhadap kemampuan anak negeri sendiri.
“Nasionalisme bukan berarti anti-asing. Tapi jangan sampai bangsa ini kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. Indonesia punya ribuan profesional unggul yang lahir dari sistem dan realitas sosialnya sendiri. Kalau posisi simbolik seperti direktur utama saja harus diisi orang asing, apa sudah tidak ada anak bangsa yang layak dan cakap?” ungkapnya.
Ia juga menilai kebijakan tersebut rawan menimbulkan kerawanan politik dan sosial, terutama jika publik menilai pemerintah lebih berpihak kepada kepentingan asing dibanding potensi nasional.
“Ketidakjelasan batas antara efisiensi ekonomi dan kedaulatan negara bisa jadi bahan bakar ketidakpercayaan publik. Ini bisa merembet ke isu politik dan keutuhan sosial,” imbuhnya.
Sebagai solusi, Fariz mengusulkan agar pemerintah menempatkan WNA hanya sebagai penasihat teknis atau direktur non-eksekutif, bukan sebagai pengambil keputusan utama di BUMN strategis.
Ia juga mendorong dibentuknya mekanisme security clearance nasional yang wajib dilalui setiap ekspatriat yang akan menjabat posisi manajerial di BUMN.
“Kalau pun pemerintah butuh keahlian asing, pastikan mereka tidak punya konflik kepentingan dan wajib menjalani proses pemeriksaan keamanan nasional. Kita tidak bisa menyerahkan aset strategis negara tanpa pagar pengaman intelijen,” tegasnya.
Fariz menekankan, reformasi BUMN memang perlu, tetapi jangan sampai profesionalisme dijadikan alasan untuk mengorbankan kedaulatan.
“Profesionalisme tanpa perlindungan nasional hanya menjadikan kita pasar, bukan pemain. Membuka peluang WNA memimpin BUMN tanpa batas dan tanpa kontrol adalah pintu belakang bagi infiltrasi ekonomi yang bisa lebih berbahaya dari ancaman militer,” pungkasnya.
Sebelumnya, Presiden Prabowo telah memberi izin kepada WNA untuk dapat memimpin BUMN. Prabowo mengaku telah merubah aturan agar WNA diperbolehkan memimpin BUMN.