Reformasi Polri Harus Kembali ke Nilai-Nilai Hoegeng

Abadikini.com, JAKARTA — Seruan perlunya reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali menguat. Sejumlah tokoh bangsa dan tokoh lintas agama dalam pertemuan dengan Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya pembaruan agar Polri kembali mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat.
Dalam konteks itu, nama Jenderal Hoegeng Iman Santoso kembali mencuat sebagai teladan. Mantan Kapolri yang menjabat pada 1968–1971 ini dikenal luas karena integritas, kesederhanaan, serta keberaniannya menolak intervensi politik dan menindak tegas aparat yang menyalahgunakan kewenangan.
Prof. Ali Mochtar Ngabalin, Ketua DPP Partai Golkar Bidang Kebijakan Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional, yang saat ini juga menjabat Guru Besar di Busan University of Foreign Studies (BUFS) Korea Selatan, menilai nilai-nilai yang diwariskan Hoegeng tetap relevan sebagai landasan reformasi Polri.
“Hoegeng itu bukan sekadar nama dalam sejarah, melainkan simbol moral. Reformasi Polri tidak cukup hanya dengan digitalisasi atau perubahan struktural. Yang paling penting adalah keberanian menolak intervensi, menjaga integritas, dan menempatkan rakyat sebagai subjek utama perlindungan hukum,” kata Prof. Ngabalin dalam keterangan rilisnya Senin (15/9/2025).
Menurut Ngabalin, keberhasilan Hoegeng membangun citra positif kepolisian pada masanya lahir dari sikap konsisten menjaga kejujuran. Kesederhanaan gaya hidup dan konsistensi menegakkan aturan menjadikannya jangkar moral yang hingga kini tetap dijadikan tolok ukur publik.
“Kalau dulu bisa jujur, mengapa sekarang tidak? Itu pertanyaan publik yang terus berulang, dan Polri harus menjawabnya dengan langkah nyata,” ujarnya.
Meski Hoegeng tidak lagi memimpin sejak awal 1970-an, keteladanannya terus hidup dalam ingatan masyarakat. Nama Hoegeng kerap disebut dalam forum pendidikan Polri, karya seni, hingga perbincangan publik. Bukan sebagai glorifikasi, melainkan karena integritasnya nyata.
Ngabalin menegaskan, setiap langkah reformasi baik melalui pembaruan teknologi, sistem, maupun pola pendekatan ke masyarakat tidak akan berarti jika tidak berpijak pada nilai moral yang pernah dijunjung Hoegeng.
“Teknologi bisa ditiru, aturan bisa dibuat. Namun, keberanian berkata ‘tidak’ pada perintah yang melanggar nurani hanya lahir dari teladan. Dan teladan itu pernah ditunjukkan Hoegeng,” kata Ngabalin.
Dalam situasi krisis kepercayaan, publik berharap Polri mampu meneguhkan kembali nilai-nilai moralitas yang pernah dijaga Hoegeng.
“Reformasi Polri tidak hanya sekadar agenda administratif, tetapi juga menjadi gerakan menjaga marwah keadilan” pungkasnya.