Menyikapi Demo 25 Agustus: Antara Kritik, Oportunis, dan Rasionalitas
Oleh: Fariz Maulana Akbar

Abadikini.com, JAKARTA – Tanggal 25 Agustus sudah banyak diperbincangkan. Katanya akan ada demo besar-besaran, dengan narasi yang cukup ekstrem, yaitu bubarkan DPR. Isu ini viral, ramai di medsos, jadi bahan pembicaraan di mana-mana bahkan sampai dibicarakan di serambi masjid usai kegiatan kerja bakti. Tapi sebelum kita ikut terhanyut, ada baiknya kita bedah dengan kepala dingin, apa sebenarnya yang terjadi, siapa aktor di baliknya, dan siapa yang bisa diuntungkan.
DPR memang sering bikin kita geram. Mulai dari drama politik, dugaan korupsi, sampai kebijakan yang terasa jauh dari aspirasi rakyat seperti tunjangan perumahan senilai Rp. 50 juta per bulan. Tetapi solusinya apakah harus bubarkan DPR? Kalau dipikir jernih, jelas tidak rasional. DPR itu lembaga konstitusional, bagian dari pondasi demokrasi. Masalah kita bukan pada lembaganya, tapi pada orang-orang di dalamnya, pada sistem pengawasan yang lemah, dan pada budaya politik yang masih feodal. Jadi yang dibutuhkan adalah reformasi sistem, bukan penghapusan/pembubaran lembaga.
Demo pada dasarnya selalu menjadi panggung terbuka. Ada yang murni tulus memperjuangkan rakyat, tapi tidak jarang ada juga yang sekadar menumpang nama. Dalam konteks isu bubarkan DPR, aroma manuver politik begitu terasa. Seakan ada kelompok oportunis yang sengaja menunggu di tikungan, menunggu momentum untuk menjadikannya alat tawar-menawar kekuasaan. Mereka tidak selalu ingin perbaikan, tetapi lebih mengincar posisi, akses, atau kompromi di level elit. Dalam sejarah politik kita, pola seperti ini bukan hal baru. Yang paling dirugikan hampir selalu rakyat kecil yang berpanas-panasan turun ke jalan, sementara yang diuntungkan biasanya para elite yang akhirnya bisa bernegosiasi di ruangan tertutup, mewah dan ber-AC.
Lalu bagaimana sikap mahasiswa? Di sini menarik. BEM SI sudah tegas menyatakan mereka tidak ikut dalam demo 25 Agustus, bahkan menuding adanya pencatutan nama mereka. Sebelumnya, BEM SI sudah turun dengan isu-isu konkret: RUU bermasalah, militerisme sipil, hingga kebijakan yang tidak pro rakyat. Itu menunjukkan perbedaan yang jelas antara gerakan mahasiswa yang serius dengan aksi yang masih kabur aktor dan tuntutannya. Sementara kelompok Cipayung, yang terdiri dari HMI, PMII, GMNI, GMKI, PMKRI, dan lainnya, juga konsisten dengan jalur mereka, dengan cara mengajukan kritik substantif lewat isu konkret, bukan jargon bombastis. Mereka tahu betul bahwa jika terjebak pada narasi besar tanpa arah, justru akan kehilangan marwah gerakan mahasiswa itu sendiri.
Bagi publik, tantangan terbesarnya justru ada di era post-truth seperti sekarang. Informasi gampang dipelintir, viral belum tentu valid, trending belum tentu penting. Di sinilah masyarakat perlu cerdas dan tidak terburu-buru terprovokasi. Tuntutan demo harus jelas, aktornya jelas, agendanya jelas. Kita pun mesti belajar memisahkan emosi dari data, jangan mudah terbakar hanya karena retorika di media sosial. Kritik itu penting, tapi harus substantif, misalnya menuntut reformasi aturan, perbaikan sistem, dan audit kebijakan, bukan sekadar berteriak bubarkan lembaga. Demokrasi kita pun masih rapuh, jangan sampai momentum rakyat malah ditunggangi elite yang hanya mencari posisi jabatan dan keuntungan politik.
Pada akhirnya, demo adalah bagian sah dari demokrasi, dan kritik itu perlu. Namun kritik juga harus rasional. Membubarkan DPR bukan solusi; memperbaiki sistem dan menuntut transparansi itulah jalan yang lebih nyata. Mahasiswa sudah menunjukkan sikap bijak dan kritis, tetapi tidak gegabah. Kita pun sebaiknya belajar dari mereka. Jangan sampai menjadi korban agitasi kelompok oportunis yang hanya menjadikan keresahan rakyat sebagai komoditas politik. Demokrasi yang sehat lahir bukan dari teriakan ekstrem, tetapi dari keberanian bersama memperbaiki rumah kebangsaan kita dengan cara yang cerdas, jernih, dan tetap konstitusional bukan dengan tuntutan bubarkan DPR tanpa dasar dan arah yang jelas.
Penulis adalah Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat (Jarak Dekat)