Silfester Matutina: Narapidana Bak Artis, Berjuang Lolos Jeruji dengan Jurus PK
Oleh: Randy Hasibuan

Abadikini.com, JAKARTA – Di negeri ini, hukum kadang tampak lebih lentur daripada odol. Bisa ditekan, dipelintir, bahkan dipencet keluar sesuai selera siapa yang pegang. Dan contoh segar soal betapa karet-ala-hukum itu nyata adanya adalah sosok Silfester Matutina—ketua relawan Solidaritas Merah Putih yang dikenal sebagai pembela garis keras mantan Presiden Jokowi.
Silfester bukan sekadar relawan vokal yang sering tampil di layar kaca. Ia sejatinya adalah narapidana dengan vonis inkrah dalam kasus fitnah terhadap Jusuf Kalla. Artinya, secara hukum ia seharusnya sudah mendekam di balik jeruji, bukan sibuk wara-wiri di televisi atau duduk manis di kursi komisaris sebuah perusahaan BUMN. Tetapi kenyataannya? Ia bebas melenggang, lebih bebas daripada mahasiswa yang belum bayar uang kos.
Pertanyaan publik pun meledak: apa istimewanya Silfester sampai Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan seperti kehilangan taring untuk mengeksekusi vonisnya? Bukankah tugas jaksa itu menjalankan putusan pengadilan? Kok malah terlihat ciut menghadapi seorang narapidana?
Komisaris BUMN, tapi Status Napi
Lebih absurd lagi, Silfester bisa duduk sebagai komisaris di ID Food, salah satu perusahaan BUMN. Seorang terpidana bisa menjabat di perusahaan milik negara; ini jelas mencoreng kredibilitas Menteri BUMN Erick Thohir. Publik tentu wajar bertanya, “Pak Erick, apakah sistem screening BUMN kalah canggih dibanding aplikasi pinjol ilegal?”
Bagaimana mungkin seorang yang sudah diputus bersalah secara hukum tetap dipercaya mengurus perusahaan negara? Undang-undang jelas melarang seorang narapidana mengisi jabatan strategis. Tapi Silfester tampaknya hidup di semesta paralel, di mana pasal bisa diabaikan dan jabatan tetap melekat.
Tamparan Bagi Presiden Prabowo
Yang paling dirugikan dari drama ini sebenarnya bukan Erick Thohir, bukan pula ID Food. Korban sebenarnya adalah Presiden Prabowo. Mengapa? Karena sejak awal, Prabowo membangun citra sebagai presiden yang berkomitmen pada penegakan hukum dan keadilan. Tetapi ketika ada seorang narapidana bisa lolos dari jeratan eksekusi, duduk di kursi BUMN, bahkan tampil di televisi bak selebritas politik, citra itu ikut tercoreng.
Silfester kini justru menjadi simbol: bahwa masih ada kelompok yang “tidak tersentuh hukum” di Indonesia. Publik tentu khawatir, jangan-jangan jargon “hukum untuk semua” hanya berhenti di baliho; tidak pernah benar-benar turun ke meja kejaksaan.
Dari Studio ke Studio, Layaknya Artis
Alih-alih bersikap low profile, Silfester malah tampil bak selebritas. Ia wara-wiri di layar kaca, diwawancarai seolah-olah seorang komentator politik, bukan seorang napi. Media memberi panggung besar; padahal panggung yang seharusnya ia tempati adalah ruang tahanan. Kalau begini, lama-lama publik bisa salah kaprah: jangan-jangan untuk bisa terkenal di negeri ini, syaratnya cukup jadi narapidana.
Jurus PK untuk Mengulur Waktu
Baru-baru ini, Silfester dikabarkan hendak mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Jurus klasik ini sering dipakai terpidana untuk mengulur waktu. PK sah secara hukum, tetapi menjadi masalah ketika dipakai sebagai senjata agar eksekusi bisa ditunda entah sampai kapan. Dengan cara ini, vonis yang seharusnya final dan mengikat berubah jadi bola pingpong. Lagi-lagi publik makin muak, karena hukum tampak tidak punya wibawa menghadapi orang yang punya jaringan politik.
Sakti Karena Relawan Jokowi?
Pertanyaan paling gawat: apakah Silfester bisa sebebas ini hanya karena statusnya sebagai relawan garis keras Jokowi? Jika benar, ini menandakan ada “warisan kekuasaan” yang masih melindungi orang tertentu, meski rezim sudah berganti. Dan bila pola ini dibiarkan, publik tentu makin apatis. Orang bisa berpikir: percuma punya presiden baru kalau hukum masih tunduk pada jaringan lama.
Harapan Rakyat pada Prabowo
Pada titik ini, semua sorot mata beralih ke Presiden Prabowo. Publik menunggu: apakah Prabowo akan bersuara tegas terhadap kasus Silfester? Apakah ia berani memastikan bahwa tidak ada satu pun napi yang kebal hukum, meski punya kedekatan dengan kekuasaan sebelumnya?
Kalau Prabowo diam, publik bisa menafsirkan ia membiarkan praktik impunitas. Dan itu akan jadi preseden buruk di tahun pertama pemerintahannya. Sebaliknya, jika Prabowo tegas, maka kasus Silfester bisa jadi momentum emas untuk menunjukkan bahwa era kekebalan hukum sudah berakhir.
Guyonan Pahit
Di warung kopi, banyak yang bergurau: “Kalau jadi napi bisa dapat jabatan komisaris BUMN, mungkin besok-besok banyak orang antre masuk penjara.” Guyonan ini pahit; tetapi itulah suara rakyat yang muak melihat hukum seperti sirkus.
Indonesia butuh pemimpin yang berani menertibkan bukan hanya rakyat kecil, tetapi juga orang yang mengaku dekat dengan kekuasaan. Karena hukum yang hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas adalah hukum yang cacat.
Silfester Matutina mungkin merasa dirinya kebal. Tetapi yang sebenarnya dipertaruhkan jauh lebih besar daripada sekadar nasib pribadi seorang relawan. Yang dipertaruhkan adalah wibawa hukum Indonesia di mata rakyat.
Rakyat sudah bosan dengan drama orang kuat yang bisa lolos dari jeratan hukum. Sekarang semua menunggu, apakah Presiden Prabowo berani menegaskan bahwa di era kepemimpinannya, tidak ada orang yang terlalu sakti untuk dieksekusi?
Karena jika Silfester dibiarkan bebas melenggang, maka pesan yang sampai ke masyarakat jelas: hukum di negeri ini masih bisa dibeli, diatur, dan dinegosiasikan. Dan itu akan menjadi noda permanen di awal perjalanan pemerintahan baru.