Jelang Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran: Masalah Bansos Jadi Sorotan Terkait Burekol
Oleh: Randy Hasibuan

Abadikini.com, JAKARTA – Menjelang satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran, publik mulai menagih hasil nyata dari berbagai janji politik yang dikampanyekan dengan semangat besar “Menuju Indonesia Emas 2045.” Setelah euforia kemenangan reda, kini giliran realitas berbicara.
Duet ini datang membawa energi baru dan narasi percepatan pembangunan. Namun di balik langkah cepat dan gaya kepemimpinan yang tegas, muncul sejumlah persoalan mendasar yang menuntut perhatian serius, salah satunya masalah bantuan sosial (bansos) yang tersendat karena persoalan teknis dan administratif.
Capaian dan Lompatan
Stabilitas ekonomi nasional masih menjadi pijakan kuat di tahun pertama pemerintahan ini. Pertumbuhan ekonomi tetap berada di kisaran 5 persen, inflasi terkendali, dan investasi asing terus mengalir ke sektor strategis seperti energi, mineral, dan infrastruktur. Pemerintah juga melanjutkan kebijakan hilirisasi nikel dan memperluasnya ke bauksit, tembaga, serta kelapa sawit untuk memperkuat industrialisasi dalam negeri.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi ikon kebijakan sosial era baru. Program ini dirancang bukan hanya sebagai intervensi gizi, tetapi juga sebagai simbol pemerataan keadilan sosial bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Selain itu, penerbitan RPJMN 2025–2029 melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2025 menandai tonggak penting dalam perencanaan nasional. Dokumen tersebut menjadi panduan strategis menuju transformasi ekonomi, ketahanan pangan, pemerataan wilayah, dan penguatan pertahanan nasional.
Bidang pertahanan pun menunjukkan kemajuan. Pemerintah mulai memperbarui alutsista dan memperkuat diplomasi pertahanan, mempertegas posisi Indonesia di tengah ketegangan global antara BRICS dan G7.
Sorotan: Bansos dan Masalah Burekol
Namun capaian itu tidak bisa menutupi sejumlah lubang dalam kebijakan sosial. Program bansos masih menjadi keluhan luas di berbagai daerah. Banyak masyarakat penerima Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) mengaku belum menerima dana bantuan selama berbulan-bulan.
Sejumlah laporan menyebutkan, keterlambatan pencairan sudah mencapai tujuh bulan, dengan alasan klasik: Burekol atau burek kolektif—masalah administratif yang membuat data penerima belum tersinkron dengan sistem bank penyalur. Akibatnya, banyak penerima yang hanya bisa memegang kartu tanpa saldo, sementara kebutuhan hidup terus menekan.
Fenomena ini menjadi ironi di tengah gencarnya narasi pemerataan dan kehadiran negara. Alih-alih menjadi penyelamat rakyat miskin, bansos yang tersendat justru menimbulkan ketidakpercayaan terhadap efektivitas program pemerintah.
Masalah ini mencerminkan lemahnya koordinasi antara kementerian sosial, perbankan, dan pemerintah daerah. Selain itu, sistem verifikasi yang berbelit sering kali tidak adaptif terhadap dinamika sosial di lapangan, seperti perpindahan domisili dan perubahan status ekonomi penerima.
Tantangan Lain di Lapangan
Masalah bansos hanyalah satu dari sekian banyak catatan. Program MBG di beberapa daerah juga menghadapi kendala distribusi, ketidakteraturan kualitas pangan, dan risiko pemborosan anggaran. Hilirisasi, yang diharapkan membawa nilai tambah besar bagi industri nasional, masih lebih banyak menguntungkan investor asing, dengan transfer teknologi yang minim dan risiko ekologis yang besar.
Sektor pertanian pun belum menunjukkan ketahanan yang kuat. Harga beras masih fluktuatif, produktivitas petani rendah, dan ketergantungan pada impor bahan pangan belum terurai.
Sementara itu, birokrasi masih berjalan lamban dan berbelit, meski pemerintah menjanjikan reformasi total. Digitalisasi pelayanan publik belum seragam dan mentalitas pelayanan belum berubah secara signifikan.
Di sektor hukum, publik menanti langkah nyata untuk memperkuat independensi lembaga penegak hukum. Tanpa transparansi dan integritas, keadilan masih terasa berat sebelah.
Menuju Tahun Kedua
Tahun pertama menjadi masa konsolidasi dan penataan arah kebijakan. Tahun kedua akan menjadi ujian implementasi. RPJMN memang telah disahkan, namun keberhasilan sesungguhnya ditentukan oleh bagaimana kebijakan itu dijalankan di lapangan.
Pemerintah perlu bergerak cepat memperbaiki tata kelola bansos dan memastikan penyalurannya tepat waktu serta tepat sasaran. Tidak boleh lagi ada alasan teknis seperti Burekol yang membuat rakyat kecil menunggu haknya berbulan-bulan.
Selain itu, transparansi dan partisipasi publik dalam pengawasan harus diperkuat agar bansos tidak berubah menjadi komoditas politik musiman.
Program-program populis seperti MBG dan bansos hanya akan bermakna jika dijalankan dengan disiplin, efisiensi, dan empati. Rakyat tidak membutuhkan janji baru—mereka hanya ingin hak yang dijanjikan segera sampai ke tangan mereka.
Penutup
Menjelang satu tahun kepemimpinan Prabowo–Gibran, bangsa ini berada di persimpangan antara harapan dan kenyataan. Capaian makroekonomi patut diapresiasi, namun kelalaian dalam implementasi kebijakan sosial bisa menjadi batu sandungan serius.
Bansos yang tersendat karena Burekol adalah cermin bahwa birokrasi kita masih terjebak dalam labirin administratif. Jika hal ini tak segera diperbaiki, semangat besar menuju Indonesia Emas bisa tersandung pada masalah kecil yang seharusnya mudah diselesaikan.
Rakyat menunggu bukan sekadar kebijakan besar, tetapi kehadiran nyata negara di dapur dan dompet mereka.
Penulis Adalah Mantan Aktivis HMI